PARBOABOA, Jakarta - Wacana Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memicu perdebatan panas di masyarakat.
Alasan efisiensi biaya menjadi dasar usulan ini, tetapi apakah solusi ini benar-benar hemat atau justru mengancam demokrasi?
Prabowo Subianto, yang baru saja dilantik sebagai Presiden ke-8 RI pada Oktober 2024, menggulirkan wacana agar bupati dan gubernur dipilih oleh DPRD.
Menurutnya, sistem pilkada langsung menghabiskan biaya yang terlalu besar, mencapai puluhan triliun rupiah.
Prabowo mengajak Ketua DPR RI, Puan Maharani, serta partai politik lainnya untuk mengevaluasi sistem ini demi efisiensi.
“Mari kita pikirkan, apakah sistem ini terlalu mahal? Puluhan triliun habis dalam 1-2 hari, baik dari negara maupun tokoh politik,” ujar Prabowo di Sentul, Bogor, 12 Desember 2024.
Ia juga mencontohkan negara-negara tetangga yang memilih kepala daerah melalui parlemen lokal sebagai sistem yang lebih hemat.
Namun, wacana ini mengundang banyak respons kritis. Salah satunya dari Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus.
Lucius mempertanyakan klaim bahwa pilkada langsung selalu mahal. Ia menegaskan, biaya tinggi seringkali terjadi karena tidak ada transparansi dalam pelaporan dana kampanye.
“Data dana kampanye calon seringkali minim. Lalu, bagaimana bisa langsung menyebut pemilu mahal tanpa dasar data yang jelas?” kata Lucius melalui pernyataannya yang diterima Parboaboa, Jumat (20/12/2024).
Ia juga menambahkan, perubahan sistem pemilu demi efisiensi anggaran sudah berkali-kali dicoba, tetapi hasilnya seringkali mengecewakan.
Lucius mengingatkan bahwa gagasan ini sebenarnya bukan hal baru. Pada 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menghadapi gelombang kritik serupa ketika DPR dan pemerintah mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Namun, protes publik yang masif membuat SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mengembalikan sistem pilkada langsung.
“Wacana ini sudah pernah ada dan ditolak publik. SBY pun akhirnya mengembalikan sistem langsung karena tekanan masyarakat yang menginginkan demokrasi tetap terjaga,” ujar Lucius.
Senada dengan itu, Ervan Tou, Sekretaris Jenderal Vox Point Indonesia, menegaskan, pilkada langsung tentu memberikan legitimasi yang lebih kuat bagi kepala daerah.
Ervan menjelaskan, kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat memiliki tanggung jawab moral untuk memperhatikan aspirasi masyarakat.
“Kepala daerah yang hanya dipilih oleh DPRD, besar kemungkinan cenderung fokus mencari dukungan politik di parlemen, bukan dari masyarakat. Hal ini tentu dapat melemahkan akuntabilitas dan transparansi proses politik tersebut,” jelas Ervan kepada Parboaboa, Jumat (20/12/2024).
Ervan juga menyoroti adanya risiko politik uang yang tetap tinggi meski sistem pilkada diubah.
Ia menilai, proses politik khususnya lobi dan negosiasi antar partai di DPRD bisa menjadi peluang baru bagi praktik korupsi.
Sementara sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, menyatakan mendukung terhadap ide Prabowo.
Ia menyebut biaya pilkada langsung yang besar serta potensi konflik di daerah sebagai alasan utama mendukung wacana ini.
Tito bahkan mengusulkan sistem pilkada asimetris, di mana mekanisme pemilihan kepala daerah berbeda-beda sesuai karakteristik wilayah tertentu.
Tito menambahkan, wacana ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 dan akan dibahas lebih lanjut di kementeriannya.
“Kita akan adakan rapat untuk mencari solusi terbaik terkait UU Pemilu dan UU Pilkada,” kata mantan Kapolri ini di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada Senin, (16/12/ 2024).
Namun, tantangan besar menanti jika wacana ini benar-benar diimplementasikan.
Sejarah menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD rawan korupsi dan kehilangan legitimasi rakyat.
Dalam konteks demokrasi, pilkada langsung dianggap sebagai tonggak partisipasi rakyat yang tidak boleh diabaikan.