Apa Saja Instrumen Hukum yang Mengatur Tindakan Kekerasan Seksual?

Berbagai instrumen hukum yang mengatur tindakan kekerasan seksual (Foto: Policy Brief Komnas Perempuan)

PARBOABOA, Jakarta - Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan digolongkan sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). 

Dalam bahasa yang sama, Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2001) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity).

"Kekerasan seksual merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) dan berdampak luas pada masyarakat, bukan hanya pada korban sebagai individu," tulis keduanya.

Deklarasi PBB tahun 1993 menyebut kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender yang menyebabkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis bagi perempuan.

Tindakan tersebut termasuk pemaksaan atau perampasan kebebasan yang dilakukan secara sewenang-wenang, baik di ruang publik maupun dalam kehidupan pribadi.

Unsur pemaksaan berdampak merugikan anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang. Sebagian mereka bahkan mengalami frustasi berkepanjangan.  

Kekerasan seksual juga muncul karena relasi gender yang tidak terhindarkan dari relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.

Data Komnas Perempuan, Lembaga Layanan, dan Badan Peradilan Agama (BADILAG) pada tahun 2022 menyebut jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan mencapai angka 457.895 kasus.

Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 12% pada tahun 2023, yakni mencapai 401.975 kasus. Dengan kata lain, selisih antara tahun 2022 dan tahun 2023 adalah sebanyak 55.920 kasus. 

Meski demikian, terdapat peningkatan pada jumlah pengaduan yang diterima Komnas Perempuan, yaitu sebanyak 4.374 kasus pada 2023 atau bertambah 3 kasus dibandingkan tahun sebelumnya. 

Data serupa menyebutkan bahwa kasus di ranah personal umumnya menempati posisi tertinggi. Komnas perempuan mencatat sebanyak 1.944 kasus, diikuti 3.294 kasus di lembaga layanan, dan 279.503 kasus di BADILAG .

Lebih lanjut, kekerasan terhadap perempuan di ranah publik juga mengalami peningkatan signifikan, yakni dari 2.910 pada 2022 menjadi 4.182 pada 2023. 

Riset Maria Noviyanti Meti (2024) menyebut, salah satu faktor terkuat munculnya kekerasan seksual adalah budaya patriarki. 

Masyarakat cenderung memandang remeh bahkan menganggap wajar tindakan pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan, meski dalam bentuk yang paling kecil sekalipun. 

Ironisnya, tulis Novi, "korban pelecehan seksual, terutama perempuan kerap disalahkan, seperti karena pakaian yang dianggap tidak sesuai norma kesopanan."

Selain itu, faktor ekonomi rumah tangga, kestabilan dalam pernikahan, serta konflik verbal antara suami dan istri cenderung memicu munculnya kekerasan seksual.

"Kemiskinan dan ketidakmampuan mencari solusi untuk mengatasi masalah keuangan sering kali memicu ketegangan antara pasangan suami-istri," tambah Novi. 

Di pedesaan, kurangnya akses pendidikan dan kesempatan kerja, serta kuatnya tradisi patriarki, sering kali mendorong terjadinya pernikahan dini. 

Ketidakdewasaan pasangan muda dalam menghadapi masalah rumah tangga kerap memicu konflik, di mana suami lebih mudah melakukan kekerasan karena merasa memiliki kekuatan lebih besar. 

Jika tidak segera diatasi, faktor-faktor tersebut dapat memicu peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Perangkat Hukum

Pemerintah telah merumuskan sejumlah instrumen hukum untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di masa depan.

Dalam perjalanan sejarah, instrumen hukum tersebut sering mengalami perubahan. Hal ini bermaksud mencari bentuk aturan yang ideal dan mengakomodasi persoalan yang terjadi.  

Pertama, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU HAM tidak secara khusus mendefinisikan kekerasan seksual, namun menjelaskan pentingnya perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

Hak tersebut diatur dalam Pasal 58 yang menegaskan kewajiban orang tua, wali, atau pihak lain untuk melindungi anak dari kekerasan fisik, mental, dan pelecehan seksual. 

Selain itu, Pasal 65 menekankan perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan perdagangan manusia.

Kedua, UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. UU PKDRT bertujuan untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mencakup kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. 

Pasal 8 menjelaskan bahwa kekerasan seksual dalam rumah tangga mencakup pemaksaan hubungan seksual dalam lingkup keluarga atau untuk tujuan komersial. 

Korban berhak atas perlindungan hukum, pelayanan medis, bimbingan rohani, dan bantuan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46 hingga 48 mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga. Pelaku dapat dikenai hukuman penjara hingga 12 tahun dan denda hingga Rp 36 juta. 

Jika kekerasan seksual menyebabkan dampak fisik atau psikologis serius pada korban, hukuman penjara bisa mencapai 20 tahun dengan denda maksimal Rp 500 juta.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur hak-hak anak serta perlindungannya dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. 

Pasal 1 angka 12 menyebutkan bahwa hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dijamin oleh keluarga, masyarakat, dan negara. 

Anak juga dilindungi dari kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, seksual, dan penelantaran (Pasal 13 dan Pasal 15), termasuk paksaan dan tipu muslihat (Pasal 76D dan 76E).

Pelaku yang melanggar akan diancam dengan hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar (Pasal 81 dan 82), di mana hukuman lebih berat jika pelaku adalah orang tua atau pengasuh.

Keempat, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mengatur penanganan pidana yang melibatkan anak, termasuk kekerasan seksual dengan pelaku anak. 

UU SPPA menekankan prinsip keadilan restoratif, perlindungan, dan hak anak untuk diperlakukan secara manusiawi, dipisahkan dari orang dewasa, serta mendapat bantuan hukum.

Proses peradilan mengutamakan pendekatan Diversi, yang bertujuan menghindari hukuman penjara bagi anak dan fokus pada rehabilitasi. 

Dalam kasus kekerasan seksual, UU SPPA memastikan perlindungan dan pemulihan bagi korban serta menjamin keadilan tanpa mengabaikan hak pelaku anak.

Kelima, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang memberikan payung hukum untuk perlindungan korban kekerasan seksual. 

UU TPKS juga menetapkan berbagai tindak pidana kekerasan seksual seperti pelecehan fisik dan nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual (Pasal 4). 

Selain itu, UU ini hendak menjamin hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, terutama bagi penyandang disabilitas (Pasal 66-67).

Hukuman bagi pelaku bervariasi tergantung jenis kejahatannya. Misalnya, pelecehan nonfisik dikenai hukuman penjara maksimal 9 bulan dan denda hingga Rp10 juta (Pasal 5). 

Sementara, pelecehan fisik dapat dihukum hingga 4 tahun penjara dan denda hingga Rp50 juta (Pasal 6). 

Kekerasan seksual berbasis elektronik, termasuk penyebaran konten tanpa persetujuan, dihukum hingga 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta (Pasal 14).

UU TPKS juga mengatur sanksi tambahan seperti restitusi, pencabutan hak asuh, dan pengumuman identitas pelaku (Pasal 16). Pelaku juga dapat dikenakan rehabilitasi medis dan sosial (Pasal 17).

Ragam UU yang mengatur tentang pidana kekerasan seksual diharapkan mampu meminimalisir dan menekan lonjakan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS