Hapus Hukuman Mati: Langkah Menuju Sistem Peradilan yang Adil dan Manusiawi

Hapus hukuman mati demi ciptakan peradilan yang manusiawi. (Foto: ykp.or.id)

PARBOABOA, Jakarta - Di tengah upaya global menghapus ketentuan hukuman mati, Indonesia tetap memberlakukannya sebagai bagian dari sistem hukum pidana nasional.

Bahkan, berdasarkan laporan Amnesty International tahun 2023, jumlah orang yang divonis mati di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar.

Pada tahun tersebut, terdapat 114 orang yang menerima sanksi pidana paling berat ini, dan sekitar 86% dari mereka yang dihukum terkait dengan kasus narkotika.

Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Pemasyarakatan Kemenkumham yang dipublish per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu. Sebanyak 11 rang dari antara mereka adalah perempuan.  

Kalau dicermati, hal ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa pemerintah masih menggunakan hukuman mati sebagai salah satu cara untuk menindak tegas kejahatan narkoba yang dianggap berbahaya bagi masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yang merupakan KUHP terbaru, hukuman mati juga tetap diakui. 

Namun, di sana, pidana mati hanya akan dijatuhkan sebagai pilihan terakhir, setelah mempertimbangkan hukuman penjara, terutama untuk kasus-kasus yang merugikan masyarakat secara luas.

Di Indonesia, beberapa kasus hukuman mati terkait narkotika dan terorisme menarik perhatian publik-luas, baik dari dalam negeri maupun dari dunia internasional.

Salah satunya adalah tragedi Bom Bali 2002, yang menewaskan 202 orang. Sebagai sanksinya, pelaku, yaitu Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra dihukum dan dieksekusi pada 2008 setelah upaya banding mereka ditolak.

Kasus lainnya melibatkan Raheem Agbaje Salami, warga Nigeria yang tertangkap menyelundupkan heroin. Meski mengajukan grasi, eksekusi tetap dilakukan pada 2015. 

Freddy Budiman, seorang bandar narkoba, juga dieksekusi pada 2016 karena terus terlibat dalam penyelundupan meski sudah di penjara.

Lalu, Rodrigo Gularte, warga Brasil, dieksekusi pada 2015 karena menyelundupkan kokain, meskipun ia diketahui mengalami gangguan mental.

Sepintas, kasus-kasus ini menunjukkan ketegasan Indonesia dalam menangani kejahatan berat. Namun, pertanyaannya adalah apakah hukuman mati benar-benar memberi efek jera dan bisa mencegah kejahatan?

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dan Koalisi untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI) menilai, pidana mati bukan solusi tepat untuk mengakhiri berbagai jenis kejahatan berat.

Menurut mereka, berdasarkan sejumlah kajian, alih-alih memberi efek jera, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan perbaikan dan rehabilitasi.

"Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapapun," kata mereka saat memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia, Kamis (10/10/2024).

Selain itu, koalisi berkata, hukuman mati tidak membawa keadilan, justru menciptakan lebih banyak korban. Karena itu, dengan menghapus hukuman mati, Indonesia bisa membangun sistem peradilan yang lebih adil, manusiawi, dan selaras dengan tren global.

Diakui oleh koalisi, langkah menuju penghapusan hukuman ini sebenarnya sudah mulai dijajaki melalui KUHP baru yang memandatkan pidana mati sebagai "alternatif terakhir."

Menurut UU ini terpidana mati harus terlebih dahulu menjalani masa percobaan hukuman selama 10 tahun. Jika dalam masa itu terpidana menunjukkan perubahan sikap yang baik, hukuman mati bisa diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. 

Selain itu, KUHP baru juga mengatur mekanisme untuk menilai apakah terpidana telah menunjukkan perilaku yang lebih baik sebagai dasar pengubahan hukuman.

Di sisi lain, dorongan untuk menghapus hukuman mati juga terlihat di tingkat internasional dan regional. Malaysia baru-baru ini, misalnya, menghapus hukuman mati wajib (mandatory death sentence) dan menerapkan kebijakan pemidanaan ulang untuk mengurangi jumlah terpidana mati. 

Menurut koalisi, Ini adalah langkah penting di kawasan Asia Tenggara yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia.

Apalagi, sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, kata mereka, Indonesia memiliki kesempatan "untuk menjadi contoh dan mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan."

Paling tidak dari sisi HAM, harus ada ikatan solidaritas untuk kembali menegaskan "sebuah kebenaran universal bahwa setiap nyawa manusia berharga" dan "tidak boleh ada orang yang harus menghadapi eksekusi mati sebagai bentuk penghukuman yang adil."

Lantas, koalisi menyerukan kepada pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo, untuk melakukan komutasi massal bagi 557 terpidana mati sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024. 

Selain itu, juga mendorong presiden terpilih, anggota DPR yang baru, serta masyarakat Indonesia, termasuk aparat penegak hukum, untuk mengambil langkah nyata menuju masyarakat yang lebih beradab dan manusiawi, serta mengakhiri hukuman yang kejam dan tidak dapat dipulihkan ini.

Tak hanya itu, koalisi yang terdiri dari KontraS, YLBHI, Imparsial, ICJR dan beberapa beberapa koalisi masyarakat sipil lainnya meminta agar pemangku kepentingan perlu segera mengambil langkah untuk memberlakukan moratorium penuntutan dan eksekusi pidana mati. 

Hal ini sangat penting agar tidak ada lagi eksekusi yang dilakukan sebelum ada kajian yang lebih mendalam mengenai hukuman ini. 

Selain itu, perlu dibentuk mekanisme penilaian yang jelas dan adil untuk memungkinkan pengurangan hukuman mati bagi mereka yang layak, terutama bagi terpidana yang telah menunjukkan perubahan perilaku positif. 

Sementara itu, terpidana mati yang sudah menjalani masa penjara selama lebih dari 10 tahun harus segera menjalani asesmen untuk mempertimbangkan pengurangan hukuman mereka.

Pemantauan berkala terhadap tempat penahanan terpidana mati juga harus dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak mereka terpenuhi, serta untuk mencegah segala bentuk penyiksaan. 

Dalam setiap proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga pemenjaraan, responsivitas terhadap kebutuhan gender harus dijamin agar kebutuhan dan kerentanan khas perempuan dapat diakui dan diperhatikan dengan serius.

Pemerintah juga harus memastikan bahwa Penyandang Disabilitas mendapatkan akomodasi yang layak sejak awal proses penahanan hingga putusan pengadilan. 

Hal ini sangat penting agar kebutuhan khusus mereka dapat dipenuhi dan hambatan yang mereka hadapi diakui, sehingga mereka bisa mendapatkan proses hukum yang setara dan adil. 

Terakhir, pemerintah harus berperan aktif dalam menyelamatkan Warga Negara Indonesia, terutama para buruh migran, yang terancam hukuman mati di luar negeri. Perlindungan hukum yang layak harus diberikan kepada mereka agar terhindar dari hukuman yang kejam tersebut.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS