PARBOABOA, Jakarta - Hingar bingar pedagang kuliner sepanjang jalan itu mulai terasa. Mereka saling beradu saing merebut hati pembeli.
Namun, ada yang terdiam sembari terus meyakinkan diri hingga tiba sang penikmat seni.
Matahari beranjak naik ke atas kepala menunjukkan waktu siang hampir tiba. Orang-orang pun mulai mendatangi jajaran pedagang kuliner di area itu.
Sayangnya, ada seorang pria yang duduk dalam diam di tengah deretan lukisan yang hanya dilewati begitu saja oleh mereka.
Di usianya yang tak lagi muda, lelaki tersebut lebih memilih mencari pundi-pundi rupiah dibanding bersantai di rumah untuk menikmati hari-harinya.
Hari itu, ketika Tim Parboaboa menemui dan menyambanginya, ia hanya berkata, “Tapi saya sedang tidak coret-coret (melukis),” sambil mempersilahkan untuk duduk.
Atno Setiawan (65), seniman karikatur dan lukisan beraliran realisme ini mencoba peruntungan menjadi pelukis jalanan di kawasan Blok M Square, Jakarta Selatan.
Pandangan Tim Parboaboa pun tertuju pada tangan kirinya yang sejak awal pembicaraan tampak berusaha ia sembunyikan.
Dengan senyumnya yang khas, Atno mengungkapkan cerita di balik itu.
“Itu dulu jatoh waktu kecil, cuma saya gak bilang ke orang tua karena gk begitu parah. Terus sekarang baru cek, diobati, kata dokternya udah apa itu… terlambat,” ungkapnya.
Kejadian itu terus menerus diingatnya, seraya mengeluh ‘kenapa tidak langsung diobati?’. Namun, lambat laun sejak peristiwa itu, Atno hanya berusaha untuk ikhlas dan mengandalkan satu tangannya.
Otot dan syaraf yang sudah kaku membuat tangan kirinya tidak bisa digerakkan dan di bagian pergelangan tangan agak bengkok, begitu pula jari-jari tangannya.
Ketika melukis, ia hanya menggunakan tangan kanannya saja, sedangkan tangan kirinya hanya menjadi tumpuan tepi kanvas.
Tetapi sebelumnya, saat Tim Parboaboa tiba, lelaki itu sedang mengangkat barang dan lukisan hanya dengan satu tangannya sambil tertatih-tatih karena asam urat yang dideritanya.
Bahkan di sela-sela kami mengobrol, Atno membuka botol minuman dengan cara menggigit tutup botol lalu memutarnya hingga terbuka.
Sang Maestro Jadi Semangat Dalam Hidupnya
Karyanya yang menawan, pula berbanding terbalik dengan kisah hidupnya.
Pria asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu sudah menjajakan jasa melukisnya di Jakarta sejak tahun 1989. Jadi, sudah separuh hidupnya ia jalani sebagai pelukis jalanan.
Hampir setiap hari, Pria itu menawarkan karya seni lukisnya kepada para pengunjung yang lalu lalang di lokasi ini.
Harga yang disuguhkan pun beragam mulai dari 400 ribu rupiah hingga jutaan rupiah, tergantung besar kecil ukuran kanvas dan kesulitan lukisan yang dipesan.
Di sisi lain, pada usianya yang tak lagi muda membuat kondisi kesehatan Atno tidak selalu stabil.
Bahkan, rasa sakit itu menyerang saat bekerja, terlebih lagi ketika cuaca tidak menentu.
Pria itu pun terpaksa tidak datang ke lapaknya beberapa hari untuk memulihkan kondisi tubuhnya.
Ditambah lagi penyakit asam urat yang dideritanya sering kali membuat dirinya merasakan nyeri dan sulit digerakkan, terutama bagian kaki dan tangan.
“Tadinya saya mau libur, tapi udah dua hari gak datang karena sakit.”
“Itu asam urat, dek. Kadang di sini, trus di sini, makanya saya tadi jalan sambil miring-miring, diseret karena itu. Tapi, ini udah mendingan,” ujar Atno sambil menunjuk-nunjuk bagian kaki dan tangannya yang terserang asam urat.
Atno yang hanya mengandalkan tangan kanannya pun, hanya bisa bersabar saat kram dan nyeri karena penyakit yang kian menyerang tangannya.
Meskipun begitu, Lelaki itu tetap bertahan menjadi seniman jalanan.
Sang Maestro Pelukis Indonesia, Basuki Abdullah, pula menjadi semangat perjalanan hidupnya.
Saat Tim Parboaboa bertanya, lukisan mana yang paling ia suka dan paling berkesan, dirinya menunjuk ke sebuah lukisan bergambarkan pria yang mengenakan topi pet di pojok pelataran.
“Yaa ini, lukisan Pak Basuki Abdullah,”
ketgamb Deretan hasil lukisan Atno, di kawasan Blok M Square, Jakarta Selatan. (Foto: PARBOABOA/Hildha) #end
Kekagumannya akan sosok Basuki dan karya yang dihasilkannya menginspirasi Atno menjadi seorang seniman hebat.
Entah sudah berapa kali dirinya bertemu dengan idolanya itu, yang paling diingatnya ketika bertemu Basuki Abdullah di Solo saat ia menempuh pendidikan seni.
Sebelum merantau ke Jakarta, sambungnya, ia sempat mengembangkan minatnya dengan sekolah khusus kesenian di Solo, Jawa Tengah, dan berhasil menggelar pameran bersama teman-teman sesama pelukis pada 1980-an.
Kemudian, Atno pun memutuskan untuk pergi ke Jakarta dengan harapan jangkauan pasar lebih luas dan usahanya semakin berkembang.
Tantangan Sebagai Pelukis Jalanan
Berawal dari hobi, Atno mengandalkan lukisan sebagai mata pencaharian.
Memang terlihat menyenangkan jika menjadikan hobi sebagai ladang rezeki, akan tetapi menurut Atno ada saja tantangan yang dihadapinya.
Premis yang ia tanamkan saat pertama kali menginjak Ibukota tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, mewujudkannya tak semudah membalikkan telapak tangan.
Dulu, lanjutnya, peminat lukisan sangat banyak, bahkan dalam satu hari dirinya bisa menerima dua pesanan.
Namun, seiring tingginya persaingan antar pelukis dan perkembangan zaman, membuat pemesan lukisan terus berkurang dan tidak menentu, bahkan ia hanya mendapatkan dua pesanan lukisan dalam satu minggu.
Kemudian, Atno pun juga menuturkan lukisan yang menjadi model hasil karyanya ini disimpan di area bawah tangga pelataran Blok M Square.
Soal keamanan memang sudah ada penjaganya, jika pun ada yang mencuri bukan dari orang luar, tapi justru teman seperjuangannya lah yang berbuat curang.
“Ini, dek. Malah biasanya dari teman sendiri. Lukisannya dijelek-jelekin atau dibuang. Cat-cat ini diambil, terutama yang bagus. Itu yang gak aman.”
“Dulu malah ada yang ketauan ngambil, trus diusirlah dari sini, ga k boleh lagi di sini,” tutur Atno.
Meskipun begitu, Lelaki itu memaklumi hal tersebut karena ada tindakan tegas dari keamanan, hanya saja ia mengeluhkan tempat penyimpanan yang sekarang sudah tidak tertata rapi lagi.
Walaupun begitu, dibalik kenyataan dan tantangan yang dihadapinya, Atno terus berinovasi dengan menawarkan dagangannya melalui media sosial berupa Facebook, Instagram, dan Youtube.
Beberapa pesanan pun ada yang masuk lewat online, tapi dirinya menyampaikan pesanan lebih banyak dari lapak dagangannya ini dan ia lebih menyukai pesanan secara langsung karena detail pesanan lebih jelas.
Atas kegigihannya itu, usaha Atno membuahkan hasil berupa piagam penghargaan dan uang sebesar 25 juta rupiah pada 2018 dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019, Zulkifli Hasan, di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Dari perjuangan Atno, dapat diambil pelajaran bahwa keterbatasan jangan dijadikan sebagai penghalang.
Justru keterbatasan adalah tonggak diri untuk terus berusaha bangkit, mengasah keahlian, dan terus berinovasi dalam meraih pundi-pundi rezeki.
Penulis: Hildha Nur Aini
Peserta Program Magang Parboaboa
Editor: Luna