Romantisme Masa Lalu Orasi Kampanye Pemilu

Ilustrasi rakyat sedang mengikuti pemilu menggunakan hak pilih di bilik suara. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta - 53 tahun silam. Lelaki itu berusia 22 tahun. Kumis tipis gerah, masih senang bermain bersama teman sebaya, boro-boro tertarik isu politik.

Tetapi, dia menggunakan hak pilih Pemilu 1971 di Kecamatan Asemrowo, Surabaya.

“Saya mencoblos Partai Nasional Indonesia (PNI),” ungkap Mudjono, 75 tahun, Rabu (3/1/2024).

Awal mula memilih PNI pada Pemilu 1971, gara-gara melihat karisma Bung Karno sewaktu berkunjung ke Surabaya pada 17 Agustus 1961.

Mudjono masih berusia 12 tahun. Duduk di bangku kelas 6 SR (Sekolah Rakyat). Dia terkesima menyaksikan Presiden Indonesia pertama berorasi di Tugu Pahlawan Surabaya.

Tanpa pengawalan ketat, Bung Karno berdiri di atas mobil jip. Tua dan rambut sudah menipis rupa Bung Karno waktu itu.

“Saya tahu Pak Karno tahun 1961, langsung bertemu bukan dari gambar bukan dari film. Tahu langsung orangnya,“ ujar kakek memiliki dua cucu ini kepada PARBOABOA.

Lelaki kelahiran Surabaya pada 1949 ini, tak memungkiri orasi Presiden Soekarno membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia.

“Zaman itu gencar-gencarnya Indonesia melawan Belanda di Irian Barat. Terus, sampai terjadi perang Laut Aru,” ungkapnya.

Sepuluh tahun berjalan, Mudjono berusia 22 tahun. Pemilu 1971 tiba, hatinya jatuh memilih PNI.

Euforia kampanye Pemilu 1971 tak seperti kampanye Pemilu 2024. Kondisi serba sederhana. Gambar-gambar partai serta caleg diterangkan ke rakyat.

“Enggak kayak sekarang pakai kampanye, arak-arakan, segala yel-yel. Dahulu sederhana,” ungkap Mudjono menggambarkan situasi Pemilu 1971.

Meski pada Pemilu 1971, era Orde Baru Presiden Soeharto berkuasa. Golkar menguasai suara rakyat.

Masyarakat riuh rendah menyambut kampanye pemilu. Aksi pawai tiap simpatisan pendukung partai masif. Pawai juga tidak ada gesekan atau bentrok antar pendukung di jalanan.

“Dahulu mah namanya pawai. Ada barisan pemuda Marhaen terus pemuda Ansor,” ungkapnya kepada PARBOABOA di Terminal Blok M.

Selain Bung Karno, Ketua Umum PNI Ali Sastroamidjojo dan Mohammad Isnaeni. Nama tokoh-tokoh PNI Mudjono kenal lewat berita di koran.

Bilik suara Pemilu 1971 sudah agak bagus daripada bilik suara Pemilu 1955. Bahkan terbuat bahan tripleks, ada dari kain.

“Dahulu nyoblosnya pakai paku gede ada talinya, jlusss begitu saja,” ungkapnya seraya tertawa.

Warga berbondong-bondong menuju ke bilik suara. Panitia pemilu memanggil tiap pemilih cuma pakai mulut saja.

“Tetapi kalau masuk ke bilik ya sendiri-sendiri,” tuturnya lagi.

Jarak rumahnya ke TPS cuma sekitar 50 meter. Mudjono mengenakan kemeja putih padu padan celana drill cokelat, dan bersendal jepit. Kakinya melengos masuk bilik suara jam 11 siang.

Bersihar Lubis, 74 tahun, masih terngiang-ngiang mendengar orasi tokoh Marhaen Mohammad Isnaeni pada Pemilu 1971.

Saat itu, usianya 21 tahun berambut gondrong kribo. Sebagai mahasiswa tergugah mendengar orasi juru kampanye atau jurkam Marhaen Mohammad Isnaeni di Medan.

Tokoh Marhaen berambut putih itu bergumam pada mikrofon di atas panggung. Mas Isnaeni, sungguh sakit hati sekarang.Tiga kali kata-kata itu, Isnaeni mengulanginya.

Kalimat tokoh PNI itu menyampaikan, betapa masih banyak rakyat Indonesia tinggal di gubuk reot, perutnya lapar, dan pendidikannya rendah.

“Mereka miskin karena dimelaratkan oleh sebuah sistem,” ucap lelaki kelahiran 1950 ini mengingat ucapan Mohammad Isnaeni, Selasa (26/12/2023).

Kata-kata Isnaeni itu, merasuki benak Bersihar saat menghadiri kampanye PNI, Pemilu 1971 silam di Gedong Olahraga (GOR) Medan.

Ketika hadirin terkesima, Isnaeni meracik ilmu retorika berkata bahwa untuk itulah PNI datang demi melawan sistem memelaratkan kaum Marhaen.

Gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai membelah GOR Medan berisi mencapai ribuan orang. Isnaeni menawarkan kepada rakyat tak sekadar berkata bahwa partainya terbaik. Tetapi sesuatu tentang sebuah cita-cita.

Menurut Bersihar Lubis, Mas Isnaeni tak langsung mengajak massa untuk memilih PNI saat kampanye pemilu.

“Yang lebih berharga ketimbang kursi gubernur, DPR, menteri, bahkan presiden sekalipun,” ungkap kakek tujuh cucu ini kepada PARBOABOA. Sekelumit romantisme masa lalu orasi kampanye Pemilu 1971.

Gaya Kampanye Pemilu Berubah Rebut Calon Pemilih

Peserta partai politik di Pemilu 2004. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

Memang, orasi tokoh politik atau jurkam partai Pemilu 1955 dan 1971 berhasil membuat rakyat atau calon pemilih tergugah. Satu perbedaan besar tokoh politik Pemilu 2024.

Politisi partai maupun juru kampanye Pemilu 2024 kurang memiliki kemampuan berorasi “menyihir” rakyat atau calon pemilihnya.

Gaya kampanye pemilu berubah merebut suara rakyat. Cara kampanye pemilu 2024 belakangan ini bermodalkan blusukan dan berselancar di media sosial.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana, memaklumi hal itu.

Tokoh politik era Pemilu 1955 dan 1971 cara berkomunikasi politik kepada rakyat menggunakan forum besar.

Orang mendengarkan, terus kemudian berorasi panjang penuh semangat, dan menggelorakan isu-isu yang sedang hangat dibicarakan.

“Ya memang sesuai zamannya ya. Kalau saya melihatnya begitu,” ungkapnya kepada PARBOABOA, Jumat (5/1/2024).

Konteks dan dinamika antara kampanye pemilu 1955 dan 1971 dengan Pemilu 2024 jauh berbeda.

Menurut Aditya, mungkin menjadi sesuatu yang efektif zaman dahulu orasi besar-besaran atau kampanye. Isinya seribu orang, tiga ribu orang, lima ribu orang, dan sepuluh ribu.

“Kalau dahulu, ya orang dengerin menjadi bagian populer dari situ orasi yang menggugah. Orasi yang membakar semangat mungkin akan disukai publik,” jelasnya.

“Kalau balik lagi zaman dahulu, Pemilu 1955 dan 1971 juga harus dilihat konteksnya. Ada demokrasi terpimpin di situ,” tambahnya.

Era kekinian, forum kampanye besar-besaran semacam kampanye akbar jarang terjadi.

Politikus sekarang lebih banyak mereka berkampanye blusukan, door to door, dan di media sosial. Jauh berbeda era kampanye dahulu.

“Kalau sekarang sih menurut saya enggak. Dan, lebih murah ya dengan sosmed. Hanya tampilkan foto kegiatan menyapa dengan whatsapp,” jelasnya.

“Hari ini belum tentu. Orang dikasih janji-janji manis, palsu dengan orasi begitu saja. Apa iya semua orang akan mengiyakan?” tambahnya.

Pada era Pemilu 1955 dan 1971, rakyat menghadiri ke kampanye partai politik atas kemauan sendiri.

“Orang datang pada zaman dahulu itu atas dasar kesadaran, mungkin enggak dibayar. Kalau sekarang orang akan nanyain tuh, bensinnya berapa? Terus ada makan siang apa kaga?” ungkap Direktur Eksekutif Puskapol Universitas Indonesia, Aditya Perdana.

“Jadi, lebih kompleks dan lebih rumit. Kalau ditanya banyak perbedaannya? Banyak banget! Memang konteksnya beda,” tambahnya lagi.

Kampanye Pemilu Efektif Rebut Hati Rakyat

Kotak suara di Pemilu 2004. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

Lalu bagaimana kampanye pemilu efektif merebut hati rakyat sekarang ini? Direktur Eksekutif Puskapol Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menjelaskan banyak cara dan jenis varian kampanye.

Semisal, model door to door itu lebih efektif. Calon pemilih diajak salaman, diajak foto selfie, menyebar kesan dengan dikasih bingkisan, atau ngobrol di cafe.

Model diskusi melingkar seperti Anies Baswedan bersama calon pemilih. Cara menarik dan intim bagi calon pemilih.

“Dengan cara-cara demikian akan lebih diperhatikan dan didiskusikan,” ujar Aditya Perdana menjelaskan.

Fenomena jargon gemoy, perubahan, sat set keberlanjutan di Pemilu 2024. Menurutnya, gemoy dan perubahan itu dua hal yang berbeda.

“Itu (perubahan) ada ide dan gagasan atau bahkan programnya. Kalau gemoy kagalah. Menurut saya itu cuma strategi kampanye saja joget-joget dan nari-nari,” jelasnya.

Soal perubahan dan keberlanjutan itu jelas narasinya. Sebab, di banyak tempat dan negara juga melakukan seperti tersebut.

“Amerika Serikat juga begitu, ada model kampanye begitu,” tuturnya.

“Jadi itu kan untuk menunjukkan bahwa apa yang sedang dilakukan oleh rezim sebelumnya dengan yang nanti itu tentu berbeda. Mau kayak apa? Penekanannya jadi ke mana. Ide dan gagasannya begitu,” tambahnya.

Lantas, masihkah rakyat atau calon pemilih membutuhkan sosok tokoh politik jago berorasi di hadapan publik?

Direktur Eksekutif Puskapol Universitas Indonesia itu menjawab tokoh politik populer masih diperlukan. Sedangkan jago ngomong orator ulung sudah bukan eranya lagi.

Orang kayak Ridwan Kamil contoh misalnya ya. Dia enggak jago ngomong, tetapi jago di media sosial dengan apa pun yang dia lakukan,” ungkap Aditya Perdana.

“Terus kemudian Ganjar Pranowo, juga misalnya begitu. Terus ada banyak politisi di level bupati dan gubernur juga melakukan hal yang sama,” tambahnya lagi.

Sekarang ini, rakyat atau calon pemilih melihat politisi menyampaikan gagasannya harus jelas. Begitu juga rekam jejak sewaktu mereka menjadi legislatif sampai eksekutif.

Kalaupun politisi tersebut mau menyosialisasikan kinerjanya kepada publik. Penyebaran kinerja melalui platform media sosialnya.

“Zaman sekarang ya begitulah. Enggak harus dia jago ngomong, pintar untuk meyakinkan publik. Orang sekarang jauh lebih kritis kok,” ungkap Aditya Perdana.

“Artinya dia dari media sosial akan melihat, nih orang yang bisa kerja, ini orang yang cuma bisa ngomong saja, ini orang yang enggak ngapa-ngapain–orang bisa tahu. Karena orang akan bisa melakukan tracking terhadap pengalamannya dan apa aktivitasnya,” tambahnya lagi.

Editor: Ferry Sabsidi
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS