Merayakan Seabad Sastrawan Utama Sitor Situmorang
PARBOABOA - Selasa, 30 Desember 2014. Belasan jam sebelumnya ia tiba dari Apeldoorn. Sore nanti ia akan dibawa ke tanah kelahirannya, Harianboho yang berbibirkan Danau Toba.
Aku menatapinya dengan takzim. Lelaki energik yang tangkas berkata-kata itu telah membujur kaku. Peti mati membingkai tubuhnya. Sembilan hari sebelumnya ia berpulang di kota kecil Belanda itu dalam usia 91 tahun.
Wajahnya masih bisa kuamati lamat-lamat lewat kaca penutup. Antara percaya dan tidak, aku. Sungguhkah ia telah berpulangi?
Masih kuingat betul bagaimana sumringahnya dia, bersama Pramoedya Ananta Toer, dan juga istrinya, Barbara Brouwer, tatkala kuabadikan di acara peluncuran karya novelis utama itu.
Di saat ironi meraja di hati ini sebait syair lantas kujalin di pikiran. Sepulang ke kantor itu kutuliskan dan hasilnya menjadi begini.
Akhir Kembara Penyair Kelana (untuk Sitor Situmorang)
kembara-membuana berakhir sudah
bukan sementara; selamanya!
dari negeri jauh
sajak rindu
dekap sepi
romansa iseng
juga potret buram semesta raya
tidak lagi tumpah sebab
kelana setia terbujur kaku
kini di peti-kayu berlangit kaca.
Istirahatlah
dalam damai, duhai penyair!
kepergianmu kali ini tak lagi
menyisakan getir
sajakmu yang sedari dulu
tak henti mengalir
kenangan abadi
memawar-menganyelir.
*Galeri Nasional, Gambir, Desember 2014
Setelah beberapa menit berdiri sendiri menyatakan rasa takzim, aku pun undur. Ke bangku berderet di kanan aku menuju. Tak ada orang di sana. Siang itu ruang utama Galeri Nasional, Gambir, agak lengang.
Keluarga inti Sitor Situmorang saja yang menunggui jenazah. Sesekali tamu ada saja yang datang dan pergi. Padahal petang kemarinnya bilik besar itu penuh. Seorang menteri pun perlu menyempatkan diri melayat penyair besar yang baru tiba dari negeri kincir angin.
Aku menjepret dari pelbagai sudut dengan kamera saku. Sebuah peti kecil berbentuk miniatur rumah Batak menarik perhatianku. Letaknya persis di sebelah jasad Sitor.
Saat duduk mencermati hasil jepretan, seseorang menghampiri. “Dari mana, Pak?” sapanya ramah.
Aku menengadah. Penampakan lelaki yang umurnya, menurut taksiranku, 60-an tahun itu mirip Sitor muda. Profil wajahnya dan tubuhnya serupa Sitor di sampul belakang kumpulan puisi Dalam Sajak.
Pakaiannya kasual tapi rapi. Kemeja teluk belanga putih dipadukan dengan jins biru. Sepatunya berbahan kulit yang tak bertali.
Ia mengenalkan diri sebagai Gulon, putra tertua Sitor. Aku merasa tak asing dengan nama itu sebab tertera di sajak Orang Asing karya penyair terbesar Angkatan ’45 setelah Chairil Anwar. Puisi yang merupakan bagian dari Surat Kertas Hijau tersebut dipersembahkan untuk Retni, Ratna, Gulon, Rulan.
Kami segera akrab. Pria santun itu lebih terbuka lagi setelah tahu aku [bersama Rin dan Rhein] menulis kitab Pram Melawan. Ia tahu ayahnya bersahabat dengan dengan Pramoedya Ananta Toer. Ia lantas meminta pendapatku soal ayahnya.
Aku berujar apa adanya. Kukatakan, antara lain: Sitor sastrawan-budayawan cemerlang berwawasan luas. Ia penyair Indonesia yang paling produktif dan karyanya kuat. Ia juga cerpenis, penulis naskah drama, dan pengamat senirupa berwibawa.
Satu lagi, sebagai anggota parlemen dari Partai Nasional Indonesia (PNI, penulis yang pernah menjadi dosen Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dulu vokal dan tulisan politiknya tajam.
Gulon menyimak ujaranku dengan saksama.
“Aku sendiri nggak tau banyak soal Papi,” ucapnya lirih. “Bagi kami anak-anaknya ia sungguh orang asing. Kami masih kecil-kecil ketika ia tinggalkan begitu saja. Mami saja yang mengurusi kami. Setelah puluhan tahun berpisah baru sekarang Papi-Mami bersama lagi.”
Ketika aku mengatakan tak mengerti maksud kalimat terakhirnya, ia menunjuk ke arah jenazah. “Yang di peti kecil itu kerangka Mami. Nanti akan dimakamkan di samping Papi di Harianboho.”
Gulon mengungkapkan bahwa setelah dewasalah ia mulai tahu soal ketermukaan ayahnya. Ia menjaring informasi dengan bertanya ke sana-sini. Begitupun, tak banyak cerita yang bisa ia gali. Ia tahu ayahnya orang besar tapi tak cukup mengerti keakbarannya apa.
Saat kami larut dalam percakapan, Marusya Nainggolan muncul. Pianis-komposer terkemuka itu langsung mendatangi Sitor, koleganya sesama seniman.
Seusai menyatakan rasa hormat, ia menghampiri Barbara Brouwer dan putranya, Leonard, yang berdiri di samping kiri. Kulihat mereka berangkulan dan bercakap. Beberapa kerabat ikut merapat.
Gulon kemudian permisi ke aku karena ia dipanggil. Kulihat ia berjabat tangan dan berangkulan dengan Marusya. Aku kembali mengambil gambar. Mereka juga kuabadikan.
Merasa aman di kursi deretan kanan, aku selalu kembali ke sana. Aku tak berharap akan berbincang lagi dengan Gulon sebab ia sudah guyub dengan Marusya dan yang lain. Lagi pula ia selalu dijambangi tetamu yang datang menyampaikan belasungkawa.
Eh, mendadak ia menghampiri aku lagi. Percakapan pun berlanjut.
Marusya mendatangi kami. Gulon mengenalkan aku. Sesungguhnya perempuan lulusan Universitas Boston yang pernah memimpin Gedung Kesenian Jakarta sudah sangat lama kukenal kendati tak pernah bersua langsung.
Sebelum TV swasta ada ia, masih belia, cukup acap kulihat dilayar TVRI di acara resital piano. Perjalanan karir salah satu pianis terkemuka Indonesia asal Bogor ini cukup kuikuti.
Kami bertiga kemudian berbincang. Temanya longgar. Kesempatan itu kupakai untuk berkonsultasi ke Marusya. Kuceritakan bahwa anakku, Kei dan Che, sudah beberapa tahun belajar piano klasik di Yamaha. Kutanyakan apa yang sebaiknya perlu dilakukan agar kemampuan mereka terus meningkat.
Ia memberi saran. Anjurannya seutuhnya kusimak.
Tetamu ada saja yang menghampiri Gulon dan Marusya. Begitupun, percakapan kami tetap berlanjut.
“Gua heran kok keluarga gua banyak yang ke sini…,” Marusya nyelutuk.
Mentari kian tinggi. Pelayat makin kerap datang. Wajar karena Sitor Situmorang akan meninggalkan Galeri Nasional sore nanti. Sebuah rombongan kecil muncul. Satu dari mereka perempuan sepuh.
Marusya minta diri karena akan menemui mereka. Tak lama berselang seseorang datang memanggil Gulon. Kembali aku sendiri.
Sudah bersiap meninggalkan Galeri Nasional aku ketika Gulon menghampiri. Percakapan bersambung. Ia mengungkapkan bahwa hubungan mereka kakak-beradik dengan ibu tirinya, diplomat Belanda Barbara Brouwer, baik selama ini. Pun dengan Leonard.
Marusya datang dan langsung nyerocos. ”Gila! Gua ternyata saudara dekat Oom Sitor! Gua baru tau!” ucapnya.
Penasaran, aku bertanya bagaimana kekerabatan mereka. “Mami gua ternyata adik istri Oom Sitor. Baru tau sekarang!”
Ke Gulon ia berucap: “Kita ternyata saudara dekat!”
Sempat bengong diriku. Kok sampai puluhan tahun tak saling tahu berkerabat sangat dekat? Kalau mereka bukan orang Batak diri ini masih mafhum. Alamak!