PARBOABOA, Cianjur – Masyarakat sekitar meyakini situs ini dibuat manusia. Kepercayaan ini sejalan dengan cerita leluhur tentang asal usul Gunung Padang yang klop dengan nama-nama sejumlah tempat yang ada di sana. Seperti: Pasir Keramat, Gunung Batu, Ciukir, Empang, lalu Gunung Padang.
“Ada Pasir Keramat, tempat sumber material. Ada Kampung Ciukir, tempat mengukir. Juga Empang tempat pencucian atau pensucian sebelum batu-batu ini dibawa ke Gunung Padang. Bagaimana membawanya? Kami percaya, rata-rata orang dulu kan sakti. Jadi mereka pasti bisa,” jelas Kang Rus, kepala masyarakat adat Gunung Padang.
Warga setempat juga meyakini bangunan punden berundak ini merupakan tempat meditasi dan tafakur.
“Sejak lama Situs Gunung Padang banyak didatangi orang yang hendak ibadah, berdoa, bahkan mencari wangsit. Makanya tempat ini dianggap keramat. Leluhur kita sudah menggunakannya sebagai lokasi meditasi atau berdoa. Kita nggak pernah dengar ada tempat pemakaman di sini,” tambah Kang Rus.
Orang-orang Bali yang beragama Hindu rutin datang ke Gunung Padang untuk berdoa. Mereka biasanya menginap selama tiga hari saat purnama penuh. Di kalangan orang Hindu Bali, banyak juga yang meyakini bahwa asal leluhur mereka dari Jawa Barat. Sebab itu situs-situs seperti Gunung Padang dan sejumlah tempat lain di provinsi ini kerap mereka ziarahi.
Saat penulis berkunjung ke Gunung Padang akhir tahun lalu, sang juru kunci Asep, mengatakan rombongan orang Bali baru saja pulang setelah menginap tiga hari di sana.
Arkeolog Lutfi Yondri memperkirakan batu-batu itu kemungkinan memang sudah ada di Gunung Padang. Masyarakat lantas memanfaatkannya untuk membangun punden-punden berundak sebagai tempat ibadah.
Hasil penelitian selama setahun pada 2002-2003 yang dilakukannya menunjukkan bentuk batu-batu ini tidak ditemukan di lokasi lain di kitaran Gunung Padang. Ia telah menelusuri tempat-tempat seperti Pasir Empet, Pasir Malang, Gunung Karuhun, dan Pasir Pogor.
“Saya tidak menemukan bahan yang sama di sana. Sehingga saya berpikir saat itu: jangan-jangan berasal dari lokasi itu sendiri,” katanya kepada penulis baru-baru ini. Apalagi menurut Lutfi di masa itu jumlah penduduk masih sangat sedikit, sekitar 75-100 orang saja. Itu pun sudah termasuk anak-anak, perempuan, dan orang tua.
Logikanya kalau batuan itu (harus) diangkut dari lokasi lain, berapa orang dibutuhkan untuk mengerjakan itu. Yang terjadi orang-orang ini menyusun punden berundak dengan batuan yang ada di sana. Begitu pendapat Lufti.
“Kita juga belum menemukan jejak kekerasan manusia. Artinya, pemimpinnya sangat baik, berkharisma, dan masyarakatnya kompak. Ada religion emotion yang terbangun saat itu sehingga mampu membangun punden berundak balok batu.”
Punden Berundak
Setelah merasa cukup mengeksplorasi teras pertama, perjalanan dilanjutkan menuju teras dua yang lebih kecil. Anak tangga dari susunan bebatuan menggiring pengunjung menuju ke level dua. Ada sekitar enam bangunan besar dan kecil di sini. Beberapa batu bahkan menyerupai tempat duduk. Mungkin dulunya dipakai sebagai tempat diskusi. Ada juga susunan batu-batu tegak berdiri yang fungsinya sebagai pembatas jalan.
Naik sedikit menuju teras tiga, kita akan menjumpai relief Kujang dan Tapak Maung yang identik dengan Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Galuh. Teras ini lebih kecil dari teras dua. Di sini juga ada sekitar lima figurasi atau bangunan berbentuk segi empat dan melingkar.
Bangunan-bangunan ini saling terhubung lewat fundasi atau jalan. Semula dikira teras tiga ini kompleks permakaman. Namun hasil ekskavasi yang dilakukan arkeolog menunjukkan tidak ada tanda-tanpa kuburan.
Menapaki sedikit saja anak tangga, kita akan langsung sampai ke teras keempat. Meski luasnya berkurang, di sini ada hamparan tanah kosong yang dulu mungkin digunakan sebagai tempat berkumpul saat melangsungkan upacara adat atau keagamaan.
Siang itu sejumlah rombongan siswa SMP berseragam pramuka tengah duduk tekun mendengarkan penjelasan seputar Gunung Padang yang disampaikan pengelola situs.
Masih di teras empat, ada sebuah batu bersebutan Kanuragan atau pengujian. Batu ini kini dipagari dengan catatan dilarang dicabut.
Ada kisah di balik pemagaran ini. Begitu kata Kang Zaenal yang sedari tadi menemani penulis. Pernah orang berduyun-duyun datang ke Gunung Padang untuk mencoba mengangkat batu itu. Karena ada kepercayaan barang siapa yang berhasil mencabutnya maka keinginannya akan terkabul. Satu hari bisa ratusan orang datang untuk mencoba bahkan tak sedikit yang cedera.
Akhirnya batu itu diamankan oleh Asep, sang juru kunci.
“Saya amankan di gubuk selama sekitar empat tahun sejak 2013. Baru pada 2017, setelah agak reda, batu ini dikembalikan ke tempatnya,” ungkap Asep. Ini dilakukannya untuk menghindari ekses membanjirnya orang datang ke Gunung Padang; hal yang dapat merusak situs.
“Orang-orang yang mencoba banyak juga yang cedera karena memaksakan diri. Ada yang rusak kakinya, jempolnya,...”
Selanjutnya tibalah kami di teras kelima, tempat paling tinggi.
Jangan membayangkan kita akan menaiki undakan anak tangga yang curam. Jarak dari teras keempat hanya beberapa anak tangga. Jadi tidak perlu usaha yang besar. Luasnya pun tak seberapa namun dianggap sebagai tempat paling suci, paling sakral. Lazimnya digunakan sebagai tempat untuk memimpin upacara. Dulunya mungkin hanya bisa dijamah oleh pemimpin keagamaan saja.
Saat sedang bercakap dengan Asep, sayup-sayup terdengar sekelompok orang mengaji, membaca ayat-ayat suci. Menurut dia, banyak kelompok orang dengan latar belakang keagamaan beragam yang datang memanjatkan doa di teras kelima ini. Biasanya mereka sedang memohon doa atau meminta ridho sang leluhur terhadap rencana tertentu.
Siapa pun bisa memanfaatkan tempat ini untuk berdoa. Menurut cerita orang-orang yang datang ke sini, pengalaman mereka beraneka ragam.
“Tergantung niatnya. Ada yang mengatakan mendengar suara orang mengaji. Orang lain bilang mendengar suara sekelompok orang memainkan kesenian tradisional Sunda tempo dulu,” kata Asep. Tapi menurut dia, cerita yang sering ia dengar adalah suara orang memainkan alat musik kesenian tradisional Sunda.
Inilah akhir perjalanan ke puncak Situs Gunung Padang. Sambil menikmati sore yang sejuk, mata kita akan dimanjakan oleh hamparan pemandangan nan hijau dengan view 360 derajat tanpa aral melintang. Menurut Asep yang menemani penulis duduk sedari tadi di sebuah batu, di malam hari pun di puncak ini terang benderang, seperti namanya: Padang atau terang. Padahal tidak ada penerangan lampu.
Kalau saja tidak hendak mengejar kereta kembali ke Cipatah yang akan berangkat pukul 17.20 dari Stasiun Lampegan, ingin rasanya tinggal lebih lama lagi. (Tamat)