PARBOABOA, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menghadiri parade militer di Beijing dalam rangka memperingati 80 tahun kemenangan perang perlawanan rakyat China atas Jepang pada Perang Dunia II.
Kehadirannya merupakan undangan khusus dari Presiden Xi Jinping dan menjadi momen penting dalam memperkuat hubungan bilateral Indonesia–Tiongkok.
Prabowo bersama rombongan terbatas lepas landas dari Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma pada Selasa (2/9/2025) malam.
Menurut Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, keputusan Presiden untuk berangkat diambil setelah mempertimbangkan dinamika situasi dalam negeri yang dinilai sudah mulai kondusif.
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada masyarakat, TNI, Polri, serta pemerintah pusat dan daerah yang telah menjaga stabilitas nasional.
Setiba di Beijing, Prabowo disambut langsung oleh Presiden Xi Jinping di Tiananmen Square.
Dalam siaran langsung CNN, terlihat Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un juga hadir dalam barisan tamu negara. Prabowo tampak berada di barisan depan bersama Xi dan Putin, sementara Kim berdiri di sisi lain Xi.
Parade tersebut menampilkan barisan militer, kendaraan tempur, serta pertunjukan besar-besaran yang dihadiri 26 kepala negara atau pemerintahan.
Selain mengikuti jalannya parade, Prabowo juga mengadakan pertemuan bilateral dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin.
"Masing-masing untuk menindaklanjuti dan memastikan jalannya berbagai investasi ekonomi yang sudah terjalin di antara kedua negara," tulis keterangan di akun Instagram Sekretariat Kabinet, Rabu (3/9/2025).
Pertemuan tersebut membahas tindak lanjut investasi serta berbagai kerja sama ekonomi yang telah terjalin antara Indonesia, China, dan Rusia.
Kepala Sekretariat Kabinet, Teddy Indra Wijaya, menyebut kunjungan ini sangat singkat. Presiden hanya berada di Beijing kurang dari satu hari sebelum kembali ke Jakarta pada malam harinya.
“Dalam waktu kurang dari delapan jam, Presiden menghadiri parade, bertemu sejumlah pemimpin dunia, lalu langsung kembali ke Tanah Air,” ujar Setkab Teddy.
Kehadiran Prabowo di acara kenegaraan itu tidak hanya menunjukkan penghormatan terhadap undangan resmi Presiden Xi, tetapi juga membuka ruang dialog dengan para pemimpin dunia lainnya.
Tidak Peka
Peneliti Yusof Ishak Institute (ISEAS), Made Supriatma, menilai kunjungan Presiden Prabowo di tengah situasi politik dalam negeri yang memanas menunjukkan sikap tidak peka terhadap kondisi bangsa.
Menurutnya, publik sudah berulang kali menyuarakan agar Presiden lebih fokus menata persoalan dalam negeri ketimbang berkeliling ke luar negeri. Namun, seruan itu tampaknya diabaikan.
“Setelah merasa mendapat dukungan militer dan polisi, Prabowo justru terbang ke Beijing untuk menghadiri parade militer,” tulis Made di dinding Facebooknya, Rabu (3/9/2025).
Ia bilang, Prabowo memang sempat menjenguk anggota kepolisian yang terluka dalam aksi demonstrasi dan bahkan memerintahkan Kapolri memberikan kenaikan pangkat istimewa bagi mereka. Akan tetapi, tidak ada pernyataan mengenai korban jiwa yang jatuh akibat kekerasan aparat.
“Delapan orang meninggal, puluhan hingga ratusan terluka, dan ribuan ditahan. Tapi Presiden tidak menyinggung sama sekali hal itu,” ucapnya.
Made juga mengkritik kunjungan pejabat dan influencer ke rumah salah satu korban, Affan Kurniawan. Menurutnya, langkah itu lebih didorong rasa takut terhadap eskalasi massa ketimbang ketulusan belasungkawa.
“Sungguh melelahkan melihat wajah (yang) pura-pura sedih,” tambahnya.
Kunjungan ke China sendiri, kata Made, memunculkan persoalan baru dalam diplomasi. Kehadiran Prabowo di parade militer tersebut ditafsirkan Tokyo sebagai bagian dari sentimen anti-Jepang.
Ia menyebut pemerintah Jepang kabarnya memanggil diplomat Indonesia untuk menyampaikan protes. Rencana kunjungan Prabowo ke Jepang setelah dari China pun batal, karena Tokyo menolak menerima kedatangannya.
“Prabowo senang memproyeksikan diri sebagai pemimpin di antara pemimpin dunia. Namun, bagaimana seorang kepala negara yang tidak mampu mengelola keamanan dalam negerinya bisa dihormati di luar negeri?” tegas Made.
Ia membandingkan situasi ini dengan masa akhir Orde Baru, ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Kairo pada Mei 1998 dan kerusuhan pecah di tanah air.
Menurutnya, langkah Prabowo menempatkan militer di jalan-jalan hanya memperlihatkan kekuasaan, bukan menyelesaikan akar masalah.
Lebih jauh, Made mempertanyakan manfaat kunjungan singkat tersebut bagi politik luar negeri Indonesia.
“Biasanya, setelah pulang akan diumumkan investasi bernilai puluhan triliun. Tetapi kemudian hanya pepesan kosong. Itu pola lama yang kerap digunakan untuk sekadar pencitraan,” jelasnya.
Di sisi lain, aparat justru sibuk menangkap aktivis dan mencari kambing hitam atas gejolak yang dipicu oleh kebijakan mereka sendiri.
Kondisi demikian, papar Made, mencerminkan sikap “ketidakpekaan” seorang pemimpin yang terputus dari kenyataan masyarakat.