PARBOABOA, Jakarta - Pengaruh Presiden Jokowi terhadap kemenangan kontestan pilpres 2024 tampaknya masih begitu besar.
PDIP merasakan itu kala mengambil jarak dengan Jokowi dengan mengkiritk keras isu politik dinasti yang dikaitkan dengan polemik di MK, hingga keputusan untuk menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Efeknya bisa dilacak dari sejumlah hasil survei belakangan, dimana terjadi trend penurunan elektabilitas pasangan Ganjar-Mahfud, capres-cawapres yang diusung partai berlambang banteng moncong putih ketika harus berhadap-hadapan dengan Jokowi.
Menyadari ini, PDIP mulai bermanuver untuk merebut kembali pengaruh Mantan Wali Kota Solo itu. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto misalnya mencoba menyamakan posisi Jokowi dengan Ganjar Pranowo dalam membangun Indonesia ke depan.
Hasto bahkan mengklaim adanya dukungan Jokowi untuk pasangan Ganjar-Mahfud hingga saat ini. Ia mengatakan, dukungan itu terbukti ketika setiap kunjungan capres Ganjar ke beberapa daerah selalu disusul kunjungan lanjutan oleh Jokowi.
Tak hanya itu, Hasto juga mengaitkan gagasan Satu Kartu Terpadu Indonesia (Sakti) sejalan dengan intruksi Presiden Jokowi yang menginginkan penggunaan KTP untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.
"Ya Pak Jokowi membantu Pak Ganjar, Pak Jokowi di belakang Pak Ganjar," kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Menteng Jakarta Pusat baru-baru ini.
Sementara itu, Andi Widjajanto, Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud mengakui, Presiden Jokowi memiliki basis massa yang loyal hingga saat ini.
Ia mengatakan, peluang itu turut mengubah strategi pihaknya terutama untuk mengkonsolidasi kembali pendukung Ganjar Pranowo dengan pendukung loyal Presiden Jokowi.
Ia bahkan menyebut, prioritas program Ganjar Pranowo adalah meneruskan legasi dan warisan Presiden Jokowi selama 10 tahun, termasuk mendukung penuh pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Tak Berpengaruh
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indo Barometer M.Qodari mengatakan, untuk mengukur efektivitas perubahanan strategi tim Ganjar-Mahfud yang coba mendekati kembali Jokowi, harus melalui alat ukur yang jelas, yaitu survei.
Menurutnya, tidak bisa hanya sebatas klaim, bahwa perubahan strategi itu berbanding lurus dengan kenaikan tingkat elektabilitas.
"Untuk mengambil kesimpulan tunggu survei berikutnya. Ini strategi juga belum lama-lama amat kan, sekitar dua minggu. Jadi kita harus menunggu survei pada awal Januari atau pertengahan untuk melihat dampaknya," kata Qodari saat menjadi pembicara di Podcast Cokro TV, Sabtu (24/12/2023).
Namun demikian, ia pesimis, strategi ini akan mampu mengubah konstelasi secara signifikan, karena tim Ganjar-Mahfud terlalu besar dan majemuk.
Struktur tim yang majemuk ini menurutnya sulit untuk disatukan agar tidak menyerang Jokowi. Ia mengatakan, kemarahan akan tetap muncul terutama dari kader dan para militan PDIP.
"Ini tim banyak sekali. Kalau kita lihat siapa yang ngomong, misalnya Arsjad Rasjid beliaukan bukan orang PDIP, bukan struktur PDIP. Dia orang luar, secara emosi lebih soft," katanya.
Qodari menegaskan, serangan untuk Jokowi tetap ada, walapun esklasinya mungkin menurun. "Saya kira tetap ada, kalau awal November nyerangnya 90 persen mungkin sekarang 40 atau 50 persen," tambahnya.
Ditambah, kata Qodari, PDIP bersama tim Ganjar-Mahfud saat ini, secara simbolik juga menunjukkan perbedaanya dengan Jokowi, seperti dari nama koalisi dan lain-lainnya yang kelihatan di publik.
Menurut Qodari, ini menunjukkan apa yang diinginkan oleh Jokowi sebenarnya tidak direstui oleh tim Ganjar-Mahfud. Contohnya soal nama koalisi.
Prabowo, dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM), demikian juga dengan nama tim yaitu, TKN kata Qodari sama seperti yang diinginkan Jokowi. Sementara Ganjar Pranowo nama timnya TPN dengan slogan Indonesia Unggul.
Karena itu, ia mendandaskan, "ini nggak bisa klop dengan pak jokowi, kalaupun nempel, nempelnya itu agak susah nggak bisa 100%."
Di luar itu, menurut Qodari, hal yang tidak bisa diutak-atik oleh kubu Ganjar-Mahfud adalah fakta bahwa Putra Sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Faktor-faktor lain mungkin masih bisa dinegosiasi, tapi soal Gibran, kata Qodari adalah harga mati bagi Jokowi dan simpatisannya untuk tidak mengubah pilihan.
"Yang nggak bisa diutak-atik tim Ganjar adalah Fakta bahwa gibran bersama dengan prabowo. Kecuali kalau memungkinkan masih terjadi pergantian wapres. itulah yang nggak bisa direbut," tutupnya.
Pragmatis
Sementara itu, Pakar Politik, Prof. TB Massa Dajafar membaca sikap politik PDIP yang mengubah strateginya dengan mendekati kembali Jokowi sebagai sesuatu yang sah-sah saja, namun pragmatis.
Menurutnya, sikap tersebut justru tidak lagi mengonfirmasi karakter PDIP sebagai partai wong cilik. Ia mengatakan, sikap kritis terhadap kekuasaan adalah ciri khas PDIP yang seharusnya terus dipertahankan.
"Watak PDIP dikenal memperjuangkan aspirasi wong cilik. Tapi dalam 10 tahun terakhir PDIP menjadi partai jargon. PDIP harus kembali kepada politik genuin, politik bagi PDIP adalah nilai, bukan hanya sekedar kursi dan kekuasaan," kata Djafar kepada PARBOABOA, Senin (26/12/2023).
Djafar menyarankan agar PDIP membuat kontrak politik dengan rakyat untuk mengklarifikasi posisi dan membangun konsensus baru dengan pemilih.
Ia meyakini, langkah dan strategi tersebut akan lebih efektif daripada sekadar bersandar pada figur Jokowi yang menurutnya saat ini mengalami defisit legitimasi dan moral.
Meski, demikian Djafar menjelaskan, misalnya gagal dalam merebut kursi presiden, tapi dengan mengambil jarak degan Jokowi, PDIP memberi pesan politik kepada pemilih bahwa mereka tidak identik dengan Jokowi dalam momentum pemilu 2024.
Menurutnya, PDIP harus menunjukkan political will sebagai partai yang benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat.
Ia mengatakan, hanya dengan mengembalikan kepercayaan dan fokus pada nilai-nilai politik yang sejati, PDIP dapat membangun konsolidasi yang kuat untuk menghadapi pemilu 2024.