PARBOABOA, Jakarta - Hujan deras mengguyur sore itu, menciptakan bunyi yang berulang saat tetesan air menimpa atap rumah.
Di ujung sambungan telepon, suara narasumber terdengar samar, bahkan sesekali terputus oleh sinyal yang tidak stabil.
Namun, gangguan kecil itu tak mengurangi antusiasme Fitri (43) untuk berbagi cerita melalui panggilan Whatsapp. Ia mengisahkan tentang perjalanan pekerjaannya sebagai perias jenazah.
Bagi sebagian orang, pekerjaan ini mungkin menyiratkan kesan menyeramkan dan tabu. Tapi bagi Fitri, setiap sapuan kuas dan sentuhan terakhir adalah wujud cinta pada kemanusiaan.
Fitri (43) telah menjalani profesi sebagai perias jenazah selama 11 tahun. Awalnya, pekerjaan ini ia tekuni karena kebutuhan ekonomi, tetapi kini ia justru merasa sangat mencintainya.
“Bantuin orang yang membutuhkan jauh lebih berarti daripada hanya sekedar memikirkan keuntungan,” katanya kepada PARBOABOA, Jumat (22/11/2024).
Dalam perjalanan panjang itu, tentu saja Fitri telah menghadapi berbagai macam tantangan, mulai dari tradisi keluarga hingga cerita-cerita mistis yang seolah menyelimuti pekerjaannya.
Lantas, bagaimana Fitri mengatasi setiap rintangan? Apa yang membuatnya tetap bertahan dalam pekerjaan yang sering dipandang berat, bahkan menyeramkan, ini?
Awal Mula Terjun sebagai Perias
Sebelum menikah, Fitri bekerja di bidang fashion. Setelah menikah, ia bergabung dengan rumah sakit atas tawaran saudaranya untuk menangani jenazah untuk pemulasaraan saja.
Namun, setelah berselang beberapa minggu, perias jenazah di tempatnya bekerja resign. Di saat itulah, Fitri menuturkan jika dirinya diperintahkan untuk menggantikannya.
Awalnya, ia ragu karena kurang pengalaman, tetapi atas dasar pengetahuan dari pelatihan make up sebelumnya ia yakin dan menjadikannya sebagai modal untuk kedepannya..
“Dulu pas masih kerja, saya diwajibkan untuk mengikuti kelas make up. Jadi, saudara saya paksa buat terima tawaran itu,” ungkapnya dengan nada tertawa kecil.
Pengalaman pertama Fitri sebagai perias jenazah menuai kritik yang justru memotivasinya untuk belajar lebih dalam.
“Klien pertama saya, kebetulan orang Jepang. Ketika rumah sakit bilang oke, tapi dari pihak keluarga mengkritik beberapa bagian seperti rambut dan lipstick,” ucapnya dengan nada santai.
Dari pengalaman itu lah, Fitri mengungkapkan jika dirinya merasa lebih tertantang, dan mencoba untuk terus berkembang dengan cara mengikuti kelas makeup umum, karena sulit mengakses pelatihan khusus perias jenazah.
“Saya ikut kelas yang umum dulu aja seperti make up biasa untuk orang hidup, soalnya kalau mau ikutan yang khusus agak susah. Bisanya yang ngadain dari gereja tertentu, “ungkapnya.
Beralih ke sisi penghasilan, Fitri menuturkan jika dirinya tidak mematok tarif tetap dan sering memberikan jasa gratis bagi keluarga tidak mampu.
Jadi, penghasilannya pun bervariasi, mulai di bawah Rp1 juta hingga lebih, tergantung kesepakatan dengan keluarga.
Dalam sehari, Fitri mengungkapkan jika dirinya bisa menangani 1 sampai 3 klien. Bahkan pernah mencapai 10 orang ketika Covid-19.
Meskipun sudah berpengalaman, ia tetap mengutamakan pelayanan ketimbang keuntungan. Karena menurutnya, membantu orang lebih penting dari apapun.
Tantangan yang Dihadapi
Sebagai perias jenazah, tentunya Fitri mengalami sebuah tantangan mesti dihadapi. Salah satunya adalah perbedaan budaya dan tradisi keagamaan.
Setiap agama memiliki ritual yang berbeda, bahkan Fitri mengatakan jika dalam satu agama seperti Kristen terdapat variasi antara Protestan dan Katolik yang harus diperhatikan, terutama dalam penanganan jenazah.
“Dulu pernah ada jenazah yang beragama Kristen, tapi keluarga tidak menginginkan salib digunakan,” ungkapnya.
Situasi seperti ini menunjukkan betapa pentingnya melakukan konfirmasi terlebih dahulu sebelum menjalankan proses apa pun. Detail agama maupun budaya harus dipastikan dengan baik agar tidak terjadi kesalahan yang dapat mempengaruhi keluarga yang ditinggalkan.
Selain perbedaan tradisi, hal-hal kecil dalam proses perawatan jenazah juga menjadi perhatian utama. Misalnya, meluruskan atau mengepalkan tangan jenazah.
Seperti halnya pada jenazah dari suku Batak yang memiliki cara melipat tangan yang berbeda dari budaya lain.
Bagi keluarga, detail-detail ini sangat berarti, sehingga kesalahan kecil dapat menimbulkan permasalahan besar. Untuk jenazah yang tangannya harus diluruskan.
“Tangan harus benar-benar lurus, karena mereka itu jeli banget untuk hal seperti itu. Bahkan saya selalu meminta izin ke pihak keluarga untuk mengikat tangan jenazah ke belakang terlebih dahulu agar tidak bengkok sedikit pun,” tegasnya.
Hal itu ternyata bukan tanpa alasan, ada makna dibaliknya. Biasanya, jenazah dengan tangan yang diluruskan melambangkan tidak adanya beban yang tersisa, seperti pada anak-anak yang telah menikah. Sebaliknya, tangan yang dikepal menunjukkan adanya tanggungan yang belum terselesaikan, seperti anak yang belum menikah.
Tantangan lainnya yang harus dihadapi Fitri dalam merias jenazah adalah kondisi kulit klien. Apakah wajah jenazah dalam keadaan aman, cedera atau bahkan sampai hancur.
Lalu untuk yang telah diawetkan dengan formalin. Proses pengawetan ini membuat kulit menjadi kering dan kaku, berbeda jauh dengan kulit orang yang masih hidup.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan foundation bisa menempel dengan sempurna pada kulit yang sudah beku dan kering. Sebab sering sekali sulit menempel dengan baik, bisa longsor atau bahkan crack.
Tanpa adanya pengalaman pasti, Fitri pun berusaha mencari solusi dengan bertanya pada orang yang lebih ahli di bidang ini. Namun, sebagian besar perias jenazah enggan berbagi ilmu.
“Mungkin karena biaya kelas yang mahal atau kekhawatiran akan dampaknya terhadap penghasilan mereka,” curahnya dengan diiringi sedikit tawa.
Fitri akhirnya memutuskan untuk mencoba mengaplikasikan makeup dengan pendekatan yang berbeda, mempelajari teknik-teknik yang dapat membantu foundation menempel dengan baik pada kulit jenazah tersebut.
Dengan begitu, akhirnya Fitri menemukan caranya sendiri, dan ia mengaku tidak segan untuk memberikan triknya itu kepada siapapun yang ingin tahu. Karena ia merasakan sakit hati sekali ketika tidak ada satu orang pun yang berkenan memberikan ilmu kepadanya.
Toleransi yang Tinggi
Meskipun Fitri beragama Islam, dia tidak menghilangkan identitasnya sebagai seorang Muslim saat merias jenazah. Tidak pernah ada sikap rasis atau diskriminasi terhadapnya; malah, mereka sangat toleran.
“Alhamdulillah, orang-orang di sana sangat menerima kehadiran saya. Tak pernah ada yang mempermasalahkan agama saya,” ungkapnya dengan nada kagum.
Setelah itu, Fitri mengisahkan salah satu pengalaman yang berkesan. Pada saat itu ia diminta untuk merias jenazah pada dini hari di sebuah gereja, saat bulan puasa.
Pihak keluarga dengan hormat memintanya untuk sahur terlebih dahulu sebelum mulai merias jenazah. Mereka bahkan membelikannya makanan dari McDonald's. Sebab banyak makanan yang mereka sediakan tidak halal.
Dengan demikian, Fitri merasa sangat dihargai. Selama ini, ia merasa tidak pernah mendapatkan intimidasi dari pihak manapun, meskipun merias jenazah yang bukan beragama Islam.
Beralih ke sisi ritual pemandian jenazah, setiap agama memiliki cara yang berbeda. Fitri menjelaskan bahwa, sebagai seorang Muslim, dia mengikuti doa-doa sesuai dengan ajaran agamanya.
Namun, ada juga beberapa pihak yang bertanya kepadanya apakah ada doa khusus untuk memandikan jenazah. Fitri tentu menjawabnya sesuai dengan apa yang dia kerjakan. Karena menurutnya, ketika melakukan sesuatu apapun itu, perlu disertai dengan doa.
“Ya, untuk doa yang universal aja,” ucapnya.
Selain itu, untuk jenazah yang beragama Katolik, ada ritual khusus yang harus dilakukan, seperti mengenakan pakaian tertentu dan didoakan selama proses mandi jenazah.
Meskipun begitu, Fitri tetap mengikuti adat dan ritual yang berlaku, menyesuaikan dengan kebutuhan dan keyakinan keluarga jenazah.
Kejadian Mistis yang Pernah Dialami
Bagi banyak orang, bekerja di sekitar jenazah bisa menjadi pengalaman yang penuh ketegangan, terutama dengan banyaknya cerita mistis yang beredar.
Namun, bagi Fitri yang telah mengabdikan dirinya di dunia ini selama bertahun-tahun, memiliki pandangan yang berbeda.
Disisi lain, ternyata ada satu pengalaman mistis yang pernah dialami Fitri. Saat malam setelah merias beberapa jenazah, dia merasa sangat lelah dan tidur.
“Dia dateng dalam mimpi saya, cuma ngasih ekspresi aja. Kadang ada yang sedih, ada yang bahagia,” katanya.
Fitri percaya bahwa itu mungkin kehadiran mereka di mimpi itu hanya sebagai ungkapan terima kasih dari jenazah tersebut. Tak hanya berhenti di situ, ternyata ia juga mengalami hal mistis lainnya yang lebih mengejutkan.
“Teman dekat saya seperti kerasukan roh jenazah yang saya rias. Dia tidak sadarkan diri, tetapi bisa berbicara dengan saya. Dia meminta bantuan untuk menyampaikan pesan kepada keluarganya, agar tidak berebut harta warisan dan menyedekahkan sebagian untuk dirinya,” ungkapnya.
Meskipun begitu, dengan tekad dan dedikasi, ia tidak hanya memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang telah pergi, tetapi juga membuktikan bahwa pekerjaan ini, meskipun jarang dan penuh stigma, bisa menjadi panggilan hidup yang mulia.
Melalui kisahnya, kita diajarkan tentang pentingnya toleransi, pengabdian, dan ketulusan dalam menjalani pekerjaan apapun, tak terkecuali yang terkesan tabu atau diluar kebiasaan.
Bagi Fitri, keberadaan dirinya di dunia perias jenazah tentu sangat dibutuhkan apalagi di adat dan di suku tertentu, menurutnya penampilan packaging di peti itu nomor satu.
Di lain sisi, profesi ini masih bisa terbilang langka. Hal itu dituturkan langsung oleh Fitri.
“Profesi kaya gini tuh cukup langka ya, karena banyak orang yang mampu sebenarnya, hanya saja tidak semua orang mau menjalankannya,” ungkap dengan nada tegas.
Hal itu lah yang membuat Fitri termotivasi untuk terus melakukan kebaikan kepada siapapun, meskipun agamanya berbeda.
Semoga profesi ini semakin dihargai dan lebih banyak orang yang tergerak untuk melanjutkan jalan yang penuh berkah ini, tanpa melihat imbalan materi semata.
“Saya berharap profesi sebagai perias jenazah ini semakin banyak. Dan jangan pernah mengedepankan bayaran apapun itu,” tutupnya.
Penulis: Dea Pitriyani
Peserta Program Magang PARBOABOA