Marunda, Salah Satu Potret Pencemaran Udara Jakarta: Terancam Berbagai Penyakit dan Rentan Stunting

Tongkang diduga menurunkan batu bara di Pelabuhan--yang berjarak 1 kilometer dari Rusunawa Marunda. (Foto: Parboaboa/Muazam).

PARBOABOA - Dalam kondisi udara kian tercemar, anak-anak yang tinggal di pemukiman di Kota Jakarta menjalani aktivitasnya seperti biasa. Meski rentan terdampak udara yang sudah tercemar, beberapa di antaranya, tetap menjalaninya seolah itu sudah biasa.

Salah satu di antaranya Muhamad Rizki, 10, yang tinggal di Rusunawa, Marunda, Jakarta Utara. Sore, Jumat (30/6/2023) pekan lalu, saat ditemui Parboaboa, dia sedang asyik bermain layangan saat sore hari. Ia bertelanjang kaki, dan tak menggunakan masker.

Rizki saat menggulung benang layangannya di depan Rusunawa Marunda. (Foto: Parboaboa/Muazam)

Siswa kelas 4 sekolah dasar Negeri Marunda 05 itu sehari-hari pergi ke sekolah di antara udara yang berdebu dan rentan menyebabkan penyakit. Debu batu bara menjadi teman setia yang menemani Rizki berangkat dan pulang sekolah. “Sering kena debu batubara,” ujar Rizki kepada Parboaboa.

Sore itu, Rusun Marunda nampak ramai anak-anak bermain. Rahmad Adha Al Fatih, 9, Galuh, 7, dan temannya bermain bola plastik dengan gawang dari sandal. Lagi-lagi, mereka tak ada yang memakai masker.

Tidak hanya mereka, semua anak-anak di Rusun Marunda tak seorang pun yang memakai masker saat itu meski kualitas udara Jakarta dalam kondisi buruk. Menurut IQAir, indeks kualitas udara Jakarta ketika itu di angka 121 AQI US dengan kontaminasi PM 2,5 di angka 43,5 μg/m³—yang mana tidak sehat bagi kelompok sensitif. Berada di atas 100 AQI US—ambang batas sedang kualitas udara bagi manusia—dengan tingkat PM 2,5 rerata berada di angka 40 ke atas.

Polusi udara itu berasal dari asap kendaraan dan industri, serta sampah rumah tangga.

Kondisi di Rusunawa semakin parah dengan keberadaan bongkar muat batu bara di pelaburan Marunda—yang jaraknya hanya 1 kilometer. Dan, tumpukan pasir bangunan serta lalu-lalang container.

Terpapar Debu Batu Bara

Debu batu bara yang berhasil dikumpulkan warga Rusunawa Marunda. (Foto: Parboaboa/Muazam).

Tidak hanya di Marunda, menurut IQAir, hampir seluruh udara di wilayah Jakarta tidak sehat. Daerah terparah paparan polusi ialah Jakarta Utara dengan indeks kualitas udara berada di angka 158 AQI US dan tingkat polutan PM 2.5 sebesar 68.1 µg/m³.

Sementara di Jakarta Barat, indeks kualitas udara berada di angka 155 AQI US dengan tingkat polutan PM 2.5 sebesar 63 µg/m³. Polusi udara itu disebabkan dari emisi kendaraan bermotor dan aktivitas industri.

Warga yang tinggal di sejumlah pemukiman, seperti anak-anak di Rusun Marunda kini bawah bayang-bayang ancaman penyakit dan stunting karena polusi udara. Parahnya lagi, di rusun yang lokasinya dengan pelabuhan itu, pencemaran udara tak hanya berasal dari kendaraan dan industri, juga paparan debu batu bara.

Greenpeace menyebut, proses bongkar muat di Pelabuhan Marunda serampangan, sehingga mineral halus yang terkandung pada debu batubara menyebabkan penyakit pneumokoniosis dan mengancam nyawa warga ibu kota.

Parboaboa memantau aktivitas bongkar muat batubara dari atas jembatan jalan raya, di bawahnya persis sungai yang bermuara pada laut Jakarta. Aktivitas itu dilakukan sekitar pukul 14.00 WIB. Sebuah tongkang yang diduga mengangkut batu bara menepi di sungai itu, lalu eskavator mengeruknya dan memindahkan ke truk-truk besar.

Juru Bicara Forum Masyarakat Rusun Marunda, Cecep Supriadi membenarkan aktivitas itu merupakan bongkar muat batu bara.

“Iya (bongkar muat batu bara). Cuma saya nggak tau tuh nama PT-nya apa. Menangnya dia itu nggak numpuk di situ (batu baranya). Dia langsung bongkar, masukin ke mobil, terus langsung dibawa ke luar,” ujar Cecep kepada Parboaboa.

Terlihat juga gunungan pasir di tepi sungai tersebut.

Cecep menyebut, tumpukan pasir tak hanya berada di pelabuhan, tetapi bertebaran di pinggir jalan raya Marunda.

Rentan Picu Stunting

Rusunawa Marunda Blok D1. (Foto: Parboaboa/Muazam).

Debu batu bara itu dikhawatirkan akan terus berdampak pada anak-anak Rusun Marunda. Mereka rentan terserang batuk, gatal-gatal, ISPA, hingga ulkus kornea—yang diduga efek dari debu batu bara.

Rizki, Galuh, dan Fatih mengaku pernah mengalami batuk-batuk. Mereka juga sudah akrab dengan debu batu bara.

“Pernah batuk-batuk, demam, saya juga pernah gatal merah,” ucap Fatih.

Forum Masyarakat Rusun Marunda (F-MRM) mencatat, kebanyakan balita dan anak-anak terjangkit penyakit gatal-gatal dan batuk. Di blok D3 saja, terdapat 17 balita usia 1-5 tahun dan 18 anak-anak usia 6-15 tahun yang terjangkit.

Salah satu penyakit yang terparah ialah ulkus kornea yang dialami Raihan, 9, pada tahun 2019 lalu. Kornea mata Raihan terpaksa harus dioperasi transplantasi karena rusak parah akibat paparan debu batu bara.

Mulanya, mata Raihan kelilipan debu, ia mengucek-nguceknya, lama-lama matanya merah meradang dan bengkak. Ia juga merasakan perih dan panas pada matanya.

Sayangnya ibu korban, Saras, enggan berbagi cerita dengan Parboaboa. Ia sudah menutup rapat-rapat peristiwa getir anaknya itu.

“Maaf saya tidak bersedia,” ujar Saras saat dihubungi untuk diminta bercerita.

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2020, hampir 2 miliar anak di dunia terpapar polusi udara yang melebihi batas aman. Lebih dari 1 miliar anak terpapar tingkat polusi udara yang luar biasa tinggi, dengan persentase kematian 15 persen lebih tinggi.

Organisasi Anak Dunia, Unicef juga mencatat, anak-anak juga bisa terkena penyakit pneumonia akibat polusi udara. Hasil penelitian Unicef, efek polusi udara lebih signifikan terhadap balita dan anak-anak. Pasalnya, paru-paru mereka masih berkembang hingga usia 12 tahun dan anak membutuhkan oksigen dua kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa.

Selain itu, anak cenderung menghabiskan waktu lebih lama di luar ruangan untuk melakukan kegiatan fisik dibandingkan orang dewasa, sehingga lebih banyak pula menghirup udara yang tercemar. Polusi udara dapat memengaruhi perkembangan kognitif, seperti partikel ultrafine yang sangat kecil sehingga jika terhirup dapat masuk ke aliran darah dan menyebabkan stres oksidatif, serta peradangan saraf di otak.

Penelitian juga menunjukkan, polusi udara bisa memicu kekurangan vitamin D pada ibu hamil yang dapat mengganggu sistem imun dan metabolisme tulang–terusannya memicu stunting pada bayi.

Pemerhati Kesehatan, dokter Theresia Monica Rahardjo menjelaskan kepada Parboaboa, bahwa anak-anak sangat membutuhkan udara bersih supaya pertukaran oksigen di tubuhnya baik. Bila itu tidak terpenuhi, menurutnya, anak-anak akan mengalami alergi misalnya hidung berair, batuk-batuk, dan gatal-gatal pada tenggorokan.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung itu menyebut, dalam jangka waktu lama paparan polusi udara akan memicu penghambatan pertumbuhan anak (stunting).

“Anak-anak itu lebih sensitif kalau terkena udara yang kurang bersih. Alergi sedang ke berat itu bisa mengganggu aktivitas, dan lama-kelamaan bisa menyebabkan gangguan pola makan, pola tidur, dan bila terjadi bertahun-tahun akan berdampak pada gangguan pertumbuhan,” jelasnya.

Laporan ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus ‘Pencemaran udara Jakarta’.

Reporter: Achmad Rizki Muazam

Editor: Tonggo Simangunsong
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS