PARBOABOA, Jakarta - Gugatan uji materi tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) hingga kini belum juga diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal, proses uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu sudah berlangsung selama berbulan-bulan.
Dalam catatan PARBOABOA, setidaknya ada 12 perkara uji materi aturan syarat usia capres dan cawapres yang diajukan para pemohon ke MK.
Materi yang digugat adalah pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mensyaratkan calon presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Gugatan pertama dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 16 Maret 2023 dengan nomor registrasi 29/PUU-XXI/2023.
Beberapa bulan kemudian, pada 9 Mei 2023, gugatan kedua kembali dilayangkan oleh Partai Garuda dengan nomor registrasi 51/PUU-XXI/2023.
Sepekan berselang, lima kepala daerah kemudian mengajukan gugatan yang sama pada 17 Mei 2023 dengan nomor registrasi 55/PUU-XXI/2023.
Mereka di antaranya, Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra.
Jika dihitung sejak gugatan pertama dilayangkan, proses uji materi terhadap pasal 169 huruf q UU Pemilu ini sudah berlangsung hampir 7 bulan. Namun, MK hingga kini belum juga mengetuk palu putusan.
MK sebetulnya sudah menyidangkan tiga perkara hingga tuntas, yakni yang diajukan oleh PSI, Partai Garuda, dan lima kepala daerah.
Majelis Hakim MK juga pasalnya telah mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR, serta ahli dari pemohon ataupun dari pihak terkait.
Sementara, perkara serupa lainnya baru disidangkan hingga pada tahap pemeriksaan pendahuluan.
Diktum gugat para pemohon perkara ini pun beragam. Ada yang meminta MK menurunkan syarat usia minimal capres-cawapres menjadi kurang dari 40 tahun, seperti yang dilayangkan PSI dengan meminta usia minimal menjadi 35 tahun.
Ada pula yang bahkan mengajukan syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 30 tahun, 25 tahun, dan 21 tahun dengan dalih disamakan dengan usia minimal calon anggota legislatif.
Selain mengajukan penurunan batas usia minimal, ada pemohon juga yang meminta MK menetapkan batas maksimal usia capres-cawapres yakni 65 tahun atau 70 tahun.
Pemohon lainnya meminta MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, dengan catatan sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman yang juga merupakan adik ipar Jokowi itu menyebut, pemeriksaan terhadap uji materi aturan usia capres dan cawapres UU Pemilu sudah selesai dan tinggal menunggu keputusan.
Kabar teranyar, putusan tersebut dijadwalkan akan dibacakan MK pada Senin (16/10/2023) pekan depan.
Tarik Ulur Putusan MK, Karpet Merah untuk Gibran?
Tarik ulur putusan MK soal syarat usia capres-cawapres ini rupanya membuka ruang asumsi yang kental dengan nuansa politik jelang Pilpres 2024.
Apalagi, narasi di balik gugatan tersebut tidak terlepas dengan sosok putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang belakangan ini gencar didorong sebagai cawapres.
Jika merujuk pada pasal 169 huruf q UU Pemilu, wali kota Solo itu belum memenuhi syarat untuk menjadi cawapres. Saat ini, usia Gibran baru menginjak 36 tahun.
Artinya, tidak berlebihan jika publik mengaitkan gugatan tersebut dengan posisi Gibran yang saat ini ramai diusung sebagai cawapres namun terkendala usia.
Bacaan analis politik Ujang Komarudin setidaknya mengarah ke hal yang sama. Bahwa di balik tarik ulur putusan MK, akan ada semacam upaya untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres.
"Kalau kita lihat konstruksinya bisa saja seperti itu, bisa saja meloloskan Gibran," ungkap Ujang kepada PARBOABOA, Kamis(12/10/2023) malam.
Menurut Ujang, kendatipun Jokowi tidak secara terang-terangan mendorong Gibran sebagai cawapres, namun, "skema ini sudah dirancang secara terstruktur, sistematis dan masif."
Karena itu, lambannya MK mengetuk palu putusan tidak bisa hanya dilihat dalam konteks yang normatif, tetapi memberikan karpet merah kepada Gibran.
"Makanya MK-nya pun tarik ulur sehingga bisa jadi ya, kita tidak mau mendahului putusan MK, tapi arahnya bisa saja memberikan karpet merah, memberikan jalan tol kepada Gibran menjadi cawapres, salah satunya MK mengabulkan gugatan penggugat," papar Ujang.
Jika pada akhirnya MK mengabulkan gugatan terkait batas usia minimal capres dan cawapres, maka peluang Gibran untuk melenggang ke cawapres semakin terbuka.
Salah satu peluang yang berpotensi untuk dilirik, kata Ujang, adalah merapat ke gerbong Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan menjadi cawapres Prabowo.
"Kamungkinan besar kalau lolos batas usia atau narasinya pernah lolos jadi kepala daerah maka yang paling mungkin adalah menjadi cawapres Prabowo," kata Ujang.
Hubungan dengan PDIP Terganggu
Bergeser ke gerbong Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan menjadi pendamping Prabowo Subianto tentu akan membawa efek negatif, tak hanya bagi Gibran tetapi juga bagi Jokowi.
Mengingat, keduanya saat ini masih sebagai kader aktif PDIP, yang secara kepartaian berbeda poros politik dengan Prabowo Subianto.
PDIP dengan beberapa partai koalisi sebelumnya sudah resmi mendeklarasikan dukungannya untuk Ganjar Pranowo sebagai capres pada Pilpres 2024.
"Nah, kalau sudah seperti itu tentu kelihatannya akan beberbelah dengan PDIP, berbelah dengan Megawati," terang Ujang.
Dosen Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) itu mengatakan, gesekan politik dengan PDIP tak bisa dihindarkan, mengingat Gibran dan Jokowi semestinya tunduk pada keputusan partai.
"Karena bagaimanapun Jokowi dan Gibran itu kader PDIP, petugas partai PDIP yang harus tunduk, patuh pada aturan partai yang mengusung dan mendukung Ganjar Pranowo," kata Ujang.
Konsekuensi politisnya, kata Ujang, Jokowi akan dituding sebagai sosok yang tidak tahu diri karena mengkhianati partainya.
Pada satu sisi PDIP mengusung Ganjar sebagai capres, tetapi di saat yang sama Jokowi dan Gibran punya skema memilih menjadi cawapres Prabowo.
"Artinya publik akan menuduh bahwa Jokowi bisa saja dianggap pihak yang tidak tahu diri atau bisa saja disebut orang mengatakan 'pengkhianat' bisa saja. Tapi hal itu tidak keluar dari petinggi partai PDIP, tapi bisa jadi tuduhan itu muncul dari publik, karena Jokowi dianggap tidak loyal, Jokowi tidak taat pada perintah partai," tegas Ujang.
Menurut Ujang, stigma negatif publik terhadap Jokowi tentu tidak berlebihan. Sebab, perjalanan politik Jokowi dan keluarganya tidak pernah terlepas dari jasa besar PDIP.
Jika pada akhirnya Jokowi membelot dari PDIP dan mendorong Gibran sebagai cawapres Prabowo, kata Ujang, akan membuka ruang pertarungan politik dengan Megawati.
"Begitu besar jasa partai kepada Jokowi, tapi Jokowi ternyata punya skema sendiri menjadikan cawapres Gibran dengan Prabowo, bisa jadi ini ada pertarungan antara Jokowi dan Megawati," katanya.
Karena itu, Ujang menyarankan agar Jokowi lebih hati hati mengelola situasi ini sehingga citra negatif tidak melekat di memori publik.
Di sisi lain, Jokowi juga harus menghindari kondisi tersebut agar publik tidak menuding mantan Gubernur DKI Jakarta itu sedang melanggengkan dinasti politik.
Sebelumnya, nama Gibran ramai disandingkan dengan Prabowo, setelah keduanya bertemu pada Jumat 19 Mei 2023 malam lalu.
Saat itu, Prabowo dan Gibran menikmati makan malam bersama di angkringan Omah Semar, Solo.
Pertemuan keduanya berakhir dengan pemanggilan Gibran oleh PDIP. Namun, mereka membantah jika sedang membangun komunikasi politik jelang Pemilu 2024.
Usulan Gibran sebagai cawapres Prabowo rupanya datang dari arus bawah, mulai dari partai politik, relawan Jokowi, pegiat musik hingga kelompok pelestari masakan.
Nama Gibran pun muncul di berbagai survei cawapres. Namun, tren elektabilitasnya tak semoncreng sejumlah kandidat cawapres lain, seperti Erick Thohir, Airlangga Hartarto dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Hasil survei Indikator Politik Nasional (IPN), misalnya. Dalam survei tersebut, Gibran tidak memberikan efek signifikan terhadap elektabilitas Prabowo.
Bahkan, elektabilitas Prabowo Subianto mengalami penurunan jika dipasangkan dengan Gibran. Keduanya hanya memperoleh 5,1 persen suara.
Elektabilitas Prabowo justru meroket ketika disandingkan dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah, sebesar 62,4 persen. Sementara jika dipsangkan dengan Erick Thohir hanya sebesar 16,3 persen.
Penurunan elektabilitas tersebut lantaran mayoritas responden tidak mendukung jika Prabowo Subianto menggaet Gibran sebagai pasangan cawapres.