Napak Tilas Blora bersama Pramoedya Ananta Toer (Bagian 2)
PARBOABOA - Senin 8 Desember 2003, ini kali pertama bagi kami berempat menjejakkan kaki di bumi Cepu.
Seperti halnya di kota-kota kecil lain di Pulau Jawa, bangunan stasiunnya sudah uzur dan elemen kayunya dari jati lama. Bedanya stasiun yang satu ini berarsitektur sederhana dan tak bersih.
Kami menapak meninggalkan kereta. Serasa sudah lama betul aku tak menghirup udara segar. Hmmm… udara bebas di Cepu ini sungguh melapangkan paru-paru.
Ke seorang petugas kami bertanya di mana bus yang akan ke Blora mangkal. Orang itu menunjuk sebuah titik yang tak seberapa jauh. Perlu juga berolahraga pagi; kami lantas berjalan kaki ke titik dimaksud.
Pohon besar mengapit di kedua sisi jalan setapak menuju jalan raya. Kami mampir di sebuah masjid untuk membersihkan tubuh yang dekil dan penat setelah semalaman melantai dan tak memejamkan mata di gerbong nan sumpek.
Tiba di jalan utama, terlihat bus jurusan Blora sedang ngetem. Masih kosong kendaraan itu sehingga kami bebas memilih tempat duduk. Di kursi paling belakang, kami.
Sebentar saja mini bus sudah penuh. Hari ini Senin; jadi wajar. Pegawai dan pelajar yang bernaikan.
Bus melaju cepat. Tepatnya, ngebut. Tarifnya Rp5.000 per orang. Hutan-hutan jati bersaputkan embun kami lintasi. Perjalanan pagi ini sangat mengesankan aku. Lapang betul rasa hati.
Eh, tak sampai sejam Blora menjelang… Padahal mata belum puas memandangi pohon-pohon jati yang mengapit jalanan.
Kami tiba Blora sekitar pukul 07.00. Sesuai saran tetangga di bus, kami turun di tempat yang paling strategis untuk menjangkau pusat kota.
Hanya berjalan kaki sebentar, kami sudah sampai di Koplakan (pangkalan dokar) yang merupakan pusat makanan terkemuka.
Sarapan, kami mengganyang sate kambing dan ayam. Ah… uenak tenan. Sudah pakai teh manis dan kopi, total jenderal rekeningnya cuma Rp42.000. Seperti ucapan klasik Mas Bondan Winarno di acara kuliner televisi, santapannya maknyus…
Setelah kenyang, kami putuskan mencari penginapan. Awak warung merekomendasi Blora Indah, hotel terbaik menurut dia. Sesudah membeli bekal air mineral, kami naik becak ke sana.
Kami mengambil 2 kamar yang tarifnya Rp100.000 dan Rp125.000. Rhein dan Amang harus menunggu sebab baru pukul 10.00 kamar mereka siap pakai.
Aku sendiri langsung rebahan karena semalaman tak bisa tidur di kereta. Sedap betul rasanya badan beradu dengan kasur kamar ini. Sebentar saja aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Ups.. Mentari sudah tinggi rupanya. Aku bangkit dari peraduan. Pukul 14.00 kami berempat siap menjelajahi Blora. Prioritas adalah mencari Pak Pramoedya Ananta Toer (untuk seterusnya kusebut Pram saja biar praktis) selekas mungkin.
Berjalan kaki saja kami ke pusat kota karena sudah tahu waktu naik becak tadi bahwa jaraknya tak seberapa jauh. Mencari rumah makan, itulah yang kami di perjalanan.
Kami mampir sebentar untuk membeli oleh-oleh khas Blora yaitu ledre (keripik pisang). Penjaga warung bersaran agar kami bersantap di warung Bu Soeripan saja.
Menurut dia, rawonnya terkenal di Blora. Lokasinya ia jelaskan. Kami langsung bergerak ke sana.
Rawon ya rawon; Rasanya kurang-lebih sama. Tapi rawon Bu Soeripan ini lain. Daging dan kuahnya lebih legam. Porsinya lebih besar.
Rasanya? Sedap betul. Maknyus lagi. Sambalnya pas. Togenya segar. Pun telur asinnya. Tak keliru kami bersantap di sini.
Setelah perut kenyang kami lantas mulai mencari Pram. Ke rumah adik perempuannya, Bu Oemi, di Jalan Halmahera, Galingsong, kami menuju.
Setelah tanya sana-sini sampai akhirnya di sana. Pintu dan jendela kami ketuk-ketuk tapi tak ada sahutan. Rumah sedang kosong. Seorang tetangga keluar dan bilang Bu Oemi sekeluarga sedang di luar kota. Berlebaran, ucapnya. Wah!
Kami berkoordinasi dengan Mbak Titi (Astuti, ia putri Pram) di Jakarta lewat handphone. Ia sarankan agar langsung saja ke rumah keluarga Mas Toer di Jalan Sumbawa 40, Jetis. Ia memberi ancar-ancar.
Kembali naik becak, kami bergerak ke tempat dimaksud. Naik kendaraan ini praktis sebab pengemudinya hapal jalan. Lagi pula angkot jarang; apalagi taksi.
Pram sedang bakar-bakar sampah di halaman belakang waktu kami sampai. Sengaja tak kami beritahu kami datang agar dia surprised.
Adik Pram nomor dua, Pak Prawito alias Pak Walujadi tampak menatap kosong dari jendela. Tatkala melihat kami yang mendekat ekspresinya datar. Sapaan kami ia balas dengan anggukan kosong.
Adik bungsu Pram, Pak Soesilo atau Pak Coes muncul dan menghampiri. Ramah dan bersahabat, dia bertanya mau cari siapa. Setelah tahu kami sengaja datang dari Jakarta untuk mengikuti kegiatan Pram di Blora ia girang.
Sehabis bertukar cerita singkat ia mengajak kami ke belakang. Perlahan dan diam-diam kami mendekat sampai jarak tinggal sekitar empat meter; Pram yang bertelanjang dada, bercelana training, dan bertopi tak menyadari kehadiran kami.
Sibuk dia mengurusi sampah di depannya. Has menjepreti dia dari pelbagai penjuru. Tetap ia belum ngeh.
Kami menghampiri dan menyapa pelan sebagaimana biasa kami lakukan kalau di Bojong Gede, Bogor. Ternyata tetap saja ia kaget.
“Eh… ini orang Jakarta… ngapain ke sini,” ucapnya seperti tak percaya. Berkali-kali keheranannya ia kemukakan saat kami bertukar kata. Jelas, girang ia melihat kami.
Kami jalan beriringan ke rumah di samping bangunan inti serba berjendela. Di bekas dapur kediaman utama kami mengobrol. Lantas wawancara dan tentu saja mengambil gambar dengan kamera video serta tustel.
Pak Coes sibuk mengurusi kami. Kopi, teh, dan kudapan ia sajikan. Sesekali ia nimbrung untuk menjelaskan saat Pram kesulitan untuk mengingat.
Bersambung...
Reporter: Rin Hindryati dan Hasudungan Sirait