Organisasi Masyarakat Sipil Minta Perbankan Hentikan Pendanaan Proyek Ekstraktif

Salah Satu Lokasi Pertambangan Batu Bara di Indonesia. (Foto: jatam.org)

PARBOABOA, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta sektor perbankan menghentikan pendanaan proyek ekstraktif kepada sejumlah perusahaan guna mencegah daya rusak.

Seruan itu disampaikan dalam diskusi publik belum lama ini yang diselenggarakan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bekerja sama dengan Market Forces dan Sawit Watch.

Dalam diskusi, mereka menelanjangi daya rusak yang ditimbulkan oleh bisnis ekstraktif, salah satunya yang dilakukan oleh Harita Group, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan sawit.

Ekspansi perusahaan tersebut di sektor perkebunan sawit, kata mereka, telah mengakibatkan berbagai "daya rusak dan kriminalisasi."

Salah satu contohnya adalah semakin tingginya penggunaan batu bara untuk menghidupi smelter nikel di Obi, Maluku Utara. Bagi organisasi masyarakat sipil, hal ini sudah seharusnya "membuat bisnis Harita Group tidak layak untuk mendapatkan pembiayaan dari lembaga bank yang menyatakan komitmen pembiayaan berkelanjutan."

Sementara itu, dua warga Wawonii, Amlia dan Hastoma, yang hadir dalam diskusi mengungkapkan kekhawatiran mereka atas kehadiran anak perusahaan Harita Group di wilayahnya.

“Air bersih sudah tidak bisa kami andalkan lagi. Sekarang kami harus membelinya, sementara penghasilan keluarga justru semakin menipis,” ujar Amlia dengan nada prihatin.

Hastoma menambahkan, “tekanan, ancaman, bahkan kriminalisasi masih terus terjadi di lapangan.”

Sebagai bentuk protes, warga Wawonii menyerahkan surat langsung kepada tiga bank besar di Indonesia pada tanggal 25 dan 26 Maret 2025 untuk segera menghentikan pendanaan proyek-proyek tersebut. 

Ketiga bank itu adalah Bank OCBC yang memberikan pembiayaan sebesar US$ 635 juta, Bank UOB senilai US$ 201 juta, serta Bank Mandiri yang turut berkontribusi sebesar US$ 85 juta.

Harita Group, yang dikenal sebagai salah satu konglomerasi besar di Indonesia, membangun gurita bisnisnya melalui eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran: tambang nikel, batu bara, bauksit, serta perkebunan sawit dan industri kayu. Melalui ekspansi ini, pemilik Harita berhasil masuk dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia versi Forbes pada 2022, menempati posisi ke-36 dengan total kekayaan mencapai US$ 1,1 miliar (sekitar Rp 17,1 triliun).

Namun di balik kesuksesan bisnisnya, jejak Harita Group sering kali identik dengan dampak lingkungan yang parah—mulai dari rusaknya lanskap alam dan ekosistem, hingga hancurnya ruang hidup warga, akses terhadap pangan, air bersih, dan keharmonisan sosial. Tak sedikit pula warga yang mengalami kekerasan dan kriminalisasi akibat aktivitas perusahaan ini.

Ironisnya, meski pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan jelas soal keuangan berkelanjutan, seperti yang tertuang dalam POJK No. 51/POJK.03/2017—masih ada 12 lembaga keuangan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang terus mendanai proyek-proyek Harita yang berpotensi memperluas kerusakan tersebut.

Kerusakan Ekologis Serius Akibat Operasi Ekstraktif Harita Group

Organisasi masyarakat sipil juga menyoroti kerusakan ekologis serius akibat operasi ekstraktif Harita Group yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. 

Di Pulau Wawonii dan Pulau Obi, kata mereka, pertambangan nikel menyebabkan "pencemaran air dan udara, mengancam kehidupan masyarakat lokal, merusak hutan, serta memperbesar risiko bencana ekologis." 

Sementara di Kalimantan, "aktivitas tambang bauksit, batu bara, dan perluasan perkebunan sawit menimbulkan deforestasi, konflik dengan satwa liar, serta mencemari sumber-sumber air vital."

Berbagai pelanggaran hukum dan kriminalisasi warga juga menjadi pola berulang. Warga Wawonii, misalnya, telah menang di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk melindungi pulau kecil dari tambang, namun Harita tetap berupaya mencari celah hukum. Hingga 2025, 44 warga Wawonii dan puluhan lainnya di Kalimantan dikriminalisasi.

Di sisi lain, dampak kesehatan sangat nyata. ISPA menyerang lebih dari 900 warga Obi pada 2020 akibat polusi udara dari smelter. Logam berat dan sanitasi buruk memperparah kondisi kesehatan masyarakat di kawasan tambang tersebut.

Koordinator JATAM, Melky Nahar, menegaskan bahwa semua ini mencerminkan buruknya komitmen pihak-pihak terkait dalam melindungi keselamatan rakyat. Karena itu, kata dia, Organisasi masyarakat sipil mendesak adanya keberpihakan nyata kepada warga, bukan pada kepentingan bisnis yang merusak.

 

 

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS