PPN 12 Persen, Jalan Pintas dengan Tantangan Ekonomi yang Panjang

Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono. (Foto: Instagram/@yusufwibisono.ideas)

PARBOABOA, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025 telah diputuskan pemerintah.

Langkah ini melanjutkan kebijakan sebelumnya yang menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen pada April 2022, menggantikan tarif 10 persen yang berlaku sejak 1983.

Kebijakan ini dinilai sebagai upaya pemerintah untuk menambah penerimaan negara. Namun, apakah langkah ini benar-benar solusi terbaik?

Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengkritik keputusan ini sebagai "jalan pintas" untuk mengatasi stagnasi penerimaan perpajakan selama satu dekade terakhir.

"Tax ratio pada 2023 hanya mencapai 10,23 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan awal pemerintahan Presiden Jokowi pada 2015 yang sebesar 10,76 persen," ungkapnya melalui pernyataan yang diterima Parboaboa pada Senin (23/1 2/2024).

Peningkatan Target

Yusuf  menjelaskan, sejak kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, penerimaan PPN dalam negeri memang menunjukkan peningkatan.

Pada 2021, penerimaan PPN tercatat sebesar 3,25 persen dari PDB, naik menjadi 3,51 persen pada 2022, dan terakhir 3,62 persen pada 2023.

Namun, peningkatan ini tidak sepenuhnya diiringi oleh stabilitas pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh).

Penerimaan PPh justru stagnan di 5,03 persen dari PDB pada 2023 dan diproyeksikan turun menjadi 4,70 persen pada 2024.

Sementara pemerintah, melalui Perpres No. 76/2023 dan Perpres No. 201/2024, menargetkan penerimaan PPN dan PPnBM sebesar Rp 61,5 triliun pada 2024.

Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, target tersebut diproyeksikan melonjak menjadi Rp 133,8 triliun pada 2025.

Sebagian besar peningkatan ini berasal dari PPN dalam negeri, yang diprediksi naik sebesar Rp 115,7 triliun.

Namun, ironisnya, target pendapatan PPnBM dalam negeri justru diperkirakan turun Rp 9,8 triliun.

Yusuf menilai bahwa kenaikan target pendapatan PPN dalam negeri yang signifikan bertujuan untuk mengkompensasi penurunan target pendapatan PPnBM. “Secara implisit, ini menunjukkan ketergantungan pemerintah pada pajak yang langsung menyentuh masyarakat luas, termasuk kelas bawah dan menengah,” jelasnya.

Kesenjangan Ekonomi

Kebijakan ini tidak lepas dari risiko besar bagi daya beli masyarakat. Yusuf Wibisono menggarisbawahi bahwa kenaikan tarif PPN cenderung membebani kelompok masyarakat kelas bawah dan menengah yang paling rentan terhadap dampak inflasi.

Ia menjelaskan, dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi, optimalisasi penerimaan PPN seharusnya dilakukan tanpa menaikkan tarif.

Yusuf juga menyoroti pentingnya langkah-langkah yang lebih strategis, seperti pemberantasan penggelapan omset penjualan dan restitusi fiktif, daripada terus membebankan tarif pajak yang lebih tinggi kepada masyarakat.

Kebijakan fiskal yang berkeadilan, menurutnya, tidak hanya menargetkan penerimaan semata, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat luas.

Selain itu, kenaikan tarif PPN dinilai kontradiktif dengan penurunan target pendapatan PPnBM. PPnBM sendiri merupakan pajak yang dikenakan pada barang mewah dan dirancang untuk menciptakan keadilan fiskal.

“Ironis jika pemerintah menurunkan target pendapatan PPnBM, tetapi justru menaikkan tarif PPN yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat,” tambah Yusuf.

Peningkatan tarif PPN menjadi 12 persen memang membawa harapan untuk memperbaiki penerimaan negara.

Namun, langkah ini sekaligus membawa tantangan berat. Dampak pada daya beli masyarakat, potensi inflasi, dan peningkatan kesenjangan ekonomi menjadi risiko nyata yang harus diantisipasi.

Apalagi, kenaikan tarif PPN berpotensi tidak memberikan tambahan penerimaan yang sebanding dengan dampaknya.

Dalam konteks ini, optimalisasi penerimaan pajak tanpa menaikkan tarif seharusnya menjadi fokus utama.

Pemerintah perlu lebih serius dalam memberantas kejahatan perpajakan dan menciptakan kebijakan yang benar-benar berkeadilan.

PPN bukan hanya sekadar alat untuk meningkatkan penerimaan, tetapi juga harus menjadi instrumen yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS