Regulasi untuk Memuliakan Rahim Kaum Perempuan Indonesia

Liputan khusus tentang perkosaan pada Mei 1998. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Memantau Pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

PARBOABOA - Kabar mengejutkan terbetik tak lama setelah perusuh memporakporandakan Jakarta pada 12-13 Mei 1998. Perkosaan massal terjadi juga di Ibukota dan korbannya perempuan Tionghoa. Itu intinya.

Kontroversi langsung merebak sebaik media massa mewartakannya. Bantahan muncul. Otoritas negara termasuk yang menyatakan secara resmi bahwa kabar buruk itu isapan jempol semata; dalam bahasa sekarang: hoax. Pada sisi lain, pers tak mampu memperlihatkan bukti barang seorang korban pun.

Peristiwa 12-13 Mei 1998 yang bersaputkan perkosaan massal rupanya berbuntut panjang. Presiden Soeharto yang sangat digdaya dan telah berkuasa 32 tahun tumbang akhirnya. Menantunya yang berkarir sangat meteorik di dunia militer, Letnan Jenderal Prabowo Soebianto, kehilangan jabatannya sebagai Panglima Kostrad. Bukan hanya itu. Ia pun harus menghilang dari Indonesia sekian lama sebelum dipanggil pulang dengan keselamatan yang dijamin oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur).

Dari sisi masyarakat sipil (civil society), imbas positif yang sangat penting dari tumbangnya rezim Orde Baru adalah lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) lewat Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 yang diteken BJ Habibie pada 9 Oktober 1998.

Kelahiran Komnas Perempuan disahuti masyarakat sipil dengan gairah membuncah. Begitupun, mereka masih menginginkan hal lain yang juga maha penting yaitu undang-undang khusus tentang kekerasan seksual. Tujuannya untuk melindungi kaum perempuan yang sejak lama menjadi korban hegemoni para lelaki di negeri kita ini.

Sejak 1999 perjuangan untuk menghadirkan UU itu sudah dimulai oleh masyarakat sipil yang bersinergi. Ternyata, jalan yang harus ditempuh sungguh terjal dan berliku. Penolakan muncul di mana-mana, termasuk di tengah khalayak luas sendiri. Alasan utama kaum penolak adalah regulasi itu merupakan agenda Barat yang dicoba-tanamkan di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbanyak sejagat.

Lewat kerja ekstra yang luar biasa, UU yang didamba kaum aktifis HAM dan demokrasi itu kemudian mewujud perlahan. Alissa Wahid dan Yuniyanti Chuzaifah yang merupakan bagian dari civil society yang bergerak menggolkannya masih mengingat betul prosesnya. 

“Perjuangan melahirkan Undang-Undang TPKS ini berdarah-darah banget. Waktu itu masyarakat sipil sangat kuat mengkonsolidasi diri. Soalnya macet dan macet terus. Sampai akhirnya tercapai dengan beberapa kompromi. Alhamdulillah, RUU sudah menjadi UU,” kata Alissa Wahid. Ia mengatakan, kebiasaan dirinya hingga hari ini memulai rapat pukul 05.30 gara-gara pengalaman di masa itu.

Para aktifis berbagi tugas sesuai dengan kompetensi, kala itu. Draf hukum ditangani para sarjana hukum. Kata per kata diperiksa betul oleh mereka yang piawai di bidang bahasa agar tak ada lagi celah untuk mencelanya.

“Kawan-kawan muda mengadvokasi ranah publik. Saya sendiri mengambil bagian dengan meyakinkan kelompok-kelompok Islam. Saya kan relatif tahu bahasa agama,” tutur Yuniyanti Chuzaifah.

Meyakinkan para ulama yang maskulin menjadi tantangan berat tersendiri.

“Kami cukup lama kesulitan menghadapi mereka. Soalnya, mereka tidak pernah menjadi korban kekerasan seksual, sih. Ulama perempuan jauh lebih mengerti. UU TPKS bisa lolos antara lain karena dukungan mereka,” lanjut lulusan IAIN Syarif Hidayatullah yang sepuluh hari penuh hadir di Gedung DPR Senayan untuk mengikuti sidang-sidang pembahasan.

UU TPKS adalah mekanisme pencegahan, penanganan, pemulihan, dan perlindungan korban. “Sangat komprehensif. Jadi, harus betul-betul dijalankan,” pegiat kemanusiaan yang pernah menjadi Ketua Komnas Perempuan (2010-2014) itu mengingatkan.

Memuliakan Rahim

Sewaktu UU TPKS akhirnya disahkan dalam rapat paripurna wakil rakyat pada 13 April 2022, Yuni pun menangis di Gedung DPR.

Yang terbayang di benak dia kala itu adalah wajah para korban dalam konflik ’65, Aceh, Timor Timur, Papua, kerusuhan Mei ’98, dan yang lain. Ia juga teringat pada seorang mama Papua.

Pegiat kemanusiaan,Yuniyanti Chuzaifah. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

“Mama Papua itu membuat kalung dari kerang untuk memulihkan diri. Karya itu dijualnya agar dia bisa makan. Waktu saya tanya pada satu kesempatan apa yang ia inginkan dalam hidupnya ia bilang: ada tanda di makamnya nanti bahwa ia salah satu korban,” kata Yuni sambil menyeka air mata dengan tisu.

Sedari dulu negeri kita ini mengedepankan patriarki. Maka, sejarah kelam kaum perempuan yang tidak diperlakukan dengan senonoh pun sarat di sini sejak zaman penjajahan hingga era merdeka.

Di zaman Hindia Belanda ada para nyai yang menderita. Sedangkan di masa penjajahan Jepang yang cuma 2,5 tahun tak terbilang banyaknya perempuan yang dijadikan budak pemuas nafsu tentara Nippon. Sebutan untuk mereka yang bernasib malang ini adalah jugun ianfu.

Di tahun-tahun awal Indonesia berdaulat ternyata perempuan kita yang menjadi korban kejahatan seksual tetap saja banyak. Mereka terjepit di tengah separatisme yang merebak di sejumlah tempat.

Gerakan yang mendambakan negara Islam marak hingga tahun 1962. Pentolan utamanya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Pulau Jawa), Daud Beureueh (Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan).

Pada 15 Februari 1958 sejumlah kolonel yang tak puas terhadap pemerintah pusat memproklamasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta). Jakarta kemudian mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk menumpasnya. Gerakan PRRI berakhir pada 17 Agustus 1961. Sedangkan Permesta padam pada Oktober di tahun yang sama.

Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamirkan pada 1950 merupakan usikan lain bagi Jakarta. Di tahun 1963-lah gerakan ini reda.

Di zaman Orde Baru pergolakan berwarna separatisme tetap ada yakni di Aceh, Irian Jaya (Papua), dan Timor Timur. Represi oleh negaralah balasannya. Perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual tentulah banyak di masa itu. Pelakunya terutama kombatan dari dua pihak yang bertikai. Di Aceh, umpamanya, muncul sejumlah kampung janda. Keadaan baru pulih di Serambi Mekkah setelah tsunami mendera pada 2004.

Jakarta akhirnya menjadi ajang perkosaan massal juga yakni pada 12-13 Mei 1998.

“Kita memiliki rekaman memori kelam kekerasan seksual sejak zaman Hindia Belanda. Perempuan kita sangat banyak yang menjadi korban. Agar sejarah tidak berulang, kami jadikan memori panjang itu rujukan saat memperjuangkan UU TPKS,” kata Yuniyanti Chuzaifah. “Bagi kami, UU PTKS adalah karya pemartabatan manusia dan penghargaan terhadap rahim kaum perempuan.”

Progresif

Secara hukum, kasus perkosaan adalah delik aduan yang harus dibuktikan secara medis. Visum dokter harus ada. Jadi, harus ada orang yang dilaporkan dan mesti tersedia bukti medisnya.

Seperti pernah dikatakan dokter kemanusiaan Lie A. Dharmawan kepada penulis, tenaga medis harus segera mengambil swap atau spesimen vagina untuk membuktikan perkosaan. Kalau terlambat, spesimen akan mati sehingga tiada bukti lagi. 

Sementara tatkala kehormatannya direnggut, dirinya diperkosa, dirampok harta termahalnya, para perempuan itu pun marah, merasa jijik, dan takut. Pada saat itu apa yang mereka lakukan? Mereka mencuci dirinya.

“Jadi, tidak ada lagi bukti medisnya. Bukti itu akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari,” kata dokter Lie A. Dharmawan.

Dampak pemerkosaan bisa laksana kanker yang menggerogoti tubuh dan jiwa seseorang. Terganggu jiwanya, korban sangat mungkin berniat bunuh diri. Pola makannya terganggu. Seksualitasnya juga terusik sehingga sangat mungkin menjadi frigid. Marah, penghormatan terhadap tubuh sendiri pun hilang.

UU TPKS membuka ruang bagi para korban ini agar mereka bisa melanjutkan kehidupannya.

“Dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini hak-hak korban itu betul-betul dilindungi,” kata Albertina Ho, ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan perkara yang melibatkan mantan ketua KPK Antasari Azhar.

Kesetaraan antara pelaku dan korban kurang dalam undang-undang yang dipakai sebelum adanya UU TPKS. “Hak-hak pelaku di dalam KUHAP sudah diatur betul. Banyak sekali hak-hak pelaku atau terdakwa yang diatur dalam KUHAP. Bagaimana dengan hak korban? Sangat kurang,” lanjut anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK tersebut.

Seperti kata Albertina Ho dan sejumlah aktifis perempuan, secara umum, UU TPKS terbilang progresif. Memang, demikian adanya. Berikut ini buktinya.

Syarat untuk penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara ada. Mereka harus memiliki integritas dan kompetensi dalam menangani perkara berperspektif HAM dan korban. Mereka juga telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara TPKS (Pasal 21 ayat 1).

Masih bertaut, Pasal 22 berbunyi:

“Penuntut umum, dan hakim Penyidik, melakukan pemeriksaan terhadap Saksi/ Korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi Korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”

Kisah pilu pada Mei 1998. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Sedangkan di Pasal 23 disebutkan bahwa “Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.”

Hal lain yang juga sangat penting termasuk soal alat bukti dan saksi.

Tentang alat bukti, Pasal 24 berbunyi:

(2) Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik. (3) Termasuk alat bukti surat yaitu: a. surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa; b. rekam medis; c. hasil pemeriksaan forensik; dan /atau d. hasil pemeriksaan rekening bank. 

Sedangkan ihwal saksi, Pasal 25 berkata:

(1) Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan I (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. 

(2) Keluarga dari terdakwa dapat memberi keterangan sebagai Saksi di bawah sumpah/janji, tanpa persetujuan terdakwa.

Tentang pendampingan korban dan saksi pun diatur juga. Pasal 26 menegaskan:

(1) Korban dapat didampingi oleh Pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (2) Pendamping Korban meliputi: a. petugas LPSK; b. petugas UPTD PPA; c. tenaga kesehatan; d. psikolog; e. pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; f. g. psikiater; h. Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal; petugas Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; dan j. Pendamping lain. 

Pidana penjara dan pidana dendanya juga serius. Yang terbesar untuk individu adalah pidana 1 tahun atau denda Rp 1 milyar yaitu untuk eksploitasi seksual dengan memanfaatkan relasi kuasa (Pasal 12). Sedangkan untuk korporasi, denda Rp 15 milyar.

Aturan tentang ganti rugi (restitusi) juga ada. Pasal 30 berbunyi:

(1) Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan. 

(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa. a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual; c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Namun, kelemahan UU TPKS juga ada dan itu cukup fatal.

Pasal 4 ayat 1 UU TPKS menyatakan bahwa tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik, b. Pelecehan seksual fisik, c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Sedangkan Pasal 4 ayat 2 berbunyi: 

Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: a. perkosaan; b. perbuatan cabul; c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak; d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f. pemaksaan pelacuran; g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penempatan perkosaan di Pasal 4 ayat 2 merupakan masalah serius, menurut Sulistyowati Irianto.

“Hanya dibilang: Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: a. perkosaan;... Berarti dia subordinate. Karena mereka mau taruh itu di KUHP. Jadi, apa urgensinya UU ini kalau core-crime-nya [kejahatan inti] ditaruh di KUHP? Lagi pula, ini akan membingungkan penegak hukum: polisi, jaksa, hakim. Berarti pakai KUHP yang lama saja dengan sejumlah persyaratan pembuktian,” kata guru besar yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pakar hukum Prof. Sulistyowati Irianto. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Pendekatan hukum untuk kasus kekerasan seksual seharusnya berbeda dengan kasus kriminal lainnya. Demikian menurut dosen yang juga mengajar di Pengajar di Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana UI dan di Program Studi Antropologi UI.

Kalau penanganan kasus perkosaan menggunakan KHUP maka hukum acaranya merujuk ke KUHP pula. Selain prosesnya bakal panjang, korban akan sulit mendapatkan keadilan. Sebab, harus bisa menunjukkan bukti seperti luka robek dan sisa sperma di vagina. Pula, harus ada dua saksi, setidaknya.

“Seharusnya UU TPKS saja yang dipakai. Soalnya, undang-undang yang satu ini dibuat berdasarkan pengalaman dan temuan kasus di mana kebanyakan korban sulit menyediakan bukti. Kalau dalam UU TPKS, kesaksian korban saja cukup.”

Di balik hukum ada politik. Sulistyowati Irianto mengingatkan. “Kalau korbannya anak jenderal, mati itu pelakunya. Kalau rakyat biasa, misalnya dalam kasus Sum Kuning [kasus pemerkosaan Sumaridjem—seorang gadis penjual telur—di Yogyakarta oleh sekelompok pemuda pada September 1970], sebaliknya.”

Lantas, mengapa pemerkosaan dimasukkan ke ayat 2 Pasal 4?

Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS