PARBOABOA, Pematang Siantar - Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara sedikit banyak akan berimbas pada produktivitas hasil pertanian.
Tidak hanya itu, penyusutan lahan pertanian juga mempengaruhi menurunnya hasil pangan, memperbesar ketergantungan pangan dengan daerah lain, hingga hilangnya mata pencaharian petani.
Hanya saja, Pemerintah Kota Pematang Siantar, melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) mengaku tidak bisa menghindari peralihan status lahan pertanian menjadi kawasan perumahan.
Kepala Bappeda Pematang Siantar, Dedi Idris Harahap bahkan menepis anggapan adanya pembiaran atas peralihan lahan pertanian menjadi kawasan hunian tersebut.
"Ini menjadi dilema untuk menjaga ketahanan pangan, tuntutan akan tempat tinggal tidak bisa dihindari, sementara lahan pertanian tidak mungkin dimekarkan sebab wilayah kota sangat kecil," katanya saat dikonfirmasi PARBOABOA, Kamis (19/10/2023).
Bappeda, kata Dedi, bersama dinas terkait telah memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama petani untuk mempertahankan lahan produktif mereka yang berdekatan dengan saluran irigasi.
"Selama ini kita pantau di lapangan pengalihfungsian lahan yang diperbolehkan adalah yang tidak adanya aliran irigasi lagi dan lahan tersebut tidak produktif lagi," tegasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, luas lahan pertanian dan sawah di Pematang Siantar berkurang setiap tahunnya. Jika dirinci, pada 2022, lahan pertanian seluas 2.155 hektare, menurun dibandingkan 2021 seluas 2.483 hektare dan pada 2020 seluas 2.391 hektare.
Beberapa penyebabnya yaitu maraknya pembangunan properti atau real estate di Pematang Siantar. Sebagian besar dari pembangunan perumahan itu dilakukan di atas lahan pertanian.
Pemko Pematang Siantar Tak Harus Korbankan Lahan Pertanian
Menyusutnya lahan pertanian menjadi kawasan perumahan juga disayangkan pengamat ekonomi dari Sumatra Utara, Gunawan Benjamin.
Ia menilai, Pemko Pematang Siantar seharusnya tidak mengorbankan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan dan pengembangan kawasan permukiman.
"Jangan sampai kita tidak lagi mampu menciptakan lahan pertanian baru untuk mengejar alih fungsi lahan. Karena akan memicu defisit beras yang kian membengkak," kta Gunawan kepada PARBOABOA, Kamis (19/10/2023).
Menurut Akademisi dari Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) ini, lahan pertanian yang terlanjur difungsikan untuk peruntukan lain, akan sulit dikembalikan lagi fungsinya sebagai lahan pertanian.
"Hampir mustahil dikembalikan lagi untuk penggunaan pertanian seperti semula," ungkap Gunawan.
Pemerintah Kota Pematang Siantar, lanjut Gunawan, seharusnya sigap mengantisipasi kemungkinan alih fungsi sawah menjadi wilayah pemukiman, jika berpedoman pada Undang-Undang UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Apalagi pemenuhan kebutuhan bahan pangan pokok harus di atas kebutuhan pembangunan lainnya.
"Bahkan belakangan ini kita sudah sangat direpotkan dengan kenaikan harga beras dan luasan lahan sawah yang terus berkurang," jelasnya.
Jika berkaca kepada kebutuhan beras di Sumut, kata Gunawan, provinsi itu tetap memerlukan lahan pertanian baru, meskipun tidak ada alih fungsi lahan. Sehingga, pemerintah, harus membuat kebijakan yang mampu menjadikan profesi petani sebagai profesi prioritas dan memberikan keuntungan bagi petani itu sendiri.
Misalnya, tambahnya, memberi insentif bagi petani untuk menjadikan sawah maupun ladang sebagai sumber penghasilan utama yang menguntungkan.
"Terlebih jika terjadi alih fungsi lahan di Kota Siantar, petani sendiri pada dasarnya juga memiliki perhitungan mengapa dia menjual sawahnya ke pihak lain dan menjadikan kawasan hunian. Harusnya ada upaya dari Pemko Siantar agar tidak terjadi alih fungsi lahan yang berkelanjutan," imbuh Gunawan Benjamin.
Editor: Kurniati