PARBOABOA, Jakarta - Gencatan senjata Israel ke wilayah Gaza yang menewaskan banyak warga sipil mendapat kecaman dari sekutunya, Amerika Serikat (AS).
Melalui Menteri Luar Negerinya, Antony Blinken, AS mendesak agar Israel menghormati hukum kemanuasiaan internasional dan hukum perang.
Blinken bahkan secara gamblang mengajarkan Israel cara berperang tanpa mengorbankan warga sipil dan menghindari kerusakan pada infrastruktur penting bagi kehidupan, seperti rumah sakit, pembangkit listrik, dan fasilitas air.
Hal ini dilakukan agar Israel lebih hati-hati dalam rencana serangannya ke wilayah Gaza Selatan, mengingat pada serangan sebelumnya di wilayah utara banyak warga sipil yang tewas dan fasilitas kesehatan yang hancur.
Jika Israel menggunakan taktik yang sama seperti yang mereka lakukan di Gaza Utara, ribuan warga sipil dipastikan akan terbunuh.
Blinken juga menyampaikan keinginan AS terhadap Israel yang ingin menyerang wilayah selatan Gaza.
Ia mengatakan, jika Israel membunuh warga sipil Palestina sebanyak yang mereka lakukan di wilayah utara, yang bertentangan dengan keinginan Joe Biden, maka AS segera mengambil keputusan penting.
AS akan memutuskan apakah terus memberikan begitu banyak dukungan kepada Israel, termasuk meninjau kembali hak veto mereka di PPB yang selama ini melindungi Israel.
Sebelumnya, preside AS, Joe Biden dalam kunjungannya ke Israel Oktober 2023 lalu meminta Israel mencari keadilan dengan tidak membuat kemarahan sekutu-sekutunya.
Joe Biden mengingatkan agar tidak mengulagi apa yang pernah dilakukan AS saat menyerang al-Qaeda pada September 2001 silam yang telah menyebabkan tewasnya ribuan warga sipil.
Namun demikian, sikap AS ini tidak dengan sendirinya dapat meredam esklasi ketegangan gencatan senjata zionis Israel vs Hamas, palestina.
Pasalnya, pemimpin Hamas, Yahya Sinwar dan anak buahnya berencana memanfaatkan kelunakan AS untuk meningkatan agresivitas gencatan senjata ke Israel.
Inilah yang membuat warga Palestina dan Israel, termasuk mereka yang jauh dari pertempuran di Gaza, merasa terpukul oleh beban masa depan yang berbahaya dan tidak pasti.
Mesir dan beberapa negara Timur Tengah khawatir, tekanan militer yang ekstrim terhadap dua juta warga sipil di wilayah selatan ini dapat mengakibatkan ribuan orang yang putus asa dan menambah banyak pengungsi di wilayahnya.