Romo Magnis: Kita Perlu Punya Partai Kiri Sebagai Wakil Kaum Underdog

Frans Magnis Suseno. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

PARBOABOA, Jakarta – Guru Besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu masih kelihatan bugar meski usianya akan genap 89 tahun pada Juli ini. Frans Magnis Suseno atau yang akrab disapa Romo Magnis masih rutin datang ke kampus yang berada di bilangan Jembatan Serong, Jakarta Pusat.

Saat awak Parboaboa tiba pukul 08.00, imam katolik keturunan Jerman itu pas baru juga turun dari taksi online yang mengantarnya persis di depan gedung ruang kerja. Tak menyadari kehadiran kami yang berjalan persis di belakangnya, karena mungkin pendengaran kirinya tak lagi berfungsi, Frans Magnis yang lahir di Eckersdorf, Sesilia, Distrik Glatz, Jerman – sekarang menjadi bagian dari Polandia – pun sedikit terhenyak saat diberitahu kita ada jadwal wawancara on camera.

“Saya betul-betul lupa. Tapi kita tetap bisa wawancara, saya ke atas dulu ya,” katanya sambil bergegas naik lift menuju ruang kerja di lantai 3.

Di ruang kerja, seorang staf perempuan sedang menanti. Dialah yang membantu mencarikan lokasi shooting yang pas buat sesi wawancara. Perpustakaan menjadi pilihan kami.

Tepat pukul 09.00 kami memulai percakapan dengan isu kontemporer seperti pengesahan UU TNI oleh DPR yang memicu gelombang demonstrasi di banyak daerah.

Romo Magnis yang terkenal kritis dan taat etika berpendapat bahwa yang menjadi masalah bukan soal kualitas UU itu.

“Tetapi kesan bahwa yang menamakan diri Dewan Perwakilan Rakyat tidak mewakili rakyat. Itu yang gawat! Mereka cepat-cepat menggolkan suatu undang-undang,” katanya dengan nada suara tinggi. Yang paling mengecewakannya protes yang ada di masyarakat sama sekali tidak ditanggapi.

“Malah mereka melindungi diri seperti di dalam sebuah benteng. Takut terhadap rakyat. Itu tanda buruk sekali bagi demokrasi kita,” tegasnya.

Idealnya, menurut Romo perkara yang demikian penting dan krusial dibicarakan panjang lebar dengan melibatkan partisipasi rakyat.

“Sekarang, dengan hampir diem-diem, mendadak militer yang bisa memberi perintah dan mendengar perintah—yang tidak pernah melakukan musyawarah—mau kembali diberi peran dalam menjalankan negara. Saya kok sangat ragu-ragu [ini hal baik],” imbuhnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, RUU TNI sempat dirapatkan di Hotel Fairmount, Jakarta pada 14-15 Maret yang terkesan diam-diam tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Juga, menuai protes karena digelar di hotel mewah justru di saat pemerintah gencar melakukan efisiensi anggaran.

Kita perlu militer yang profesional bukan yang mencampuri politik

Ada kekhawatiran Romo yang telah 64 tahun di Indonesia ini dengan disahkannya UU TNI. Benar katanya Indonesia memerlukan militer yang bagus, disiplin, canggih, dan bersemangat untuk membela negara terhadap segala ancaman dari luar.

“Tetapi tidak untuk menggantikan diskursus demokratis dengan ancaman senapan. Itulah yang saya khawatirkan.”

Keberhasilan gerakan reformasi 1998 yang menghadirkan cara pandang baru terhadap posisi militer dalam politik, kini hendak distel ulang kembali. Militer yang telah dijauhkan dari pentas politik ada kecenderungan bakal dikembalikan.

“Dalam 27 tahun sejak reformasi, kami merasa beruntung bahwa akhirnya militer yang kehebatannya adalah bisa menembak mati orang, tak lagi mencampuri politik kita. Ini sudah berjalan baik karena dalam negara yang normal, militer tidak campur [dalam urusan politik],” kata Romo yang melepas kewarganegaraan Jerman dan memilih menjadi WNI pada 1977.

Militer itu, menurut dia, bidang tersendiri yang tidak seharusnya masuk dalam ranah perpolitikan. Mereka seharusnya tidak masuk dalam masalah pengurusan negara termasuk politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Di Indonesia pernah dikenal istilah ‘dwi fungsi’ yang melegitimasi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) memiliki dua tugas sekaligus. Pertama, menjaga pertahanan, keamanan, serta ketertiban negara. Kedua, memegang kekuasaan dan mengatur negara sekaligus. Di era reformasi tuntutan pencabutan dwi fungsi ini menggema dan serdadu pun didesak mundur serta dijauhkan dari pentas politik.

Partai Tak Bermutu

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU, menurut Romo yang lahir pada 26 Mei 1936, tak lepas dari kualitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurutnya mereka bukan mewakili rakyat. Ini merupakan konsekuensi logis dari bagaimana partai-partai politik besar terbentuk dan mahalnya biaya untuk menjadi anggota dewan.

“Ini tentu ada kaitan dengan mahalnya partai. Partai kita tidak bermutu. Kita tidak punya partai dengan orientasi ideologis, seperti sosialis, liberal, atau konservatif. Di sini itu semua [partai] fokus pada seorang tokoh.”

Sebagai besar parpol kita berbasis ketokohan. Sebut saja PDI-P [Megawati], Partai Demokrat [SBY], Partai Gerindra [Prabowo Subianto], Partai Nasdem [Surya Paloh], di antaranya.

“Mungkin kecuali PKS, saya tidak tahu. Dan mereka yang mengikuti partai itu memberi kesannya, ‘Kami ikut tokoh itu karena menjanjikan’. Apalagi kalau harus bayar 10 miliar rupiah,” jelas dia.

foto romo magnis

Romo Magnis masih tampak bugar dan bernas (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Pernyataan Romo Magnis merujuk pada istilah mahar politik yang harus diberikan seseorang kepada partai politik atau koalisi partai jika ia hendak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Ia juga dikenal sebagai ‘uang perahu’ yang nilainya tidak sedikit, berkisar antara 5-15 miliar rupiah per orang.

“Ya, siapa bisa bayar 10 miliar? Lima miliar saja tidak. Gaji saya yang terakhir itu, waktu belum purna [pensiun] 5,5 juta [rupiah]. Jadi, berapa bulan saya tidak boleh makan kalau mau menjadi calon Dewan Perwakilan Rakyat. Itu berarti bahwa yang masuk ke dalam Dewan itu hanya orang yang super kaya atau yang disponsori oleh yang super kaya. Dengan sendirinya, [dia] kemudian akan fokus pada yang mensponsori. Yang memungkinkan pembiayaan itu.”

Ia kemudian membandingkan keadaan ini dengan praktik politik di negara asalnya, Jerman. Percakapannya dengan seorang anggota Bundestag, parlemen Jerman, yang berkunjung ke Indonesia membuatnya terperanjat karena di sana menurut keterangan anggota parlemen tersebut, ia cukup mengeluarkan sekitar 13.000 Euro atau setara 200 juta rupiah untuk dapat sampai duduk di parlemen.

“Nah di Indonesia mulai 5 miliar,” katanya, sambil menambahkan memang di Jerman, partai-partai dibayar oleh negara, dengan demikian, tidak perlu cari duit banyak.

“Di Indonesia tidak. Tapi partai seperti merupakan semacam asuransi hidup di bagian atas bangsa Indonesia.”

Sehingga wajar jika anggota dewan tidak merasa perlu mewakili kepentingan rakyat tapi dirinya sendiri.

“Seakan-akan itu menjadi yang paling pertama. Bukan berarti juga bahwa dia tidak peduli, tapi ya itu nomor dua. Dan [bersikap] kritis itu tidak mungkin [dijalankan].”

Reformasi Mundur

Romo Magnis Suseno juga prihatin terhadap perkembangan demokrasi Indonesia yang menurutnya kian menjadi oligarki dan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) pun marak.

Upaya pelenyapan praktik KKN yang diperjuangkan mahasiswa pada 1998 gagal mewujud.

“Pelaksanaan tuntutan mahasiswa untuk berantas KKN, menurut saya, itu agak tersingkir, agak didiamkan.”

Ia pun mengamati bahwa diam-diam sekelompok elit mulai membangun jaringan dan menjurus menjadi oligarki dan dinasti.

“Jadi, rupa-rupanya mereka menjalankan negara ini terutama berkepentingan supaya mereka sendiri beruntung, berkuasa. Korupsi luar biasa luasnya. Tidak hanya banyak orang yang terlibat, tetapi jumlahnya itu yang saya sulit membayangkan, karena ada korupsi yang triliunan. Saya merasa, korupsi satu miliar sudah besar.”

Romo juga menyinggung kekhawatirannya terhadap kecenderungan elit politik yang mengalami defisit kesadaran bahwa tugas utamanya adalah membuat bangsa ini dan seluruh rakyat menjadi selamat, sejahtera, merasa adil, merasa mereka berada di jalan yang menjanjikan kesejahteraan.

“Itu saya tidak lihat.”

Yang terjadi justru praktik nepotisme yang marak. Dan yang lebih menyedihkan menurut Romo Magnis mereka melakukannya tanpa punya rasa malu.

“Seharusnya kan, jangan hanya pikir anakku yang manis itu. Tapi harus dipikirkannya bangsa,” imbuhnya merujuk sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang tidak acuh atas dua pelanggaran etik dalam proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Dalam beberapa kesempatan, Romo Magnis menyatakan dua cacat etik pencalonan Gibran, Putra Sulung Jokowi, sebagai cawapres. Pertama adalah putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keluar pada 7 November 2024. Putusan itu menyatakan Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran, bersalah secara etik atas konflik kepentingan sebab mengabulkan gugatan batas usia pencalonan dalam pemilihan presiden.

Pelanggaran etik kedua adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari yang bersama enam komisioner lain terbukti melakukan pelanggaran etik karena menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres.

buku romo magnis

Masih menulis di usia senja (Foto: PARBOABOA/P.Hasudungan Sirait)

Seharusnya menurut Romo Magnis kemurnian semangat melayani bangsa terlihat dari sikap pemimpin yang sedikit melalaikan kepentingan keluarga dan menunjukkan prioritas pada kepentingan bangsa.

“Di sini kesannya sebaliknya. Orang memikirkan bangsa asal anak manisku dapat posisi dan sebagainya. Sedikit memalukan itu.”

Partai Oposisi

Keadaan yang terjadi saat ini menurut Romo antara lain karena tidak adanya partai oposisi yang diterjemahkan keliru.

Padahal makna dari oposisi adalah partai-partai yang tidak secara formal mendukung pemerintah. Mereka dalam sistem demokrasi mempunyai tugas untuk mengajukan pandangan alternatif, kritis, menuntut pertanggungjawaban untuk setiap masalah yang kita hadapi dalam berbagai dimensi, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan keuangan.

“Tentu ada pro dan kontra. Itu normal. Tidak akan ada keputusan seorang presiden yang tidak juga ada segi negatif. Yang penting itu disuarakan semuanya. Kekuatan demokrasi itu diangkat. Meski akhirnya diputuskan dengan mayoritas.”

Mayoritas berarti tidak semua setuju. Keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

kampus stf romo

Kampus STF Driyarkara di Jakarta. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

“Kehadiran oposisi menjadi satu kehebatan, yang dalam bahasa Jerman disebut streitgespräch atau pembicaraan perselisihan Jadi kita bisa berdebat panas sekali tanpa menyinggung perasaan. Habis capek-capek berdebat, malam hari minum kopi, duduk bersama. Itu kekuatan oposisi.”

Negara tidak demokratis jika tidak punya oposisi. Masalahnya di Indonesia pengertian oposisi selalu diterjemahkan sebagai yang berbeda pendapat adalah lawan atau musuh.

“Bahkan Ibu Megawati yang sangat saya hormati tidak suka pakai kata oposisi. Karena Bung Karno pun tidak suka kata oposisi. Padahal oposisi itu justru rahasianya demokrasi.”

Di dalam demokrasi, oposisi bukan musuh. Dia menjadi penyeimbang, karena toh tidak semua masyarakat setuju dengan suatu keputusan. Sekurang-kurangnya suara yang berbeda itu didengar dan diperhatikan. Siapa tahu dalam pemilihan yang akan datang justru mendapat mayoritas.

“Kita tidak punya itu [oposisi] sama sekali. Waktu pemilihan umum 2024 banyak diskusi dalam masyarakat, suara tajam-tajam. Kok dari DPR tidak ada suara apa pun yang mengomentari, misalnya keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pak Gibran bisa menjadi Wakil Presiden? Padahal di masyarakat itu banyak dibicarakan. Politisi ya nelan saja. Ditelan begitu saja. Ini berarti kita tidak punya perwakilan rakyat.”

Romo lebih lanjut juga menyoroti tatanan sistem demokrasi Indonesia yang menurutnya telah merosot menjadi oligarki dan dinasti.

“Model pemerintah atap luas itu sangat berbahaya. Kalau pemerintah didukung oleh 60% itu bagus, 40% oposisi.”

Perlu Partai Kiri

Menurut Guru Besar STF Driyarkara ini, sejak reformasi umumnya partai-partai tidak berperan. Namun yang membuatnya lebih prihatin adalah: Indonesia tidak mengenal partai sayap kiri. Ini adalah partai yang mendukung kesetaraan sosial dan egalitarianisme. Para penganut partai kiri memiliki orientasi politik yang peduli terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Mereka juga percaya ada ketidaksetaraan yang perlu dikurangi dan dihapuskan.

Masak masyarakat yang 50 persen belum sejahtera, nggak ada partai yang memperhatikan? Misalnya mereka yang hidup dari jualan di pinggir jalan di Jakarta tanya sama saya, ‘Kami sebaiknya memilih partai yang mana?"’Saya tidak bisa menjawab.”

Sepemahaman Romo Magnis, partai kiri tidak dilarang. Tokoh gerakan buruh Indonesia Muchtar Pakpahan pernah mendirikan Partai Buruh Sosial Demokrat berhaluan kiri meski tidak banyak mendapat dukungan. Barangkali tidak pernah dapat lebih dari 2-3 permil.

“Mungkin itu trauma dari tahun 1965-1966. Tapi tidak adanya partai kiri adalah sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal, karena yang perlu [mendapat] perwakilan dalam setiap negara adalah para underdog, yakni mereka yang lemah, miskin, masih kekurangan. Di Indonesia jelas masih ada banyak, tidak ada yang mewakili.”

Imej bahwa partai kiri identik dengan partai komunis yang terlarang, menurut dia, merupakan buah dari kesembronoan berbahasa.

“Orang Belanda bilang slordig. Tentu kiri tidak sama dengan komunis.”

Ia sendiri berpendapat pelarangan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) itu wajar karena partai itu mengikuti Marxisme-Leninisme, dan dalam Marxisme-Leninisme, ateisme resmi masuk di situ.

Di dalam negara Pancasila, partai yang mendukung ateisme itu tidak ada tempatnya.

“Tetapi partai kiri sama sekali tidak begitu. Misalnya, Partai Sosial Demokrat di Jerman, Partai Sosialis Perancis, atau Partai Buruh di Inggris. Mereka itu enggak ada kaitan dengan agama sama sekali. Jadi, saya merasa itu suatu kelemahan yang sangat besar.”

Ia pun menduga-duga tidak adanya partai kiri di Indonesia karena hal itu berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

“Tidak pernah kita berani mengangkat kembali pelanggaran HAM yang dulu terjadi. Mereka yang pernah menjadi korban tidak berani mengangkatnya. Mereka diam mengenai pengalaman mereka. Dan ini sebetulnya bagi demokrasi Indonesia juga tidak sehat.”

Padahal menurut Romo Magnis mengangkat kembali pelanggaran-pelanggaran itu dan mengakui itu terjadi membuat masyarakat secara psikologis sosial sehat. Korban perlu diakui sebagai korban.

“Itu amat sangat penting. Bukan hanya korban kemudian tidak dibunuh, tetapi korban diakui sebagai korban itu memberikan kesehatan etis kepada masyarakat. Itu yang kita tidak punya.”

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS