Mengurai Kendala Pemberantasan Judi Online, Aparat Enggan?

ilustrasi kecerdasan buatan (AI) soal judi online. (Foto: PARBOABOA/Rian)

PARBOABOA, Jakarta - Pemberantasan judi online (judol) di Indonesia masih menemui berbagai tantangan.

Tantangan tersebut mulai dari penegakan hukum yang tidak tegas dan masih menyasar pemain, bukan bandar besar. 

Lalu, situs-situs judi online yang terus bermunculan dengan nama berbeda, meski aksesnya telah diputus.

Dugaan keterlibatan oknum aparat pemerintah dan oknum aparat TNI-Polri, sebagaimana yang sempat disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto.

Termasuk minimnya literasi keuangan soal judi online yang membuat masyarakat mudah diiming-imingi kaya mendadak dalam waktu singkat.

Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tak serta merta menghilangkan, judi online di masyarakat.

Bahkan data Bareskrim Polri memperkirakan ada 2,3 juta orang bermain judi online. Dari jumlah itu, 80 ribu di antaranya kelompok remaja dan anak-anak. 

Dari perkiraan tersebut, Bareskrim Polri hanya berhasil membongkar tiga situs judi online dengan total 18 tersangka. Padahal, estimasi perputaran uang yang mencapai Rp1 triliun lebih.

Namun, Kepolisian mengaku tak bisa sembarangan menjerat pemain judi online.

Kabareskrim Polri, Komjen Wahyu Widada berkilah, penegakan hukum judi online juga perlu mempertimbangkan dampak psikologisnya.

Bagi Kepolisian, menghilangkan situs agar orang tidak lagi bermain judi online lebih baik, dibandingkan menangkap bandarnya.

"Ya mending kita hilangin aja website-nya, dia udah enggak main lagi. Kan lebih efektif seperti itu," kata Wahyu dalam sebuah jumpa pers, pekan lalu.

Pernyataan tadi seakan membenarkan peran aparat memberantas judi online tidak tegas, bahkan diduga terlibat sebagai beking bandar.

Apalagi selama ini, pemberantasan bahkan terkesan hanya menyasar konsumen, tidak pernah menyentuh pengelola platform judi online itu sendiri.

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan, aparat penegak hukum hanya menangkap operator-operator dan konsumen di level bawah. 

"Sedangkan transaksi yang dilakukan bandar besar, belum tersentuh," katanya dilansir dari Antara.

Bambang menegaskan perlunya penegakan hukum yang serius dengan menindaklanjuti aliran dana judol yang sudah diketahui PPATK.

Di 2023, PPATK pernah mengungkap transaksi sebesar Rp327 triliun yang diduga berasal dari perputaran judi online.

"Transaksi tersebut juga tidak ditindaklanjuti dengan serius," kata Bambang.

Bambang juga mengingatkan, judi online tidak bisa lepas dari transaksi keuangan yang tetap menggunakan platform yang masih bisa dikendalikan perizinannya oleh pemerintah.

"Tutup transaksi keuangan pelaku judi online," tegas dia.

Bambang menilai, keengganan aparat memberantas judi online juga terlihat dari pasal yang dikenakan kepada pelaku. 

Sebagian besar pelaku, hanya dikenakan pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal di KUHP atau UU ITE hanya memberikan denda maksimal Rp25 juta dan hukuman maksimal 10 tahun penjara.

Seharusnya bandar judi online dijerat dengan pasal di Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Yang bisa menjerat tersangka dengan penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp2 miliar," imbuh dia.

Uraian Bambang Rukminto itu seolah menjelaskan ada aparat yang ikut terlibat dan enggan memberantas judi online hingga ke akarnya.

Sementara Pengamat siber dari Cissrec, Pratama Persadha mengibaratkan judi online ini seperti kanker di Indonesia, yang harus segera diberantas.

Oleh karenanya ia meminta pemerintah dan aparat untuk segera membasmi judi online. 

"Memberantas judi online adalah hal yang mudah, tapi tidak ada langkah tegas dari pemerintah," kesalnya dikutip PARBOABOA dari channel Youtube Metro TV. 

Pratama menegaskan, peningkatan transaksi judi online hingga ratusan triliun rupiah menjadi peringatan keras untuk pemerintah.

Apalagi jalur untuk deposit uang untuk bermain judi online bisa menggunakan berbagai macam cara dan chanel keuangan.

Mulai dari transfer antarbank atau pengisian dompet digital maupun langsung menggunakan QRIS dengan memindai kode batang (scan barcode) tertentu.

Pratama juga memperkirakan jumlah ini akan melebihi transaksi judol di 2023 yang mencapai Rp327 triliun.

"Mungkin tahun ini bisa lebih," imbuh dia.

Tiga Langkah Operasi Satgas Berantas Judi Online

Satgas Pemberantasan Perjudian Daring mengeklaim akan melakukan tiga operasi hukum untuk menangani kasus judi online di masyarakat.

1. Pembekuan rekening

2. Penindakan jual-beli rekening 

3. Penindakan transaksi game online melalui top up di minimarket

Selain ketiga operasi hukum itu, Ketua Satgas Pemberantasan Perjudian Daring, Hadi Tjahjanto meminta Kementerian Kominfo menutup akses internet service provider (ISP) dari luar negeri.

Kemenkominfo lantas mengeluarkan Instruksi Menkominfo kepada Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Layanan Gerbang Akses Internet (NAP), dengan nomor surat B-1678/M.KOMINFO/PI.02.02/06/2024 tertanggal 21 Juni 2024.

Dalam instruksinya, Menkominfo meminta NAP memutuskan akses dalam waktu 3x24 jam sejak surat ditandatangani.

Hal ini dilakukan karena mayoritas jaringan judi online dikendalikan bandar internasional dari Kamboja, Filipina Laos dan Myanmar.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS