PARBOABOA, Jakarta – Dalam keberlanjutan industri perikanan Indonesia, para Awak Kapal Perikanan (AKP) berhadapan dengan sejumlah tantangan yang kompleks.
Regulasi yang rumit, ketidakpastian terkait gaji dan jaminan kerja, serta pelanggaran hak tenaga kerja menjadi realitas yang masih dihadapi hingga saat ini.
Menurut laporan dari National Fisher Centre (NFC) selama periode 2020-2023, tercatat 123 aduan pelanggaran hak tenaga kerja di atas kapal dengan 325 orang menjadi korban.
Pelanggaran hak yang seringkali terjadi melibatkan penyalur tenaga kerja ilegal atau calo, serta masalah pemotongan gaji.
Miftachul, Human Rights Manager dari Destructive Fishing Watch, menyebutkan pelanggaran tersebut sering terkait dengan praktik calo yang merugikan AKP.
Calo merekrut calon APK dengan cara ilegal dan memberikan utang, yang kemudian dibayar melalui pemotongan gaji.
Sayangnya, transparansi terkait utang seringkali absen, menyebabkan sejumlah AKP pulang tanpa menerima gaji yang layak.
”Industri perikanan tangkap Indonesia dibangun atas kerja paksa yang harus dilakukan oleh awak kapal perikanan. Demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, pemilik kepala tidak segan untuk menekan gaji, memberikan ruang kapal yang layak serta suplai yang cukup tanpa harus membayar,” ujar Miftachul pada Minggu (10/12/2023).
Tidak hanya itu, Peraturan Menteri KKP No. 33 tahun 2021 juga turut menyumbang masalah terkait pemotongan gaji.
Hal itu karena peraturan tersebut memperbolehkan pemilik kapal untuk memilih skema pembayaran bulanan atau bagi hasil.
Namun, seringkali demi memperkecil modal, para pemilik kapal lebih memilih skema bagi hasil yang sangat bergantung pada hasil tangkapan tiap kali berlayar.
Di sisi lain, kondisi ekonomi AKP yang berasal dari latar belakang pengangguran dan pekerja serabutan membuat mereka sulit untuk keluar dari jeratan masalah tersebut.
“Mereka menganggap bekerja di laut adalah cara terakhir untuk mendapat penghasilan. Akibat kerentanan ekonomi juga AKP akan menerima jeratan hutang dari calo atau pemilik kapal,” ujar Miftachul.
Hasil Industri Perikanan Indonesia
Di sisi lain, permasalahan yang dihadapi para AKP berbanding terbalik dengan kenaikan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang diterima negara.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ekspor produk perikanan Indonesia mencapai USD4,1 miliar atau setara dengan Rp64,3 triliun per September 2023.
Indonesia juga telah mengekspor tuna-cakalang-tongkol mencapai USD282 juta, produk cumi-sotong-gurita mencapai USD195 juta.
“Di balik performa industri perikanan tangkap Indonesia, terdapat darah dan keringat awak kapal perikanan (AKP) dan pekerja pengolahan perikanan yang dipaksa untuk terus mengeruk hasil laut Indonesia,” kata Miftachul.
Selain itu, Indonesia menempati posisi kedua sebagai produsen ikan dan olahan ikan terbesar di dunia, setelah China.
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2020, hasil produksi ikan Indonesia mencapai 6,43 juta ton, mengungguli Peru dan India.
“Jadi kan Indonesia ini sebenarnya masih unggul dalam Industri perikanan, selain itu PNB perikanan kita juga semakin meningkat,” jelasnya.
Karena itu, DWF menuntut pemerintah untuk turut mengawal isu perikanan yang ada dengan merumuskan merumuskan panduan tata kelola termasuk sistim pengawasan APK dan Pekerja di Unit Pengolahan Ikan.
Langkah ini diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kerja yang adil bagi pekerja perikanan Indonesia.
Editor: Atikah Nurul Ummah