PARBOABOA - Toko Roti Selina menjadi daftar wajib singgah setiap kali kami pulang kampung ke kota kelahiran di Purbalingga, Jawa Tengah. Roti tawarnya cocok di lidah kami.
Saking rutinnya membeli, kami sampai hafal pukul berapa roti mereka siap masak. Biasanya antara pukul 14.00 atau 15.00 sore. Kalau lewat jam itu, kami pasti akan kecewa karena sudah ludes sehingga tidak kebagian.
Sudah lama kami tertarik menelisik siapa sesungguhnya pemilik toko-roti lawas di kota yang terkenal dengan industri knalpot. Seingat kami, gerai ini sudah lama ada dan kerap menjadi rujukan keluarga besar kami jika hendak membeli camilan kue basah dan roti yang enak. Niat itu baru mewujud minggu lalu saat kami ‘kebetulan’ mendapat kesempatan untuk mewawancarai novelis dan budayawan besar asal Banyumas, Ahmad Tohari.
Pengarang novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985), dan Jantera Bianglala (1986) itu kerabat yang kami sapa dengan sebutan Eyang Tohari. Ia bermukim di Jatilawang, Banyumas, sekitar 42 kilometer dari Purbalingga.
Produk Toko Roti Selina sudah kami akrabi lama sejak zaman si Mbah masih sehat. Setiap kali pulang kampung terutama saat Lebaran, ibu dari ibuku itu selalu senang jika kami bawakan oleh-oleh jajan kue basah dan roti dari toko yang masih saja sama seperti dulu dan setia di jalur lamanya.
“Kue basahnya enak dan selalu baru,” kata almarhumah Mbah Putri suatu ketika saat kami berlebaran ke Desa Brecek, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. Sejak itu kami, seperti judul lagu Kla Project, band era 1980an, ‘Tak Bisa ke Lain Hati.’
Lucunya, tidak ada yang tahu pasti apa arti Selina dan bagaimana awalnya sehingga keluarga menamai tokonya Selina. Pertanyaan yang sama pun kami ajukan pada generasi ketiga penerus usaha rumahan ini.
“Nggak tahu juga ya artinya [Selina] apa. Sejak kecil udah itu namanya. Nggak pernah tanya Mama. Mungkin Selina itu karena waktu itu harus [menggunakan] nama sini, lokal,” kata Riyanti Fatma Tanti, 68, putri pendiri Toko Selina yang masih setia meneruskan rintisan orang tuanya.
Keluarga Gan
Setiap hari buka mulai pukul 08.00 hingga 20.30 malam, Toko Roti Selina dirintis pasangan Tionghoa.
“Nenek Papah saya itu, keturunan keluarga Gan,” kata Riani Fatmatanti. Perempuan itulah yang memulai bisnis kue. Adapun suaminya, ia menggeluti perdagangan kain cita.
Keluarga Gan termasuk legendaris di Purbalingga. Soalnya, menjadi Tionghoa pertama yang bermukim di sana. Menurut sejumlah referensi, kisah itu bermula dari kaburnya seorang lelaki bernama Gan Hwan, dan putranya Gan Tjihu, setelah terjadi kerusuhan di kotanya, Qishan di daratan Cina. Mereka, umumnya petani, ikut rombongan orang-orang sekota yang mencari penghidupan yang lebih baik di luar negeri.
Rombongan akhirnya mendarat di Pelabuan Tuban, Jawa Timur pada 1800-an. Mereka kemudian berpencar. Bapak-anak tadi memilih jalan ke arah barat. Sempat singgah di kota Pekalongan untuk bersua dengan keluarga Gan lain yang telah lebih dulu tiba, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan dan tiba di Purbalingga pada 1830.
Masyarakat setempat menerimanya dengan baik bahkan mengizinkan mereka membuka lahan untuk bercocok tanam di sekitar daerah Kembaran Kulon, Purbalingga. Di sana mereka menemukan dua mata air kecil, atau penduduk lokal menyebutnya belik, yang menurut kepercayaan orang Tionghoa pertanda baik.
Gan Hwan dan putranya Gan Tjihu pun memutuskan untuk menetap di Purbalingga. Sang ayah, tidak pernah menikah lagi hingga meninggal pada 1860, 30 tahun setelah menetap di Purbalingga. Ia dimakamkan di tengah sawah diapit dua belik kecil yang dibukanya. Pada 2018, makam Gan Hwan harus dipindahkan ke Bong Cina Sawangan karena tanah yang menjadi lokasi pemakamannya dibeli sebuah yayasan dan akan dibangun gedung pendidikan.
Jadi, Gan Tjihu-lah yang kemudian menjadi penerus keluarga Gan di Purbalingga. Ia menikah dengan sesama Tionghoa asal Pekalongan. Pasangan ini dikaruniai 6 anak: 3 perempuan dan 3 laki-laki.
“Keluarga Gan itu pedagang. Dulu namanya Toko Gan, menjual macam-macam, seperti toko kelontong. Saking besarnya bahkan sampai ada rel sepurnya [kereta api] di sana [rumah] mulai dari belakang rumah ke depan. Waktu saya masih kecil ada itu rel kereta di dalam rumah, melintasi halaman. Kalo sekarang [kiri-kanan] sudah rumah semua ha..ha..ha...,” kenang Riyanti Fatma Tanti (Tanti) yang masih sempat menyaksikan kejayaan keluarga Gan.
Sayang, Toko Gan yang terletak di Jalan Jenderal Soedirman hanya bertahan hingga 1984. Gerai itu kemudian dijual ke pihak lain.
Tanti tak menyangkal kalau keturunan dari garis ibu adalah keluarga berada.
“Rumah ini [tiga tingkat, menyatu Toko Selina] termasuk warisan dia. Ini sudah tingkat cucu lho. Masih dapat. Kalau menurut adat Tionghoa, cucu perempuan diberi warisan di jalan yang lebih kecil, sementara yang laki-laki diberi rumah di staat (kawasan) yang lebih besar.”
Salah satu rumah peninggalan Keluarga Gan sejak 2018 telah menjadi bangunan cagar budaya. Rumah di Jalan Serma Jumiran no.12 itu kini hanya dihuni penjaganya yang menempati rumah bagian belakang.
Selalu Ramai
Kami masih ingat di tahun-tahun dulu saat Selina selalu ramai khususnya di pagi hari. Pembeli yang datang mulai dari yang numpak [naik] becak seperti kami, bermotor, atau naik mobil, akan berjejal antri membeli aneka kue basah dan roti. Tak jarang kami harus ‘berebut’ dengan pembeli lain demi mendapatkan kue basah dan roti, selekas toko dibuka. Keramaian di pagi hari membuat Selina tampak paling menonjol dibandingkan deretan toko lain di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Purbalingga.
“Sekarang tidak seramai dulu. Persisnya sejak mulai ada Indomaret dan Alfamaret. Itu pengaruh lho,” keluh generasi ketiga penerus Toko Selina.
Sore itu toko tampak lengang, hanya terlihat satu dua pembeli. Kami sudah janjian bertemu dengan perempuan yang pernah kuliah di jurusan arsitektur. Ia putri sulung dari 3 bersaudara: dua perempuan dan satu laki-laki. Adik perempuannya kini menetap di Jakarta sementara si bungsu tinggal di Sukabumi. Keluarga mereka dari garis Gan banyak yang menetap di Eropa.
Sang Mama secara khusus memintanya pulang untuk meneruskan usaha meski ia sendiri sebetulnya telah berkeluarga dan mapan tinggal di Solo. Bersuami arsitek kawan sejurusan sewaktu kuliah (orang Jawa asli dan muslim; mereka kemudian menjalankan agama masing-masing), Tanti mengaku sesungguhnya sudah betah di sana. Begitupun, akhirnya mereka boyongan ke Purbalingga.
Suaminya, Bambang Heru Endro Sulistyono, yang meninggal 2 tahun lalu pun dikebumikan di kota berjulukan Kota Perwira. Sebutan ini merujuk pada fakta bahwa Jenderal Soedirman, salah satu pahlawan terkenal Indonesia, lahir dan besar di sana.
“Saya tadinya di Solo ikut suami. Mamah tetep suruh saya pulang untuk lanjutin,” kata Tan Yen Fang, demikian seorang kerabat yang juga teman masa kecilnya, biasa memanggli ibu dua anak itu.
Usaha membuat kue basah seperti arem-arem, dadar gulung, onde, lemper, kue kopyor, kue Ku, lapis, dan sebaginya telah dirintis sejak zaman nenek Tanti yang kemudian dilanjutkan sang mama. Tanti tidak tahu persis kapan keluarganya memulai usaha tapi seingatnya saat masih kecil pun ia sudah sering membantu membungkusi pesanan kue untuk kantor-kantor.
“Mama pintar bikin kue. Beliau belajar sendiri membuat kue-kue basah,” kenang Tanti. Kue basah Selina menjadi langganan kantor-kantor di Purbalingga. Seluruh resep sang Mama kini diwariskan kepadanya. Urusan bisnis kue dan roti menjadi domain sang mama sementara ayah Tanti lebih banyak sibuk berjualan kain meteran di kios yang ada di Pasar Purbalingga. Sayang, usaha Ayah Tanti tidak berlanjut.
Roti Susu favorit
Setelah kue basah, sang mama kemudian berekspansi memproduksi olahan roti seperti roti tawar, roti sobek, roti cokelat, pisang, dan roti susu. Selina tidak menggunakan pengawet sehingga tiga hari saja masa expired produknya. Sebelum tiga hari rata-rata roti sudah terjual habis. Jika masih ada sisa, roti-roti yang sudah kadaluwarsa akan diberikan pada ikan-ikan.
Salah satu penggemar fanatik roti susu buatan Selina itu adalah Muhammmad Zinedine Alam Ganjar, putra semata wayang Ganjar Pranowo, politisi mantan Gubernur Jawa Tengah dua periode.
“Anaknya Pak Ganjar kan cuma satu. Kalo ke sini itu pesennya roti susu ini. Kalau ada yang mau ke Semarang, dia selalu pesen roti susu ini. Katanya menirukan omongan Alam, ‘pesen roti susu Selina ya’,” kata Tanti.
Kebetulan istri Ganjar, Siti Atikoh, asli orang Purbalingga. Hal itu juga pernah ia sampaikan langsung kepada penulis saat meliput kampanye Pilpres tahun ini di Semarang.
“Istri saya juga orang Purbalingga. Sampeyan Purbalingga ne endhi. Istri saya juga orang Jatisaba,” katanya. Hmmm....Desa Jatisaba di Purbalingga adalah desa kelahiran almarhum ayah, pensiunan RPKAD yang sekarang menjadi Kopassus.
Jatisaba juga desa kelahiran Sersan Dua KKO (Anumerta) Usman Jannatin yang ditangkap di Singapura saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Ia bersama seorang anggota KKO lainnya, Harun Thohir, dihukum gantung oleh pemerintah Singapura pada Oktober 1968 dengan dakwaan melakukan pengeboman di MacDonald House di pusat kota Singapura pada 10 Maret 1965. Namanya kini diabadikan sebagai nama Taman Kota di Purbalingga berpenduduk 57.071 orang.
“Kami membuatnya kira-kira ngepas jadi jarang ada sisa,” kata Tanti yang ramah menjamu tamu dengan menyajikan aneka panganan. Bahkan saat kami pamit pulang pun, ia dengan gesit membungkusi roti, jajanan khas Purbalingga, dan aneka camilan untuk oleh-oleh kami.
Sulit menolak pemberian itu karena ia telah bersemangat, heboh, tulus dan gembira memberinya. Sikap Tanti yang baik dan senang memberi ini sebetulnya sudah pernah disampaikan Eyang Titin yang merupakan teman kecilnya.
“Makanya saya kalo mau ke Selina enggak bilang-bilang ke Tente Yen Fang, takut enggak mau dibayar,” kelakar eyang kami yang kini bermukim di kaki Gunung Salak, Bogor.
Saat bercakap di ruang tamu keluarga lantai dua, kami disuguhi aneka roti olahan sendiri termasuk roti susu yang merupakan favorit pelanggan. Rasanya manis meski tidak terlalu dan komposisinya pas sehingga tidak terasa berat saat menyantap.
Tanti mengaku tidak membuka pesanan lewat aplikasi online Gofood, Grabfood, ShopeeFood atau lainnya.
“Repot. Biasanya kalau yang udah kenal saja, mereka akan pesan via telepon. Suruh dikirim. Roti matang pukul 14.00, diambil lalu dikirim dengan menggunakan jasa paket khusus makanan. Pukul 10.00 pagi sudah sampai Jakarta.”
Bisnis kue dan roti Selina mengalami pasang surut. Terutama saat ini di mana saingan sudah lebih banyak. “Ya lebih asyik dulu.”
Meski diakui Tanti banyak juga pelanggan setia Selina yang dulu saat masih kecil sudah mencicipi roti Selina dan kini menikah lalu menetap di kota lain. “Jadi, anak-anak yang dulu masih pada sekolah, sudah besar lalu pulang ke Purbalingga, pasti akan mampir.”
Untung Tipis
Roti Selina dijual rata-rata dengan harga Rp. 5.000, sedangkan kue-kue basah dibandrol antara Rp. 2.000 hingga Rp. 2500. “Bahkan ada yang saya jual Rp. 1.500 seperti apem dan kue nagasari,” kata Tanti.
Meski tipis saja untungnya, Tanti mengaku senang karena masih bisa memenuhi kebutuhan kantor-kantor yang umumnya memiliki anggaran konsumsi terbatas.
“Di sini murah. Mereka misalnya punya anggaran 10.000 rupiah, setelah dipotong PPN 12%, sisanya 8.000, tapi minta tiga macam kue. Padahal, untuk dus dan minum saja sudah 1.500. Ya, bagaimana kita mensiasatinya saja,” kata ibu dengan aksen Purbalingga yang kental.
Tanti yang kini hidup sendiri karena anak-anak sudah mentas dan memiliki usaha sendiri di kota lain hanya bisa berharap Toko Selina akan terus ada dan bisa dilanjutkan oleh kedua anaknya, Evelin Suci Utami Sulistyotanti, 40, dan Eurico Arie Setyo Sulistyo, 37, yang masih melajang.
“Harapan pada masa depan Selina, mudah-mudahan bisa lanjut. Barangkali nanti anak-anak bisa mengembangkan apa lagi di sini. Dulu anak perempuan saya sempat punya ide membuat cafe. Hanya belum mewujud,” imbuhnya sedikit menerawang.
Editor: Rin Hindrayati