AS-Rusia di Ambang Perang: Trump Pamer Kapal Selam Nuklir, Medvedev Balas Sindiran ‘Dead Hand’

Kapal selam USS North Dakota (SSN 784) kelas Virginia terlihat selama uji coba laut bravo dalam gambar selebaran Angkatan Laut AS yang diambil di Samudra Atlantik 18 Agustus 2013. (Foto: Dok. REUTERS)

PARBOABOA, Jakarta – Ketegangan global mendadak meruncing. Di balik perang kata-kata antara Donald Trump dan Dmitry Medvedev, dua kapal selam nuklir kini meluncur diam-diam ke wilayah strategis, menempatkan Amerika Serikat dan Rusia pada jalur konfrontasi paling berbahaya sejak Perang Dingin.

Situasi geopolitik dunia kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara mengejutkan memerintahkan pengerahan dua kapal selam bertenaga nuklir ke titik-titik strategis di perairan internasional.

Pengumuman itu disampaikan Trump pada Jumat (1/8/2025) melalui platform media sosial pribadinya, Truth Social, hanya beberapa hari setelah pernyataan pedas dari Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia yang kini menduduki posisi Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia.

Langkah Trump ini langsung memancing spekulasi bahwa Washington dan Moskow tengah bersiap memasuki babak baru konfrontasi militer di tengah perang Ukraina yang belum mereda.

Trump menegaskan bahwa keputusan pengerahan armada bawah laut ini adalah reaksi langsung terhadap ucapan Medvedev, yang sebelumnya menuding Trump sengaja memprovokasi Rusia dengan ultimatum agresif.

Melalui Truth Social, Trump menulis dengan nada menantang bahwa pernyataan Medvedev bukan sekadar retorika biasa, melainkan sinyal yang perlu diantisipasi dengan kekuatan nyata.

“Kata-kata punya bobot yang besar, dan bisa memicu konsekuensi di luar dugaan. Saya harap kali ini tidak demikian. Terima kasih sudah memperhatikan hal ini!” ujar Trump dalam unggahannya.

Panasnya tensi ini bermula sejak Senin lalu, ketika Trump secara mengejutkan mengeluarkan ultimatum kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.

Dalam pernyataannya, Trump mendesak Kremlin segera merumuskan kesepakatan damai dengan Ukraina dalam waktu kurang dari dua minggu—memangkas drastis tenggat awal yang mencapai 50 hari.

Jika gagal, Trump mengancam akan memberlakukan sanksi sekunder yang lebih keras terhadap para mitra dagang utama Rusia.

Tekanan ini seketika memantik respons sengit dari Moskow yang menilai langkah Trump bukan hanya serangan diplomasi, tetapi juga percikan konflik berskala lebih luas.

Menanggapi ultimatum tersebut, Dmitry Medvedev tidak tinggal diam. Lewat akun X pribadinya, ia mengecam keras manuver Trump yang dianggap “bermain-main dengan api.”

Medvedev secara lugas mengingatkan Trump bahwa Rusia bukan Israel atau Iran—menegaskan Moskow tidak bisa ditekan dengan ultimatum begitu saja.

Ia juga menyindir Trump agar tidak meniru langkah Joe Biden, presiden AS yang sering dijuluki Trump ‘Sleepy Joe’.

Dengan retorika tajam, Medvedev menuduh bahwa setiap ultimatum baru justru membuka pintu menuju konfrontasi langsung, bukan sekadar konflik Rusia-Ukraina, tetapi juga potensi bentrok dengan AS sendiri.

Tak berhenti di situ, Trump membalas sindiran Medvedev dengan nada lebih keras pada Kamis.

Masih lewat Truth Social, Trump menyorot hubungan dagang Rusia dengan India sambil menebar sindiran pedas.

Ia menegaskan bahwa dirinya tak peduli dengan kerja sama ekonomi antara Moskow dan New Delhi, seraya menyebut perekonomian kedua negara sebagai “ekonomi mati” yang tidak lagi relevan bagi kepentingan Amerika Serikat.

Trump juga mengingatkan Medvedev, yang disebutnya sebagai “mantan Presiden gagal,” untuk berhati-hati dengan retorikanya.

Menurut Trump, Medvedev kini tengah bermain di medan yang sangat berbahaya, yang bisa memicu konsekuensi tak terduga di panggung global.

Ucapan Trump itu kontan dibalas Medvedev dengan nada tak kalah serem. Dalam pernyataan resminya pada Kamis malam, Medvedev menilai reaksi Trump justru menunjukkan kepanikan yang tidak seharusnya muncul dari seorang pemimpin negara adidaya.

Ia menegaskan bahwa jika ucapan seorang mantan Presiden Rusia saja bisa membuat Washington gelisah, maka Moskow punya alasan kuat untuk terus menempuh jalannya.

Medvedev juga menohok pernyataan Trump soal ekonomi “mati” dengan sindiran mengerikan—menyebut sistem peluncur nuklir otomatis ‘Dead Hand’ sebagai pengingat betapa seriusnya Moskow dalam mempertahankan strategi pertahanan nuklirnya.

‘Dead Hand’, sistem legendaris peninggalan era Perang Dingin, dirancang untuk menjamin serangan balasan nuklir otomatis jika Rusia diserang secara nuklir.

Simbol deterensi ekstrem ini kini kembali disorot sebagai pengingat bahwa di balik perang kata-kata antara dua tokoh kuat ini, ada senjata pemusnah massal yang siap menyalak jika percikan konflik melewati batas diplomasi.

Dunia pun menahan napas—menanti apakah retorika panas ini akan mereda, atau justru menjadi detonator perang nuklir modern yang selama ini coba dihindari sejak keruntuhan Uni Soviet.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS