PARBOABOA, Jakarta - Revisi dan pembuatan undang-undang (UU) baru yang menguntungkan segelintir orang, menunjukkan hubungan erat antara hukum dan kekuasaan oligarki.
Hal itu dibahas dalam diskusi ‘Cengkraman Oligarki dalam Pemilu 2024’ pada Jumat (2/1/2024) sore.
Bivitri Susanti, Dosen STHI Jentera, menyebut adanya UU Cipta Kerja, Revisi UU KPK, UU Minerba merupakan beberapa contoh produk yang dibuat untuk melancarkan kepentingan oligarki.
Oligarki, menurut Bivitri merupakan dominasi kekuatan modal untuk mempertahankan dan memperluas kekayaan.
Di Indonesia, oligarki ini menurut Bivitri beroperasi melalui tiga saluran utama yakni legislasi, pemberian izin dan pengadilan.
“Legislasi di UU, lalu kedua pemberian izin pertambangan dan yang ketiga di pengadilan,” jelasnya.
Salah satu contoh paling mencolok tentang bagaimana oligarki mempengaruhi legislasi adalah UU Cipta Kerja.
“Ini merupakan salah satu UU yang unik dang sangat instan untuk kepentingan oligarki,” ungkapnya.
UU Ciptaker yang gemuk terdiri dari banyak kumpulan UU itu, membuat banyak pihak kesusahan untuk mengkritiknya.
Pasalnya, UU Ciptaker mengatur banyak hal mulai dari pertambangan hingga perkebunan dijadikan dalam satu UU.
“Kita juga punya kesulitan ketika mengkritiknya pasal per pasal, karena ini sebenarnya adalah 78 UU yang dijadikan satu,” ujar Bivit.
Lebih lanjut, oligarki ini menurut Bivitri kerap membuat warga dihadapkan dengan aparat penegak hukum.
Seperti beberapa kasus yang terjadi di wilayah Wadas dan Rempang.
Kekuasaan yang Tidak Transparan dan Tidak Partisipatif
Bivitri juga menyebut, pengaruh oligarki lainnya terjadi dalam cara-cara pengambilan keputusan di DPR.
Saat ini, keputusan diambil berdasarkan fraksi, bukan suara individu.
Padahal, regulasi itu dapat mengurangi transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislatif.
“Yang memutuskan boleh gak UU itu ada itu fraksinya, bukan personnya. Begitu parahnya sistem kita sebenernya,” ujar Bivitri.
Hal ini diperparah lagi dengan sistem pemilu dan pembentukan partai politik yang membatasi kompetisi dan mempertahankan status quo kekuasaan.
Bivitri juga menyebut, oligarki juga berpengaruh terhadap demokrasi dan akuntabilitas.
“Jadi kan demokrasi itu kan soal akuntabilitas kan, tapi akuntabilitas dimatikan semua,” ungkapnya.
Ketika proses legislatif tidak lagi deliberatif dan transparan, ruang untuk diskusi publik dan kritik menjadi sempit.
“Ini mengancam fondasi demokrasi yang seharusnya beroperasi atas dasar kepentingan publik,” ujarnya.