Shoegaze: Gema Melamun yang Tak Pernah Padam

Band alternative rock, Shoegaze. (Foto: Spaceecho)

PARBOABOA – Bayangkan kamu berada di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi suara gitar yang mengawang, melodi samar yang mengajak pikiran berkelana, dan suasana yang begitu melamun.

Inilah shoegaze, subgenre musik yang muncul dari ranah alternative rock di akhir tahun 1980-an dan dengan cepat menemukan penggemarnya di awal 1990-an.

Dikenal dengan suara yang “kabur” dan atmosferik, shoegaze memadukan lapisan efek gitar tebal dan vokal samar, menciptakan pengalaman mendengarkan yang transendental.

Nama "shoegaze" sendiri sebenarnya muncul dari kebiasaan lucu para gitarisnya yang sering terlihat menunduk ke pedal efek selama pertunjukan—seolah-olah sedang ‘menatap sepatu’ mereka.

Shoegaze tumbuh dari skena musik underground Inggris dan menemukan jalannya menuju pendengar yang merindukan sesuatu yang berbeda.

My Bloody Valentine menjadi salah satu band pertama yang membawa genre ini ke permukaan. Album mereka, "Isn't Anything" (1988), dan yang lebih legendaris lagi, "Loveless" (1991), sering disebut sebagai mahakarya yang menentukan suara shoegaze.

Dengan gitar yang terdengar seperti berada di dunia lain, efek distorsi yang tebal, dan vokal yang seperti tenggelam di lautan suara, album "Loveless" tidak hanya menggebrak skena musik saat itu, tetapi juga menjadi panduan bagi band-band yang ingin mengikuti jejak mereka.

Slowdive dan Ride adalah dua nama besar lainnya yang ikut memperkaya palet shoegaze. Jika My Bloody Valentine menciptakan kabut sonik yang tebal, Slowdive mengambil pendekatan yang lebih lembut dan melodius, seperti dalam album "Souvlaki" (1993), yang menawarkan suara yang lembut dan atmosferik.

Ride, di sisi lain, membawa energi yang lebih dinamis tetapi tetap setia pada ciri khas shoegaze yang melankolis dengan album seperti "Nowhere" (1990).

Ada juga Lush yang menambahkan sentuhan dream pop dengan harmoni vokal yang memikat dan gitar yang kaya akan efek, seperti dalam album "Spooky" (1992).

Sayangnya, popularitas shoegaze mulai meredup pada pertengahan 1990-an ketika genre lain seperti grunge dan britpop mulai naik daun. Tapi seperti pepatah yang mengatakan, “yang hilang tidak berarti terlupakan,” shoegaze tidak pernah benar-benar mati.

Di awal 2000-an, shoegaze mengalami kebangkitan yang disebut "nu-gaze." Band-band modern seperti M83 menggabungkan elemen shoegaze dengan sentuhan elektronik, menciptakan nuansa baru yang segar dan futuristik.

Beach House dan DIIV juga ikut mengadopsi suara khas shoegaze, memadukan suara melamun dengan modernitas yang lebih cerah.

Menariknya, pengaruh shoegaze bahkan merambat ke artis pop mainstream. Coba dengarkan album "Kiss Land" atau "Beauty Behind the Madness" dari The Weeknd, dan kamu akan menemukan beberapa elemen shoegaze yang mengintip di balik produksi pop mereka yang lebih komersial.

Ini menunjukkan bagaimana efek suara yang melamun dan melodi yang kabur dapat menemukan tempatnya bahkan dalam musik pop modern.

Generasi Baru Penggemar dan Festival Shoegaze

Di era digital, shoegaze menemukan rumah baru di internet. Generasi baru penggemar musik menemukannya kembali lewat platform streaming dan forum-forum musik online.

Mereka mulai mendalami diskografi band-band shoegaze klasik, berbagi lagu favorit, dan berdiskusi tentang rilisan baru maupun lama.

Tidak heran, festival-festival musik yang merayakan shoegaze juga mulai bermunculan di seluruh dunia, seperti Levitation di Austin, Texas, yang menampilkan band-band shoegaze dari berbagai generasi.

Festival-festival ini menjadi semacam pertemuan akbar bagi para penggemar untuk menikmati kembali suara melamun yang sempat terkubur waktu.

Meskipun mungkin tidak lagi merajai tangga lagu, shoegaze tetap bertahan sebagai salah satu genre musik yang paling berpengaruh.

Dari band-band indie hingga artis pop, banyak yang terinspirasi oleh suara khas shoegaze—dari efek gitar berlapis hingga vokal samar yang memberi kesan misterius.

Bahkan, beberapa band post-rock dan dream pop secara eksplisit menyebut shoegaze sebagai salah satu pengaruh utama dalam musik mereka.

Video YouTube berjudul "Shoegaze Explained: From My Bloody Valentine to Modern Bands" adalah salah satu bukti bagaimana genre ini tetap relevan.

Video tersebut mengulas perjalanan shoegaze dari era My Bloody Valentine hingga band-band modern yang meneruskan tradisi.

Bagi siapa saja yang ingin tahu lebih dalam tentang shoegaze, video ini adalah harta karun informasi yang tidak boleh dilewatkan.

Walaupun pernah dianggap ‘pudar’ oleh sebagian orang, shoegaze tetap menggema dengan caranya sendiri.

Dari konser kecil di basement hingga festival besar, dari album klasik hingga rilisan baru, genre ini terus hidup, menemukan cara-cara baru untuk menyentuh hati pendengar.

Shoegaze bukan hanya genre musik; ia adalah cara pandang, sebuah perasaan, dan bagi banyak orang, sebuah pengalaman melamun yang indah.

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS