Besok, Puluhan Ribu Buruh Gelar Aksi Cabut UU Cipta Kerja

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan sejumlah elemen mahasiswa akan menggelar aksi serentak menolak Omnibus Law Cipta Kerja, Kamis (10/8/2023) besok. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta – Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan sejumlah elemen mahasiswa akan menggelar aksi serentak menolak Omnibus Law Cipta Kerja, Kamis (10/8/2023) besok.

Menurut Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, aksi buru di Jakarta akan digelar di dua titik yakni Kantor Mahkamah Konstitusi (MK) dan Istana Negara Jakarta. Aksi ini akan diikuti buruh dari Bandung, Banten dan Jawa Barat.

Selain Jakarta, aksi buruh tolak Omnibus Law juga digelar di Semarang, Surabaya, Palembang, Manado dan Makassar.

"Sekitar 10 ribu buruh, mahasiswa dan elemen masyarakat akan bergabung dengan puluhan ribu buruh lain yang punya tujuan sama, yakni cabut Omnibus Law," katanya saat konferensi pers daring di Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Dalam aksi serentak itu, buruh akan menuntut DPR dan pemerintah segera membatalkan atau mencabut Undang-Undang Cipta Kerja.

Menurut Sunarno, DPR dan pemerintah telah berbuat curang dengan mengakali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2021.

Namun, Alih-alih memperbaiki proses legislasi UU Cipta Kerja, DPR malah merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Setali tiga uang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk melegitimasi UU Cipta Kerja Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat itu.

“Perppu itu kini sudah disetujui oleh DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja,” tegas Sunarno.

Dia menegaskan pemerintah dan DPR tak menjalankan perintah MK untuk memperbaiki proses legislasi UU Cipta Kerja. Mereka justru mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang kini sudah menjadi Undang-Undang. Apalagi peraturan baru tersebut secara substansi tak ada perubahan.

“Itu hanya ganti kulit atau kemasan saja. Mulai dari UU Nomor 11 Tahun 2020, berubah jadi Perppu Nomor 2 2022, kemudian berubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023,” jelas Sunarno.

Sejak awal, lanjutnya, kaum buruh telah menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap berpihak pada investor. Penolakan itu tak hanya dilakukan lewat aksi demonstrasi tapi juga melalui meja hijau.

“Kami menggugat di Mahkamah Konstitusi dengan judicial review, khususnya uji formil atas penetapan Perpu menjadi Undang-Undang,” ungkap Sunarno.

Dampak UU Cipta Kerja

Buruh saat mengikuti aksi May Day 2023. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos) 

Sunarno menegaskan, Undang-Undang Cipta Kerja sudah berlaku sejak tahun 2020, meski undang-undang itu masih menjadi polemik.

Ia mencontohkan, dalam perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Bipartit di perusahaan atau pabrik, bahkan perundingan di Disnaker atau mediasi, Undang-Undang ini sudah digunakan.

"Termasuk perselisihan industrial di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) maupun di Mahkamah Agung,” jelasnya.

Sunarno mengungkapkan, pengurangan gaji merupakan dampak buruk pemberlakuan UU Cipta Kerja terhadap nasib buruh.

“Banyak perusahaan PHK buruh, ini juga berdampak pada pengurangan pesangon. Dari maksimal 32 bulan gaji, sekarang jadi cuma 25 bulan gaji. Itu pun 25 persen diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan). Artinya, jadi maksimal 9 bulan gaji,” jelas Sunarno.

Tak hanya berdampak pada buruh, UU Cipta Kerja juga merampas hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan sehat.

Aktivis Walhi, Uli Arta Siagian menegaskan, UU Cipta Kerja memandatkan mempercepat proses penetapan kawasan hutan.

“Kita tahu penetapan kawasan hutan negara di seluruh wilayah Indonesia itu adalah bentuk kolonialisasi yang dilakukan negara. Karena negara mengklaim semua kawasan yang tidak bisa ditunjukkan rakyat atas wilayah itu, termasuk hutan, maka negara mengambil hak tanah tersebut,” tegas Uli.

Sementara jika kawasan hutan dikuasai negara, maka bisa berpotensi diserahkan kepada investor.

Kondisi seperti itu, yang dikhawatirkan akan berdampak pada kerusakan hutan yang berujung pada pemanasan global serta krisis iklim, imbuh Uli Arta Siagian.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS