PARBOABOA, Jakarta - Konsep pertanian di Indonesia seringkali mengadopsi penggunaan sampah organik.
Mengutip laman Desa Citalahab, sampah organik adalah jenis sampah yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan atau hewan yang mudah terurai secara alami.
Sampah ini mencakup sisa-sisa makanan dari dapur, seperti kulit buah, sayuran, dan kertas yang telah terkontaminasi dengan bahan organik.
Sampah organik juga mencakup limbah hijau dari pertanian, dedaunan, dan sisa tanaman, yang berkontribusi pada siklus alami dekomposisi.
Penggunaan sampah organik sebagai sumber daya pertanian tidak hanya berfungsi mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan.
Sampah organik diketahui mengandung nutrisi penting seperti nitrogen, fosfor, dan kalium yang esensial bagi pertumbuhan tanaman.
Ketika sampah ini terurai oleh mikroorganisme, nutrisi-nutrisi tersebut dilepaskan secara perlahan ke dalam tanah.
Proses tersebut tidak hanya meningkatkan kesuburan tanah, tetapi juga meningkatkan kapasitas tanah untuk menahan air dan mengoptimalkan penyerapan nutrisi oleh tanaman.
Tanah yang subur tidak hanya mendukung pertumbuhan tanaman, tetapi juga meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan.
Selain memberikan nutrisi, sampah organik juga berperan penting dalam meningkatkan struktur fisik tanah.
Tanah yang diperkaya dengan bahan organik cenderung lebih longgar dan memiliki porositas yang baik.
Hal ini memungkinkan akar tanaman menembusi tanah dengan lebih mudah, memperoleh air dan nutrisi secara efisien, serta mengurangi resiko erosi tanah.
Dengan memperbaiki struktur tanah, penggunaan sampah organik membantu membangun fondasi yang kokoh bagi pertanian yang berkelanjutan.
Beberapa sumber terpercaya juga menyebut, sistem pertanian yang menggunakan sampah organik terbukti menghasilkan produk pertanian dengan kualitas yang lebih baik.
Tanaman yang tumbuh di tanah yang diperkaya dengan bahan organik cenderung lebih tahan terhadap penyakit dan serangga.
Hasil panen dari pertanian organik juga seringkali memiliki cita rasa yang lebih baik dan nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil dari pertanian konvensional.
Dengan meningkatkan kualitas produk pertanian, praktik ini tidak hanya menguntungkan petani tetapi juga memenuhi permintaan konsumen akan keberlanjutan dan kualitas pangan.
Lebih lanjut, penggunaan sampah organik dalam pertanian membantu mengurangi jumlah limbah yang masuk ke tempat pembuangan akhir atau dibakar terbuka.
Dengan meminimalisasi volume sampah yang harus dibuang, praktik ini turut mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar.
Selain itu, pengurangan limbah organik juga berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperbaiki kualitas udara di sekitar area pertanian.
Laman Desa Citalahab mencatat, pemanfaatan sampah organik sebagai sumber nutrisi bagi tanaman dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Selain mengurangi biaya produksi, penggunaan sampah organik juga mendukung pembangunan pertanian berjangka panjang.
Pengelolaan sampah organik dengan bijak dalam pertanian adalah langkah penting untuk membangun sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dengan mempertimbangkan manfaat-manfaat tersebut, praktik ini tidak hanya memberikan solusi bagi manajemen limbah, tetapi juga membuka peluang untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pertanian di masa depan.
Proses Pengelolaan Sampah Organik
Pengelolaan sampah organik umumnya bersifat variatif antara satu kelompok dengan kelompok lain.
Semua bergantung pada persediaan alat dan bahan, serta keahlian petani. Meski demikian, praktik pengelolaan sampah organik memiliki sejumlah panduan umum, antara lain:
1. Pemisahan Sampah Organik dan Non-Organik:
Langkah pertama adalah pemisahan sampah organik dan non-organik. Sampah organik diolah menjadi pupuk, sedangkan sampah non-organik didaur ulang atau diolah secara terpisah.
2. Komposting:
Metode komposting menjadi pilihan utama. Sisa makanan, daun jatuh, dan sisa tanaman dicampur dengan bahan karbon seperti serbuk gergaji dan sekam padi, kemudian dikomposkan selama beberapa minggu hingga bulan.
3. Pembuatan Pupuk Cair:
Masyarakat dapat mengembangkan pupuk cair dari fermentasi sampah organik menggunakan bakteri pengurai. Pupuk cair ini digunakan langsung pada tanaman atau sebagai campuran saat penyiraman.
4. Vermitranskomposting:
Menggunakan cacing tanah untuk komposting juga menjadi praktik populer. Ladang cacing tanah khusus dibangun untuk mempercepat penguraian sampah organik menjadi pupuk berkualitas tinggi.
5. Penggunaan Pupuk Organik:
Hasil pupuk organik yang digunakan secara luas pada kebun dan lahan pertanian dapat meningkatkan hasil panen dan kesuburan tanah.
Selain lima proses di atas, masyarakat diminta menggelar penyuluhan dan pelatihan rutin tentang manfaat pengelolaan sampah organik bagi pertanian.
Hal ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam praktik pengelolaan sampah organik serta kesadaran akan kesehatan lingkungan.
Praktik-praktik tersebut tidak hanya mendukung keberlanjutan lingkungan lokal, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan para petani secara keseluruhan.
Editor: Defri Ngo