Amnesty Internasional Dorong Penghapusan Vonis Mati di Indonesia 

Amnesty International Indonesia mendorong pemerintah menghentikan vonis dan menghapus hukuman mati. (Foto: iStockphoto/@)

PARBOABOA, Jakarta - Perdebatan sengit mengenai hukuman mati terus menggema di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu lantas memunculkan kelompok-kelompok yang memiliki persepsi berbeda-beda.

Di satu sisi, terdapat kelompok yang berpendapat hukuman mati merupakan keharusan, sejalan dengan tekad memerangi kejahatan. 

Sementara di sisi lain, ada mereka yang keras menentang hukuman mati, dengan landasan yang kuat tentang hak asasi manusia dan keyakinan dalam martabat hidup setiap individu.

Mereka berpedoman, vonis mati melanggar hak asasi manusia untuk hidup, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). 

Di samping itu, konstitusi Indonesia juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hak untuk hidup. 

Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang secara rinci menjelaskan, HAM mencakup hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, kebebasan pribadi, pikiran nurani, kebebasan beragama, dan hak untuk tidak diperbudak.

Maka dari itu, Amnesty International Indonesia dalam peringatan Anti-Hukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober mendorong pemerintah  menghentikan vonis dan menghapus hukuman mati dari sistem peradilan. 

Menurut mereka, vonis mati merupakan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. 

Bagi Amnesty International, tidak masalah dengan adanya hukuman bagi orang yang terbukti melakukan tindakan kriminal.

"Namun demikian, apa pun kejahatan atau latar asal usul kebangsaan, ganjaran yang dikenakan tidak seharusnya berupa hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid kepada Parboaboa, Selasa (10/10/2023).    

Di tengah perdebatan ini, ada sebuah kejutan dari Malaysia yang telah mencabut hukuman mati pada awal Juli.

Keputusan ini menyiratkan penggantian hukuman mati dengan hukuman lainnya, terutama dalam kasus terkait narkotika. 

Komutasi hukuman ini telah menjadi topik pembicaraan yang intens di seluruh Indonesia. Pemikiran yang muncul adalah, mengapa Indonesia tidak bisa mengikuti jejak Malaysia? 

Eksekusi Mati di Dunia 

Saat ini, lebih dari dua per tiga negara di dunia telah menghapus hukuman mati dalam regulasi atau dalam praktiknya. 

Meski demikian, menurut Amnesty Internasional, pemberlakuan hukuman mati secara global masih menunjukkan level yang mengkhawatirkan.  

Jumlah eksekusi mati terkait narkotika secara global pada 2022 sebanyak 325 kejadian. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan total 134 eksekusi pada 2021.  

Peningkatan ini terutama terkait dengan jumlah eksekusi di Iran dan Arab Saudi. 

Di Iran, eksekusi hukuman mati pada 2022 mencapi 78 persen dari total eksekusi global yakni sebanyak 255 kejadian. 

Dari jumlah eksekusi tersebut, sebanyak 44 persen di antaranya terkait kejahatan narkotika. 

Sementara itu, jumlah total eksekusi yang dilakukan meningkat tiga kali lipat dari 65 eksekusi pada 2021 menjadi 196 pada 2022. 

Dalam catatan Amnesty Interasional, ini merupakan jumlah tertinggi di Arab Saudi dalam 30 tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, sepertiga eksekusi mati terkait kasus narkotika.

Singapura juga melanjutkan eksekusi mati pada Maret 2022, setelah jeda selama dua tahun. 

Negara itu telah melakukan 11 eksekusi terkait kasus narkotika, yang merupakan 100 persen dari total eksekusi pada tahun tersebut. 

Dua negara lainnya, yaitu China dan Vietnam, diyakini telah melakukan eksekusi mati terhadap pelanggaran terkait narkotika antara 2018-2022. 

Sayangnya terbatasnya informasi mengenai angka penerapan hukuman mati di kedua negara tersebut telah menghambat penilaian yang akurat. 

Selain negara tersebut, laporan-laporan media juga menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir, eksekusi juga terjadi di Korea Utara. 

Namun lagi-lagi, kurangnya akses informasi atas negara tersebut dan sumber-sumber media independen di sana terus membuat Amnesty International tidak dapat memverifikasi informasi tersebut. 

Hukuman Mati di Indonesia

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menangguhkan eksekusi mati sejak 2017. Meski demikian, penegak hukum tetap menjatuhkan vonis yang sebagian besar ditujukan untuk kasus narkotika ini.

Hal itu sejalan dengan data Amnesty International Indonesia mencatat hingga September 2023, pengadilan masih memberi hukuman mati atas pelanggaran narkotika. 

Salah satunya Majelis Hakim  Pengadilan Negeri (PN) Meureudu, Aceh yanh pada 21 September lalu dengan menjatuhkan hukuman mati kepada dua terdakwa, Zulkarnaini bin Sudirman dan Tarmizi bin Zaini. 

Mereka dinyatakan bersalah mengedarkan sabu seberat 149 kilogram. 

Contoh lain, pada 11 September, Pengadilan Negeri Tanjungbalai, Sumatra Utara, menjatuhkan hukuman mati kepada Syamsul Sirait setelah dinyatakan bersalah atas kasus peredaran 20 kg sabu.  

Dari data yang dimiliki Amnesty Internasional, sepanjang 2022, vonis hukuman mati terkait kasus narkoba Indonesia mencapai 93,75 persen atau sebanyak 105 dari total 112 hukuman mati. 

Sisanya, lima kasus terkait pembunuhan dan dua lainnya tentang perkosaan.  

Untuk data tahun 2023, setidaknya ada 80 vonis mati yang dijatuhkan majelis hakim. 

Sebanyak 67 di antaranya terkait kasus narkotika, 10 kasus pembunuhan dan sisanya, tiga kasus perkosaan.  

"Nyatanya, hukuman mati tidak memberi efek jera dan terbukti tidak efektif dalam mencegah kejahatan narkotika," kata Usman. 

Editor: Umaya khusniah
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS