PARBOABOA, Jakarta - Sejak pertama diperkenalkan, kebijakan tax amnesty selalu memantik perdebatan publik.
Program ini dirancang untuk memberikan pengampunan kepada wajib pajak yang belum melaporkan atau menunggak kewajiban, dengan imbalan pembayaran uang tebusan dalam jumlah tertentu.
Tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara secara cepat, memperluas basis pajak, serta membuka data baru untuk pengawasan.
Dalam sejarahnya, Indonesia pertama kali menggelar tax amnesty modern pada tahun 2016–2017 di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Hasilnya cukup mencengangkan di mana sebanyak 956.793 wajib pajak mengikuti program ini dengan total deklarasi harta mencapai Rp 4.854,63 triliun. Dari angka tersebut, pemerintah memperoleh Rp 114,02 triliun sebagai uang tebusan.
Meski pencapaiannya besar, sebagian pengamat menilai dampak jangka panjangnya terhadap kepatuhan pajak masih terbatas, karena sebagian harta yang dideklarasikan tidak benar-benar direpatriasi ke dalam negeri.
Lima tahun berselang, pemerintah kembali membuka pintu lewat Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 2022. Program ini menyasar wajib pajak yang belum sepenuhnya memenuhi kewajiban periode 2016–2020.
Tercatat 247.918 wajib pajak mengikuti PPS dengan nilai harta terungkap mencapai Rp 594,82 triliun dan menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp 60,01 triliun.
Pemerintah mengklaim program ini memperkuat basis data, meski tetap dikritik karena memberi ruang keringanan bagi pelanggar.
Memasuki 2025, isu serupa kembali mencuat. Pemerintah dan DPR memasukkan RUU perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Dukungan semakin kuat setelah Menkopolhukam Budi Gunawan mengungkapkan bahwa pemerintah menyiapkan Tax Amnesty Jilid III sebagai solusi menarik kembali aset, termasuk yang terkait kasus-kasus korupsi besar.
Wacana ini muncul di tengah pelemahan penerimaan negara. Hingga April 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp 557,1 triliun, turun 10,74 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2024.
Menteri Keuangan kala itu, Sri Mulyani Indrawati, mengakui capaian tersebut baru sekitar 25,4 persen dari target APBN 2025 senilai Rp 2.189,3 triliun.
Tekanan defisit inilah yang membuat pengampunan pajak kembali dipertimbangkan sebagai opsi cepat untuk menutup kebutuhan fiskal.
Para pendukung menilai program ini dapat mempercepat repatriasi aset dan menambah likuiditas domestik, apalagi dengan hadirnya sistem administrasi perpajakan digital terbaru, Coretax, yang digadang-gadang bisa memastikan transparansi dan pengawasan lebih ketat.
Namun, kritik keras tetap menyeruak di mana. Publik menilai keseringan memberikan pengampunan justru bisa merusak keadilan pajak dan mengikis kepatuhan jangka panjang.
Penolakan Menkeu Purbaya
Di tengah sorotan publik, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan penolakannya terhadap Tax Amnesty Jilid III. Ia khawatir kebijakan ini justru memberi sinyal keliru kepada masyarakat.
“Kalau amnesty berkali-kali, gimana jadi kredibilitas amnesty? Itu memberi sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti akan ada amnesty lagi,” ujar Purbaya pada Jumat (19/9/2025).
Purbaya menegaskan, pemberian pengampunan berulang hanya akan mendorong praktik penghindaran pajak dengan asumsi akan ada “pemutihan” berikutnya.
Menurutnya, yang lebih penting adalah memperkuat kepatuhan, menutup celah penggelapan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi agar penerimaan pajak meningkat secara alamiah.
“Posisi saya jelas, optimalkan aturan yang ada, minimalkan penggelapan, dan majukan ekonomi. Dengan tax ratio yang stabil, penerimaan akan tumbuh sendiri tanpa harus mengandalkan amnesty,” tegasnya.
Purbaya bahkan menyebut bahwa jika amnesti digelar setiap beberapa tahun sekali, pesan yang ditangkap publik hanyalah “kibulin pajak dulu, nanti tunggu amnesti.”
Pandangan ini sejalan dengan kekhawatiran banyak pihak yang menilai kebijakan pengampunan berulang akan merusak fondasi keadilan fiskal.
Tax Amnesty: Solusi atau Ilusi?
Dari pengalaman tax amnesty 2016 hingga PPS 2022, terlihat bahwa kebijakan ini mampu memberikan tambahan penerimaan instan, tetapi belum sepenuhnya mengubah perilaku wajib pajak.
Wacana Tax Amnesty Jilid III kini kembali menguji keseimbangan antara kebutuhan fiskal jangka pendek dan prinsip keadilan pajak jangka panjang.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan fiskal bukan hanya diukur dari angka penerimaan, tetapi juga dari sejauh mana kebijakan itu menegakkan keadilan, kepatuhan, dan kepercayaan publik.
Jika Tax Amnesty kembali dijalankan tanpa reformasi struktural yang kuat, ia berisiko menjadi sekadar ilusi kebijakan.
Program ini akan dinilai masuk akal di atas kertas, tetapi melemahkan kredibilitas negara dalam penegakan hukum pajak.