PARBOABOA, Jakarta - Suasana politik Indonesia tidak hanya dipanaskan oleh debat kandidat menjelang Pemilu 2024. Tetapi, juga diwarnai oleh isu hoaks pemilu beredar di publik.
Wakil Menteri Kominfo, Nezar Patria, menyampaikan hal tersebut dalam sebuah diskusi bertajuk: Dewasa Berdemokrasi pada Pemilu 2024, Senin (29/1/2024) sore.
Menurut penemuan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), kurun rentang waktu 1 Juli 2023-24 Januari 2024. Kominfo mengidentifikasi 227 isu hoaks terkait Pemilu tersebar pada 2.825 konten.
“Dari jumlah tersebut, 1.546 konten telah kami tindak lanjuti. Sedangkan sisanya masih dalam proses,” ujar Nezar.
Meskipun masih ada, namun angka tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan dengan 922 hoaks politik pada 2019.
AI Jadi Pemain Baru Penyebaran Hoax
Salah satu faktor memperumit perang melawan hoaks adalah peran Artificial Intelligence (AI).
Nezar menekankan bahwa AI saat ini lebih canggih dan sulit dikenali, membuat masyarakat kesulitan membedakan antara berita asli dan palsu.
“Dulu (Pemilu 2019) ada beberapa hoaks menggunakan AI, tetapi waktu itu masih mudah dikenali. Sekarang, jauh lebih smooth karena generative AI yang mampu menghasilkan teks juga suara serta gambar sangat coherence, smooth, sehingga kita agak sulit membedakan dengan yang asli,” jelasnya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain dan menyebar luas tidak hanya dalam konteks pemilu tetapi juga dalam isu lain.
“Nah, itu hal baru dalam penyebaran hoaks tahun ini. Dan ini bukan khas Indonesia karena banyak digunakan di berbagai momen pemilu di berbagai negara untuk menyebarkan hoaks. Bukan saja cuma Pemilu, tetapi juga ada hoaks yang berkaitan dengan kesehatan, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya,” tuturnya.
Karena itu, ia mengimbau masyarakat waspada dengan penggunaan AI dalam penyebaran narasi hoaks.
“Pemanfaatan AI seperti deepfake untuk pembuatan konten hoaks menjadi salah satu hal yang perlu diantisipasi dan ditanggulangi bersama,” tegasnya.
Polarisasi Politik Menurun
Arya Fernandes dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai bahwa polarisasi politik pada Pemilu 2024 menurun dibanding pemilu sebelumnya.
Faktor-faktor seperti tidak adanya petahana di Pilpres 2024 dan pergeseran model kampanye dari media sosial ke televisi berkontribusi pada penurunan ini.
“Karena tidak ada paslon incumbent. Kemudian menantang karena kompetisinya relatif dinamis, karena ada tiga paslon,” ucapnya.
Dalam Pemilu 2014 dan 2019, serta Pilkada 2017, kampanye yang dilakukan melalui media sosial sangat mempengaruhi keputusan pemilih dalam memilih kandidat mereka.
Namun, pada Pemilu 2024, kondisinya berubah.
Arya menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih kritis dan menyadari bahwa media sosial tidak selalu menyediakan informasi yang dapat diverifikasi sepenuhnya.
"Keterbatasan verifikasi informasi di media sosial membuat banyak orang beralih ke televisi sebagai sumber informasi utama. Di televisi, proses pengecekan dan verifikasi data lebih terjamin," jelas Arya.
Meski terjadi penurunan yang signifikan, bukan berarti Pemilu 2024 bebas dari polarisasi.
Polaritas dalam pemilu adalah fenomena umum, namun yang menggembirakan adalah polarisasi berbasis keagamaan telah menurun secara drastis, membuat situasi politik saat ini lebih kondusif.
Kominfo Bekerja Sama Tiktok Redam Hoax
Dalam pemilu tahun ini, pemilih pemula juga menjadi perhatian banyak pihak.
Nezar menyebut, bahwa ada lebih dari 30% pemilih di pemilu kali ini adalah anak muda yang baru pertama kali terlibat aktif dalam pemilu.
Anak muda, khususnya dari generasi Z, lebih sering menggunakan media sosial seperti TikTok, yang memiliki cara tersendiri dalam menyebarkan informasi.
Oleh karena itu, Kominfo berkolaborasi dengan berbagai platform media sosial untuk menangkal konten berisi fitnah dan hoaks.
Menurut Nezar, platform media sosial ini telah mengembangkan mekanisme internal untuk mencegah dan menyaring penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan, berdasarkan laporan yang masuk ke kanal pengaduan mereka.
"Kami bekerja sama dengan platform seperti TikTok, Google, Meta, dan lainnya. Kami semua memiliki tujuan yang sama dan berkomitmen untuk menciptakan ruang digital yang sehat guna mendukung suksesnya Pemilu 2024," ujarnya.
Nezar juga berharap media massa dapat mempertahankan standar profesionalisme mereka dalam meliput Pemilu 2024.
"Media harus bisa memberikan liputan yang berkualitas, mendidik, dan memberikan perspektif yang membantu masyarakat dalam membuat keputusan yang tepat,” ujarnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya bagi media untuk cover both side dan mengutamakan liputan yang objektif agar masyarakat mendapat informasi yang akurat
Editor: Atikah Nurul Ummah