Mengenal Suku Dayak: Sejarah, Tradisi, dan Ragam Kebudayaan

Pakaian Adat Suku Dayak (Foto: Instagram/@kaesang_p)

PARBOABOA– Suku Dayak merupakan salah satu suku asli Indonesia yang mendiami wilayah pulau Kalimantan. Dalam kesehariannya, masyarakat Dayak bergantung pada hutan dan sungai.

Etnis pribumi ini terdiri dari 268 sub-etnis yang dibagi menjadi 6 rumpun, seperti Punan, Ot Danum, Iban, Klemantan, Apokayan, dan Murut.

Masing-masing suku memiliki karakteristik budaya, bahasa, dan tradisi tersendiri. Suku Dayak juga dikenal dengan adat istiadat, kepercayaan tradisional, dan seni.

Untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang masyarakat Dayak, Parboaboa akan membahas tentang sejarah suku Dayak, serta mengeksplorasi keanekaragaman budaya, agama, seni, dan tata cara adatnya. Simak ulasan ini hingga selesai.

Sejarah Suku Dayak

Potret Masyarakat Suku Dayak pada tahun 1932 (Foto: Instagram/@pesonadayak) 

Dilansir dari laman Kemendikbud, suku Dayak berasal dari keturunan imigran Yunnan China Selatan. Lebih tepatnya, dari daerah sekitar Sungai Yangtse Kiang, Sungai Mekhong, dan Sungai Menan.

Sebagian dari kelompok ini, menyeberangi Semenanjung Malaysia sebagai langkah awal migrasi. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke bagian utara Pulau Kalimantan.

Menariknya, seorang tokoh etnis Kayan juga menjelaskan bahwa masyarakat Dayak sebenarnya memiliki akar Indo China dan melakukan migrasi ke wilayah Indonesia pada abad ke-11.

Etnis pribumi yang satu ini ,hidup dalam lingkungan yang sangat terkait dengan hutan dan sungai-sungai.

Dalam kesehariannya, masyarakat Dayak akan berburu, berkebun, serta berlayar di sungai-sungai yang menjadi jalur utama transportasi dan sumber kehidupan mereka.

Mereka juga menerapkan metode pertanian ladang berpindah yang berkelanjutan, di mana hutan ditebang dan lahan pertanian ditanami, kemudian dibiarkan pulih seiring berjalannya waktu untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Bahasa Suku Dayak

Suku Dayak memiliki beragam bahasa dan dialek yang berbeda-beda, tergantung pada sub-etnis mereka. Berikut ini beberapa bahasa dan dialek yang digunakan:

  • Bahasa Ngaju

Digunakan oleh suku Ngaju, salah satu sub-etnis terbesar di Kalimantan Tengah. Bahasa ini memiliki dialek-dialek regional yang berbeda.

  • Bahasa Iban

Digunakan oleh suku Iban, yang mendiami wilayah Kalimantan Barat dan memiliki pula penyebaran di wilayah Sarawak, Malaysia.

  • Bahasa Kayan

Bahasa ini digunakan oleh suku Kayan, yang mendiami wilayah pedalaman Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.

  • Bahasa Kenyah

Digunakan oleh suku Kenyah, yang juga mendiami wilayah Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.

  • Bahasa Punan

Digunakan oleh suku Punan, yang mendiami wilayah Kalimantan Timur dan beberapa daerah di Kalimantan Tengah.

  • Bahasa Bidayuh

Suku Bidayuh adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah Sarawak, Malaysia, dan juga sebagian di Kalimantan Barat, Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Bidayuh.

  • Bahasa Murut

Bahasa ini digunakan oleh suku Murut, yang mendiami wilayah pedalaman Sabah, Malaysia, dan sekitar perbatasan Kalimantan Timur.

Rumah Adat Suku Dayak

Rumah Adat Betang Suku Dayak (Foto: Instagram/@kamidayakkalbar) 

Suku Dayak memiliki berbagai sub-etnis yang tersebar di wilayah Kalimantan. Masing-masing sub-etnis memiliki ciri khas budaya dan rumah adat  tersendiri. Salah satunya ada rumah adat betang, khas Kalimantan Tengah.

Rumah adat ini merupakan pusat pemukiman utama bagi komunitas masyarakat Dayak yang terletak di daerah hulu sungai.

Rumah adat betang memiliki ciri khas berupa struktur panjang yang menjulang tinggi di atas tanah, mencapai panjang hingga 150 meter dan lebar hingga 30 meter.

Berikut ini adalah beberapa macam rumah adat Betang yang berbeda:

1. Rumah Betang Muara Mea

Rumah adat yang satu ini berlokasi di Desa Muara Mea. Rumah ini memiliki tampilan modern dengan dinding yang dicat dan dihiasi lukisan, menjadikannya lebih menarik dan indah.

Lukisan dan gambar pada dinding rumah adat ini merupakan salah satu identitas khas dari masyarakat Dayak.

2. Rumah Betang Damang Batu

Rumah betang damang Batu terletak di Desa Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah. Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat pertemuan seluruh kepala suku di Kalimantan dan digunakan dalam perjanjian damai.

Keunikan dan karakteristiknya terletak pada usia yang sudah tua, dibangun sejak tahun 1868, menjadikannya sebagai rumah adat tertua di Kalimantan Tengah.

Rumah ini menghadap ke sungai Kahayan dengan menawarkan pemandangan yang indah.

3. Rumah Betang Pasir Panjang

Rumah betang pasir panjang adalah rumah adat yang terdapat di Kotawaringin Barat, Kalimantan. Pangkalan Bun merupakan ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat yang memiliki julukan Kota Manis, yang kaya akan destinasi wisata menarik seperti Taman Nasional Tanjung Puting.

Rumah adat ini memiliki ciri atap tinggi dengan ukuran besar. Pintu masuknya terletak di sisi, bukan pada sisi yang lebih panjang seperti rumah adat umumnya.

Pondasi dan struktur kayu rumah ini dirancang untuk menopang bangunan yang berat. Hingga kini, rumah adat ini masih dihuni.

4. Rumah Betang Toyoi

Rumah adat Betang Toyoi terletak di Desa Rumbang Malahoi. Penamaan rumah adat ini diambil dari nama pembangunnya, Toyoi Panji.

Meskipun belum diketahui kapan pertama kali dibangun, rumah ini dibuat dari kayu ulin yang tahan lama dan mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Rumah ini juga memiliki ketahanan terhadap berbagai bencana seperti gempa dan banjir. Rumah adat yang satu ini tetap kokoh meskipun dihuni oleh lebih dari 10 keluarga.

Tiang dalam rumah tersebutberbentuk persegi yang unik, meskipun dibangun tanpa teknologi modern.

5. Rumah Lamin

Rumah lamin, sebuah rumah adat suku Dayak Kenyah yang memiliki bentuk panjang dan bertipe panggung. Rumah ini membentang sepanjang 200 meter dengan ruang bawah yang memiliki ketinggian sekitar 3 meter.

Rumah lamin didukung oleh tiang-tiang besar yang diukir dengan motif yang khas. Tidak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal, tetapi juga tempat perlindungan dari roh jahat.

Lantai rumah ini terdiri dari serangkaian balok kayu yang tersusun rapi, dengan pintu masuk terletak di sisi bangunan yang terhubung dengan anak tangga.

Dengan suasana yang tenang dan alami, rumah Lamin menciptakan lingkungan yang santai dan memikat bagi mereka yang memasukinya.

Selain berbagai jenis rumah adat yang beragam, rumah adat yang mereka bangun juga menampilkan ciri khas suku Dayak yang mencerminkan keberagaman sub-etnis mereka.

Untuk lebih memahami rumah adat masyarakat Dayak, berikut beberapa informasi yang bisa dijelaskan:

  • Arsitektur Unik

Rumah adat masyarakat Dayak dibangun di atas tiang-tiang tinggi, biasanya dari kayu keras seperti ulin. Struktur ini menjulang tinggi di atas tanah, yang memiliki beberapa tujuan.

Pertama, ini melindungi rumah dari banjir yang sering terjadi di daerah hujan tropis Kalimantan.

Kedua, ini melindungi dari serangan binatang buas. Ketiga, ini melambangkan koneksi antara suku Dayak dengan dunia spiritual.

  • Panjang dan Bersekat

Rumah panjang mendapat nama dari bentuknya yang panjang dan sempit. Sebuah rumah panjang bisa memiliki panjang hingga ratusan meter, tergantung pada seberapa besar komunitas yang mendiaminya.

Strukturnya dibagi menjadi sejumlah ruang yang disebut "sekat." Setiap sekat ditempati oleh keluarga atau kelompok keluarga yang terkait.

  • Tempat Tinggal Bersama

Kehidupan di rumah panjang adalah hidup bersama sebagai komunitas. Keluarga-keluarga yang tinggal di rumah panjang ini berbagi sumber daya dan tanggung jawab.

Mereka juga berinteraksi secara erat dalam kehidupan sehari-hari dan dalam upacara adat. Rumah panjang mencerminkan kerja sama dan saling ketergantungan dalam masyarakat Dayak.

  • Ornamen dan Ukiran

Rumah panjang sering kali dihiasi dengan ukiran kayu yang indah.

Ornamen dan ukiran ini memiliki makna simbolis dan seringkali mencerminkan cerita dan kepercayaan masyarakat Dayak.

Mereka juga digunakan untuk menghias pucuk atap dan bagian depan rumah sebagai bentuk perlindungan spiritual.

  • Ruang Utama (Rumah Tuai)

Di rumah panjang, ada ruang utama yang sering disebut sebagai "rumah tuai."

Ini adalah ruang yang digunakan untuk pertemuan keluarga besar, upacara adat, dan kegiatan komunal lainnya.

Di rumah tuai seringkali terdapat perapian yang digunakan untuk memasak, dan ruang tempat tidur atau tempat tidur gantung yang dikenal sebagai kasur pantau.

  • Lantai dan Atap

Lantai rumah panjang sering kali terbuat dari bambu dan berongga agar angin dapat mengalir. Atapnya biasanya terbuat dari anyaman daun nipah atau sago, yang juga membantu menjaga suhu di dalam rumah dan mengalirkan asap dari perapian.

Pakaian Adat Suku Dayak

Dahulu, masyarakat Dayak hanya mengenal dua jenis pakaian, yakni king baba untuk pria dan king bibinge untuk wanita. Kedua jenis pakaian ini dibuat dengan cara mengolah kulit kayu hingga menjadi lembut dan menyerupai bahan kain.

Kulit kayu yang telah diproses disebut kapuo atau ampuro. Keterampilan dalam mengolah kayu menjadi pakaian ini, diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang masyarakat Dayak.

1. King Baba

Pakaian adat masyarakat Dayak Kalimantan Barat untuk kaum pria, terbuat dari kulit kayu dari tumbuhan endemik Kalimantan yang mengandung serat tinggi. Untuk menciptakan king baba, kulit kayu dipukul-pukul dalam air, sehingga yang tersisa hanya serat-seratnya saja.

Setelah serat-serat ini menjadi lentur, kemudian dijemur dan dihias dengan lukisan-lukisan etnik khas Dayak. Warna-warna yang digunakan berasal dari pewarna alami yang diperoleh dari tanaman atau sumber alam lainnya.

Kemudian, serat-serat ini dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai rompi tanpa lengan dan celana panjang. Biasanya, pakaian ini dikenakan bersama senjata bernama mandau dan perisai, memberikan kesan seolah-olah akan berperang.

2. King Bibinge

Pakaian adat masyarakat Dayak untuk kaum wanita, juga dibuat dengan bahan dan metode yang serupa seperti pakaian adat kaum pria. Namun, pakaian wanita lebih tertutup dan sopan, terdiri dari penutup dada, stagen, dan rok.

Aksesoris yang digunakan oleh wanita Dayak lebih beragam, termasuk kalung, manik-manik, dan ikat kepala dengan hiasan bulu burung enggang.

Meskipun king baba dan king bibinge terbuat dari kulit kayu, keduanya tidak lagi diproduksi sejak orang-orang Dayak mulai mengenal kain.

Sama seperti pakaian adat di daerah lain, pakaian adat khas Dayak di Kalimantan Barat juga dipadukan dengan perhiasan etnik yang menambah keindahan.

Berikut adalah beberapa jenis perhiasan yang digunakan oleh perempuan dan laki-laki:

  • Simbolong: Ini adalah perhiasan untuk sanggul yang sering digunakan oleh wanita sehari-hari atau dalam acara adat.
  • Hiasan Kepala: Terdiri dari tajuk bulu tantawan dan tajuk bulu arue, yang digunakan pada upacara sukacita maupun dukacita.
  • Poosong: Perhiasan yang digunakan untuk menghias lubang telinga perempuan.
  • Kalong atau Manik Pirak: Digunakan untuk mempercantik leher seseorang, dan memiliki makna simbolik sebagai tanda kemampuan dalam masyarakat.
  • Kalong Manik Kalabe: Kalung khusus yang sering dipakai oleh perempuan muda.
  • Kalong Manik Lawang: Kalung yang bisa dipakai baik oleh perempuan maupun laki-laki.
  • Tangkalai' atau Sumpae: Penghias untuk bagian lengan, digunakan oleh baik laki-laki maupun perempuan.
  • Isi Amas atau Gigi Emas: Perhiasan gigi emas yang digunakan untuk mempercantik gigi, memiliki makna simbolik sebagai tanda kemampuan seseorang.

Tarian Suku Dayak

Tarian Suku Dayak (Foto: Instagram/@dayaklite) 

Berikut ini adalah beberapa tarian masyarakat Dayak, di antaranya:

1. Tari Kancet Papatai atau Tarian Perang

Tari Kancet Papatai mencerminkan karakter pria Dayak Kenyah yang bijaksana, kuat, dan pemberani. Tarian ini menjadi tarian perang khas masyarakat Dayak, menceritakan keberanian pahlawan masyarakat Dayak Kenyah dalam melawan musuh.

Tarian tersebut sering diiringi oleh lagu Sak Paku dan musik  darialat tradisional bernama Ampe. Penarinya menampilkan gerakan lincah, seringkali disertai teriakan semangat.

Tarian perang ini sering ditampilkan dalam acara-acara besar di Kalimantan, seperti penyambutan tamu, dan sebagainya.

2. Tari Hudoq

Hudoq adalah tarian unik masyarakat Dayak yang digunakan sebagai doa untuk hasil panen yang melimpah dan perlindungan tanaman dari serangan hama.

Para penarinya mengenakan topeng kayu dengan kostum terbuat dari dedaunan hijau sebagai wujud biantang buas.

Tarian ini berkembang di kalangan masyarakatDayak Bahau dan Modang. Tarian hudoq sering dipentaskan sebelum membuka lahan pertanian.

Masyarakat Dayak percaya bahwa gerakan dalam tarian hudoq bisa berkomunikasi dengan dunia gaib.

3. Tari Hudoq Kita

Tari hudoq kita memiliki tujuan yang serupa dengan tari Hudoq, yaitu sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang baik.

Namun, tarian khas masyarakat Dayak Kenyah ini menampilkan topeng dengan corak ukiran dan warna yang khas. Musik dan gerakan tarian juga berbeda dari tari Hudoq.

4. Tari Giring-Giring

Tari giring-giring berasal dari suku Dayak Maanyan dan mengungkapkan rasa kegembiraan. Para penari memegang tongkat di tangan kiri sambil tangan kanan memegang bambu berisi kerikil.

Mereka mengerakkan tongkat ke lantai, menghasilkan bunyi yang khas. Tarian ini menciptakan suasana kegembiraan dan kebahagiaan.

5. Tari Gantar

Tari Gantar menggambarkan siklus pertanian masyarakat Dayak yang penuh dengan kegembiraan. Selain itu, tarian ini sering ditampilkan dalam upacara penyambutan tamu penting.

Tradisi Suku Dayak

Suku Dayak memiliki beragam tradisi yang terkenal karena keunikan khasnya. Beberapa di antaranya bahkan jarang terekspos atau dikenal oleh media dan masyarakat umum.

Berikut ini adalah tradisi masyarakat Dayak, di antaranya:

1. Tradisi Kuping Panjang

Tradisi kuping panjang adalah salah satu praktik budaya yang sangat mencolok dari Kalimantan. Praktik ini juga dikenal sebagai tradisi memanjangkan telinga atau tradisi melubangi telinga.

Tujuan tradisi kuping panjang suku Dayak dilakukan sebagai tanda keanggunan dan keindahan. Telinga yang memanjang dianggap sebagai simbol kecantikan dan keperkasaan, serta status sosial yang tinggi.

Proses tradisi ini dimulai saat usia anak-anak, dan tindik pertama pada lubang telinga diberikan pada usia sekitar 5-10 tahun.

Kemudian, lubang tersebut akan diperbesar seiring bertambahnya usia. Bahan yang digunakan untuk memperbesar lubang telinga bisa berupa bulatan kayu, bahan keras seperti tulang, atau bahan logam.

Setelah lubang telinga membesar, berbagai perhiasan khusus bisa dikenakan. Ini termasuk cincin telinga berukiran, bulatan perak, atau hiasan lainnya yang menampilkan keahlian tukang perhiasan suku Dayak.

Lubang telinga yang membesar dan dihiasi dengan perhiasan menjadi simbol status sosial yang tinggi. Semakin besar telinga dan semakin banyak perhiasan, semakin tinggi status sosial seseorang di masyarakat suku Dayak.

2. Tato Tradisional

Tradisi berikutnya ada seni tato, yang menjadi simbol kuatnya hubungan mereka dengan Tuhan, perjalanan hidup, dan aspek-aspek lainnya. Hingga saat ini, tradisi tato masih berlanjut di kalangan masyarakat  Dayak.

Menurut laman Kemendikbud, masyarakat Dayak Iban diperkirakan sudah mengenal seni tato sejak 1500 SM hingga 500 SM. Sebagai sebuah tradisi, tato digunakan dalam perang sebagai cara untuk mengenali sekutu dan musuh mereka.

Proses pembuatan tato ini melibatkan baik laki-laki maupun perempuan Dayak.

Prosesnya terkenal karena penggunaan peralatan sederhana, di mana orang yang akan ditato hanya menggigit sepotong kain sebagai pereda rasa sakit, sementara tubuhnya diukir dengan menggunakan alat tradisional.

Gambar-gambar tato di tubuh mereka pun tidaklah sembarangan. Setiap gambar memiliki makna mendalam.

Misalnya, tato bunga terong pada laki-laki menunjukkan bahwa dia telah memasuki tahap dewasa. Sedangkan bagi perempuan, tato Tedak Kassa yang digambar di kaki digunakan untuk menandakan kedewasaan mereka.

3. Ngayau

Tradisi Ngayau adalah praktik di mana seseorang dari suku Dayak memburu kepala musuhnya. Tradisi ini hanya dilakukan oleh beberapa kelompok etnis Dayak, yaitu Ngaju, Iban, dan Kenyah.

Tradisi berburu kepala ini dicirikan oleh dendam yang mendalam, di mana seorang anak akan memburu keluarga pembunuh ayahnya dan membawa kepala mereka sebagai tanda pembalasan. Tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi.

Berburu kepala adalah bukti nyata kemampuan seorang pemuda Dayak untuk menghormati keluarganya dan mendapatkan gelar Bujang Berani.

Selain itu, tradisi Ngayau juga menjadi syarat bagi para pemuda Dayak untuk menikahi pasangan pilihannya. Proses berburu kepala dilakukan oleh kelompok pemuda Dayak, baik dalam kelompok kecil maupun besar.

Namun, pada tahun 1874, para pemimpin suku Dayak Khayan bersatu dalam musyawarah di Tumbang Anoi dan sepakat untuk melarang praktik tradisi Ngayau. Hal ini dilakukan untuk mencegah konflik dan perselisihan di antara berbagai suku Dayak.

4. Tiwah

Tradisi Tiwah merupakan sebuah upacara pemakaman yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dalam upacara ini, mereka membakar tulang belulang kerabat yang telah meninggal.

Menurut keyakinan dalam agama Kaharingan, upacara ini dianggap memiliki kemampuan untuk memandu arwah orang yang telah meninggal menuju ke alam akhirat yang disebut Lewu Tatau.

Selama pelaksanaan tradisi Tiwah, keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Proses pembakaran tulang belulang jenazah, biasanya dilakukan secara simbolis, sehingga tidak semua tulang jenazah ikut dibakar dalam upacara Tiwah.

5. Mantat Tu’Mate

Sama seperti Tiwah, tradisi mantat tu’mate juga bertujuan untuk mengantarkan orang yang baru saja meninggal dunia. Namun, mantat tu’mate memiliki perbedaan dengan Tiwah.

Upacara mantat tu’mate berlangsung selama tujuh hari dan diisi dengan iring-iringan musik serta tarian tradisional. Setelah rangkaian upacara tujuh hari selesai, barulah jenazah akan dimakamkan.

Demikianlah gambaran singkat tentang sejarah dan kekayaan budaya serta warisan luhur suku Dayak. Nantikan informasi terbaru terkait budaya lainnya hanya di Parboaboa.

Editor: Ratni Dewi Sawitri
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS