Ini Catatan Kritis Partai Buruh Jelang Hari Tani Nasional 2023

Ribuan buruh dari Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat untuk menuntut keras pencabutan Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja dan upah dinaikan 15 persen di tahun 2024, di depan Istana Negara Patung Kuda Jakarta Pusat, Kamis (10/08/2023). (Foto:PARBOABOA/Hari Setiawan)

PARBOABOA, Jakarta - Partai Buruh memberikan sejumlah catatan kritis sektor pertanian, menyambut Hari Tani Nasional ke-63, Minggu, 24 September mendatang.

Catatan kritis itu di antaranya belum terlaksananya janji redistribusi 9 juta hektare tanah kepada petani, konflik agraria yang semakin masif, pelemahan reforma agraria lewat Undang-Undang Cipta Kerja, hingga persoalan klasik seperti kemiskinan, kesejahteraan dan harga pangan yang melambung tinggi.

Untuk redistribusi tanah, kata Ketua Dewan Penasihat Partai Buruh, Henry Saragih, belum ada setengah dari target 9 juta hektare seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo terealisasi.

"Apalagi saat ini masa jabatan Jokowi sisa satu tahun, petani masih jauh dari kata sejahtera," katanya.

Jika dirinci, redistribusi tanah yang berasal dari tanah eks hak guna usaha (HGU), tanah terlantar dan tanah negara lainnya baru terealisasi seluas 1,33 juta hektare.

Sementara dari pelepasan kawasan hutan baru tercapai seluas 0,348 juta hektare.

"Sehingga total redistribusi baru sekitar 1,67 juta hektare atau 35 persen dari target 4,5 juta hektare. Padahal sudah dikuatkan dengan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria," jelas Henry.

Catatan kritis lainnya, lanjut Henry, yaitu masifnya konflik agraria.

Partai Buruh menilai, di masa pemerintahan Jokowi, banyak kebijakan pembangunan yang bias kepentingan dan imbasnya menambah subur konflik agraria.
 
Bahkan catatan Komnas HAM, sebanyak 623 aduan terkait konflik agraria dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2023.

"Reforma Agraria yang belum berjalan sesuai dengan UUPA 1960 juga berdampak pada tingginya kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia," ungkap Henry.

Berdasarkan data BPS (2018), lanjutnya, mayoritas petani Indonesia merupakan petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare per keluarga tani.

"Sebaliknya, penguasaan dan kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi pada segelintir orang atau kelompok saja," katanya.

Kondisi itu juga diamini indeks rasio penguasaan tanah dari dari Badan Pertanahan Nasional di 2015 yang menyatakan 1 persen penduduk menguasai 72 persen tanah di Indonesia.

"Ketimpangan itu diduga diakibatkan oleh dominasi penguasaan lahan yang dilakukan perusahan industri, umumnya perkebunan," jelas Henry.

Catatan lainnya, terkait Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang berimbas juga kepada petani.

UU Cipta Kerja, kata dia, telah mengukuhkan kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi dalam merampas tanah milik petani, masyarakat adat dan orang-orang yang bekerja di pedesaan.

Bahkan baru-baru ini, tambah Henry, kasus perampasan tanah imbas legitimasi UU Cipta Kerja terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau yang menolak relokasi atas pembangunan kawasan industri di tanah seluas 17 ribu hektare.

Respons Pengamat Kebijakan Publik

Pengamat Kebijakan Publik Uchok Sky mengakui, hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja melemahkan reformasi agraria di Indonesia.

Namun para investor, kata Uchok, merasa nyaman dengan UU Cipta Kerja tersebut.

"Karena Undang-Undang Cipta Kerja adalah kepentingan pengusaha atau investor," katanya kepada PARBOABOA.

Uchok juga menilai, pemberian hak guna usaha (HGU) kepada pengusaha menjadi bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat.

"Memang saat ini kita membutuhkan investasi untuk pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan, akan tetapi, harus diperhatikan hak masyarakat," ungkapnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS