Pembahasan RUU TNI dan RUU Polri Berlanjut, Lembaga Agama: Jangan Terburu-buru

Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia (Foto: Dok. Parboaboa)

PARBOABOA, Jakarta – Isi revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) dan revisi Undang-Undang Polri (RUU Polri) mendapat perhatian serius sejak bergulir di masyarakat.

Aturan ini dinilai terburu-buru dan sangat kental dengan setting-an mengabaikan secara total partisipasi publik. 

Meski begitu, wakil ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa pembahasan RUU TNI dan RUU Polri akan tetap dilanjutkan di DPR.

Dia menegaskan, untuk mencegah pelanggaran undang-undang, poin-poin perluasan wewenang dimasukkan dalam RUU tersebut.

Namun, dia pastikan perluasan yang dimaksud tetap terbatas sesuai dengan kebutuhan bagi masyarakat, "yang kemudian akan ditentukan oleh presiden," kata Dasco di Jakarta, Selasa, (4/06/2024).

Menurut Ketua Harian Partai Gerindra ini, wewenang aparat negara tersebut justru dibatasi dalam kedua RUU tersebut.

Dia beralasan, ada beberapa kementerian dan lembaga telah diduduki oleh aparat negara tersebut yang belum diatur dalam undang-undang.

Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa pihaknya juga bakal menyiapkan mekanisme pengawasan yang lebih kuat terhadap aparat negara tersebut dengan membuat protokol yang harus dijalankan dengan sebenar-benarnya.

Diketahui, DPR telah menyetujui RUU TNI dan RUU Polri menjadi RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa, (28/05/2024) lalu.

Adapun, pembahasan kedua RUU tersebut sampai saat ini masih konsentrasi pada perubahan usia pensiun untuk bintara, tamtama, dan perwira.

Badan Legislasi (Baleg DPR) pun menerangkan bahwa pembahasan revisi kedua undang-undang tersebut tetap berfokus pada perubahan usia pensiun.

Hingga kini, sudah ada sekitar dua kali pembahasan RUU TNI di Baleg DPR.

Adapun, salah satu faktor pendorong RUU itu digulirkan demi penyesuaian dengan UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga memuat perubahan usia pensiun.

Berbagai Tanggapan

Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Pusat Muhammadiyah, Trisno Raharjo, menekankan pentingnya tidak melakukan penyusunan revisi RUU TNI dan RUU Polri secara terburu-buru.

Menurutnya, tidak pada tempatnya kalau penyusunan undang-undang dilakukan buru-buru, "apalagi pada akhir masa jabatan," ucap Trisno di Jakarta pada Rabu, (12/06/2024).

Trisno pun merujuk pada revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK pada 2019 silam.

Menurutnya, revisi tersebut menjadi biang wajah KPK jadi seperti sekarang karena dilakukan pada masa akhir jabatan.

Dia juga menegaskan, DPR harus menunjukkan kepatuhan mereka terhadap peraturan perundang-undangan.

Hal ini sangat penting, sambungnya, untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk kelompok atau kepentingan tertentu.

Trisno juga mengatakan, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah justru berpandangan sebaiknya, bahwa revisi UU TNI dan UU Polri mestinya diserahkan kepada Anggota DPR RI periode 2024-2029.

Sementara terkait pengaturan kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber oleh Polri, pihaknya meminta untuk dilaksanakan dengan bertanggung jawab, seperti perlu adanya izin pengadilan.

Bagi Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, pengaturan penyadapan dalam revisi UU Polri merupakan bentuk pelanggaran privasi.

Karena itu, lanjutnya, harus ada akuntabilitas pengaturan penyadapan serta prinsip-prinsip penyadapan harus menghormati HAM.

Di samping itu, lembaga agama ini juga berharap, perihal ketentuan yang membolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil, sebaiknya dihapus.

Adapun mengenai perpanjangan usia kedinasan prajurit TNI dan Polri, PP Muhammadiyah menilai perlu dipertimbangkan secara matang.

Selain itu, jabatan yang diemban tersebut harus mengutamakan fungsi perlindungan dan pelayanan masyarakat.

Berbeda dengan itu, pengamat politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menyoroti secara khusus revisi Undang-Undang (UU) TNI, dengan memperhatikan kemungkinan adanya pasal karet.

Diketahui, sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan mengungkapkan kekhawatiran adanya pasal karet dalam revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Menurutnya, pasal karet yang dimaksud untuk kondisi darurat, bukan untuk kepentingan politik praktis presiden.

"Kondisi darurat adalah keadaan sulit yang tidak disangka-sangka," demikian Ginting melalui keterangannya, Kamis (13/6/2024).

Pada titik itulah, jelas Ginting, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI sesuai UUD 1945 pasal 10, dapat bertindak cepat untuk mengatasi keadaan yang sangat terpaksa dengan menggerakkan TNI.

Menurut Ginting, pada situasi darurat, Presiden dapat segera memutuskan tindakan yang tepat dengan memerintahkan TNI.

Namun, haram hukumnya presiden menggunakan pasal tersebut untuk kepentingan politik praktis.

"Namun, jika tidak ada pasal karet dalam UU TNI seperti itu, jelasnya, yang rugi adalah bangsa Indonesia karena akan terkendala birokrasi yang panjang."

Padahal pada saat darurat, kata Ginting, harus diputuskan secepatnya dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi."

Ginting menegaskan, tentu publik bisa bereaksi keras apabila Presiden menggerakkan TNI dalam pasal karet itu untuk kepentingan politik praktis.

Panglima TNI juga lanjutnya, dalam keadaan seperti ini harus menolak perintah Presiden, karena politik TNI adalah politik negara, bukan politik praktis.

Lebih lanjut, Ginting menguraikan bahwa keadaan darurat tidak mesti dalam situasi darurat sipil, darurat militer, bahkan darurat perang, bisa juga situasi yang belum pernah diprediksi sebelumnya.

Seperti situasi yang dapat membahayakan persatuan nasional bahkan kedaulatan negara.

Dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas ini menegaskan bahwa Pasal 47 ayat (2) UU TNI saat ini sudah diterapkan di beberapa kementerian dan lembaga yang terkait dengan pertahanan dan keamanan negara.

Karena itu, Ginting juga mengatakan bahwa keberadaan TNI di 10 kementerian atau lembaga negara masih dapat dimaklumi.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS