PARBOABOA, Medan - Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai, kepentingan politik di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan sangat berbahaya bagi demokrasi. Bahkan melupakan esensi dari pemilu itu sendiri.
Padahal menurut Deny, pemilu seharusnya menjadi solusi dari permasalahan yang muncul di Indonesia.
"Terutama yang saya soroti adalah korupsi yang tidak selesai. Namun pemilu bukannya menjadi solusi, malah menimbulkan sikap-sikap koruptif lainnya salah satunya seperti tindakan politik uang," ungkapnya saat diskusi publik yang diadakan Institute of Democracy and Education Indonesia, Sabtu (2/9/2023.
Pendiri Integrity Law Firm ini menduga ada kepentingan elite politik mengeluarkan kebijakan ketika mendekati pemilu.
"Contohnya pelemahan KPK yang awalnya independen menjadi di bawah pemerintahan eksekutif. Selain itu pemilihan komisioner KPK yang kian problematik, pion-pion KPK yang diberhentikan dengan dalih tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan, hingga masa jabatan ketua KPK yang diperpanjang hingga tahun 2024," jelas Denny Indrayana.
Contoh tersebut, lanjut dia, mengindikasikan pelemahan oposisi dari yang berkuasa saat ini.
"Pastinya ada indikasi kasus-kasus orang-orang oposisi dinaikkan sementara kasus-kasus koalisi didiamkan," ungkap Denny.
Ia melanjutkan, kepentingan politik ini juga menunjukkan pemilu tidak lagi berpatokan pada prinsip-prinsip anti korupsi.
"Terlebih yang sekarang sedang berkompetisi rata-rata partai yang memiliki problematik dengan korupsi itu sendiri, dimana kader-kadernya banyak yang tertangkap tangan masalah korupsi," katanya.
Selain KPK, Denny juga menyoroti Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga yang memegang kepentingan politik yang berbahaya.
"Sekarang pun presidential threshold tetap bertentangan dengan UUD karena menyebutkan presiden dapat dicalonkan oleh Partai Peserta Pemilu. Artinya semua partai bisa mencalonkan," jelasnya.
Apalagi, lanjut dia, banyak perkara yang ditolak MK dengan alasan legal standing pemohon.
"karena presidential threshold ini lah makanya banyak partai yang istilahnya kawin paksa. Akibatnya banyak juga kader-kader partai yang memiliki suara dukungan yang miring tidak sesuai arahan partai," imbuhnya.
Hal yang disoroti Denny lainnya yaitu Putusan MK terkait usia pencalonan presiden.
Ia menilai, Ketua MK Anwar Usman seharusnya tidak bisa ikut memeriksa perkara ini karena Anwar merupakan keluarga dari Presiden Jokowi.
"Walaupun putusan ini kemudian berlaku secara umum, namun kan kita sudah bisa menilai bahwa putusan ini memiliki pengaruh yang besar atas naiknya anak dari Jokowi yakni Gibran. Tidak seharusnya seorang hakim memeriksa perkara yang berdampak pada keluarganya sendiri. Ada kode etiknya untuk itu," ujarnya.
Denny lantas menyoroti kehadiran Anwar Usman pada agenda-agenda eksekutif yang sebenarnya MK tidak memiliki urgensi pada agenda tersebut.
"Contoh seperti peninjauan IKN. Tidak perlu sebenarnya ada Ketua MK di situ. Hal ini akan menurunkan marwah dari MK itu sendiri," tambahnya.