Laporan Khusus dari Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan
PARBOABOA – Alat-alat berat berbanjar di dalam kawasan hutan adat. Seingat Rahmadi, Kepala Adat Dayak Pitap periode 2000-2005, ekskavator itu dipakai untuk membabat habis semak belukar di salah satu titik Pegunungan Meratus, Provinsi Kalimantan Selatan.
Aksi ini dilakukan perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia PT Malindo Jaya Diraja pada 1999. Dalam sekejap saja, lahan seluas empat hektar telah disulap menjadi lokasi pembibitan lebih dari 13.000 anak sawit yang siap tanam.
Saat itu perusahaan mengantongi izin usaha perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 10.000 hektar di Pegunungan Meratus, tepatnya di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Setengah dari total lahan itu berada di kawasan tanah adat Dayak Pitap, salah satu suku yang mendiami kawasan hutan tropis yang berada di lingkup pegunungan satu-satunya di Bumi Lambung Mangkurat.
Masyarakat Dayak Pitap tinggal di lima desa, yaitu Desa Ajung, Desa Kambiyain, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap, dan sebagian ada di Desa Mayanau. Total wilayah adat mereka 22.806 hektar yang sebagiannya terpaut izin usaha pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan pemerintah sejak 1999.
Sejauh ini masyarakat adat yang mendiami wilayah tersebut masih mampu membendung perusahaan yang ingin berekspansi. Namun, tak ada jaminan bahwa pertahanan mereka tidak akan bobol. Kedamaian dan keharmonisan mereka masih di bawah ancaman. Sebab? Setidaknya masih tersisa tiga perusahaan yang memiliki izin usaha di tanah adat tersebut.
PT Sinar Kemilau Abadi memiliki izin hingga 10 September 2034 (sesuai SK 188.45/491/KUM Tahun 2014) untuk menambang batu bara. PT Saribumi Sinar Karya memiliki izin hingga 20 Desember 2009-25 April 2029 (sesuai SK 188.45/221/KUM Tahun 2009) untuk menambang bijih besi. Sedangkan CV Razza Nugraha Agro, mereka memiliki izin hingga 22 November 2030 (sesuai SK 188.45/245/KUM Tahun 2010) untuk menambang unsur serupa.
Pantang Berkhianat
Perjalanan darat menuju Desa Ajung yang berjarak sekitar 220 kilometer dari Kota Banjarmasin ternyata lebih lama dari perkiraan Google Maps. Setelah 6 jam berkendara, kami baru tiba di Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) yang jaraknya masih 45 kilometer lagi dari sana.
Saat memasuki kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), tengah malam sudah. Gelap pun mendekap. Cahaya temaram hanya berasal dari teras-teras rumah warga yang jaraknya jauh-jauh. Pemandangan ini terasa kontras dibanding saat kami melintasi kota sebelumnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Di sana, suasana jauh lebih benderang dan kota terasa menggeliat. Lampu berbinar-binar di sepanjang jalan dan banyak taman menghiasi kota.
Kontras di dua kabupaten ini terkait erat dengan sikap warga masing-masing terhadap usaha pertambangan. Masyarakat di Kabupaten HST keukeuh menolak wilayahnya dijarah para pengusaha tambang karena menganggap hal itu dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah.
Kendaraan roda dua yang kami tumpangi terus menerabas aspal basah dan melintasi jalan yang sedikit menanjak. Sesekali ban motor menggilas kerikil-kerikil kecil dan tanah liat becek berwarna kuning. Pengemudi harus berhati-hati. Jalan ini kemudian berbelok, masuk lebih dalam ke Pegunungan Meratus menuju Desa Ajung, salah satu tempat bermukimnya masyarakat Suku Dayak Pitap.
Desa yang masih asri ini berpenduduk 594 orang: 282 laki-laki dan 312 perempuan. Sebagian besar masyarakatnya hidup dari bertani dan berkebun.
Motor kami melaju menapaki lereng bukit yang pada sisinya bertumbuh pohon-pohon besar beragam jenis tanaman hutan. Sesekali terlihat barisan pohon pisang ditanam rapi oleh penduduk lokal mengikuti kontur tanah.
Tak lama, motor pun berhenti. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sejauh sekitar 5 meter dari bahu jalan. Kami ayunkan langkah menapaki ruas jalan tanah menuju kediaman Rahmadi. Rumah-rumah warga di Desa Ajung umumnya lebih tinggi dari tanah. Sebuah papan kayu selebar 1 meter tersusun berundak-undak seperti tangga mengantar kami naik ke rumah Rahmadi.
Saat memasuki bangunan berdinding kayu, sang tuan rumah sedang duduk di kursi ruang tengah. Mengenakan sweater kuning cerah, lelaki berusia 65 tahun menyambut hangat kedatangan reporter Parboaboa yang memang sudah membuat janji sebelumnya.
Kepala Adat Dayak Pitap periode 2000-2005 ini pun membuka percakapan seputar kegigihan Masyarakat Dayak Pitap yang menolak menyerahkan tanah adat ke perusahaan.
Tanah yang diwariskan oleh para leluhur ini wajib dipertahankan jika tidak ingin kehancuran menimpa mereka, demikian ia berucap.
Dia masih ingat betul bagaimana perusahaan getol mendekatinya demi izin membabat hutan. Saat itu, ia masih kepala adat.
Dua orang utusan PT Malindo Jaya Diraja pernah datang menemuinya. Mereka mengutarakan keinginan untuk menggarap hutan adat yang akan dijadikan perkebunan sawit. Bukan hanya itu, demi memuluskan rencananya mereka juga tak sungkan mengiming-imingi Rahmadi sejumlah janji manis termasuk gaji per bulan tanpa harus bekerja seperti umumnya karyawan.
Bahkan tanah seluas dua hektar telah disiapkan baginya, asalkan mau merestui rencana perusahaan menggarap lahan yang masuk kawasan wilayah adat suku Dayak Pitap.
Tawaran itu pun ditolaknya mentah-mentah. “Saya diangkat oleh masyarakat adat Dayak Pitap dan dikukuhkan oleh para tokoh Balian,” ujarnya.
Pantang baginya untuk berkhianat. Ia tak mau mengambil keputusan sepihak hanya untuk keuntungan pribadi. Baginya jabatan yang diamanahkan kepadanya sakral. Pengukuhan itu tidak main-main. Apalagi saat pelantikan ada upacara adat yang sarat nilai spiritualnya.
“Sebelum dilantik, saya dikukuhkan oleh para tokoh Balian. Artinya, siapa yang berkhianat dengan tanah leluhurnya akan dikenakan sanksi oleh para leluhur itu sendiri,” kata Rahmadi sembari menambahkan dirinya tak berani melanggar aturan adat yang sudah ada secara turun-temurun itu.
Berkoordinasi
Awalnya, masyarakat adat Dayak Pitap sendiri saja berjuang mempertahankan tanahnya. Belum ada koordinasi. Keadaan berubah setelah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), LSM advokasi lingkungan hidup terbesar dan tertua di Indonesia, terlibat sejak 1999. Gerakan perlawanan pun terkoordinasi.
Hampir setiap hari berlangsung diskusi mendalam antara masyarakat Dayak Pitap dan Walhi Kalimantan Selatan. Lalu, pada 15-17 September 1999 digelar pertemuan antar-kampung yang dihadiri oleh masyarakat dari Desa Ajung Hilir, Ajung Hulu, Nanai, Kambiyain, dan Desa Iyam atau Dayak Pitap di Balai Adat Ajung Hilir.
Di sana mereka mencurahkan segala persoalan termasuk yang berkaitan dengan akses jalan. Sejak izin usaha perkebunan digelontorkan, masyarakat mulai merasai kesulitan menggunakan lintasan. Perusahaan memblokir sejumlah ruas jalan utama. Padahal infrastruktur jalan darat ini penting bagi masyarakat saat akan memasarkan hasil bumi.
Sementara itu harga-harga kebutuhan yang berasal dari luar wilayah pun kian merangkak naik. Warga sempat menghadapi dilema. Keadaan yang serba sulit ini berpotensi mempengaruhi pendirian mereka. Ini adalah godaan yang dapat membuat mereka terbujuk rayu perusahaan.
Lewat dialog dan diskusi yang intens, masyarakat pun mulai menyadari keadaan. Mereka mulai mampu mengurai persoalan dan menemukan benang merah keruwetan dan dilema yang melanda kawasan hutan adatnya. Akhirnya mereka sadar dan mengerti bahwa hutan adat harus dilindungi dari ancaman industri. Kesamaan pemahaman inilah yang memperkuat persatuan di antara masyarakat dan tetua adat.
Debat sengit dan diskusi alot kerap terjadi. Pro-kontra itu terjadi terutama dalam pengambilan keputusan apalagi jika itu berkait dengan uang.
Rahmadi aktif mengadvokasi. Meski sikapnya tegas dalam melindungi hutan adat, sebagai kepala adat, ia tetap berunding dengan warga saat hendak mengambil keputusan. Menurutnya, masyarakat yang kontra terhadap masuknya perusahaan masih lebih dari setengahnya.
“Makanya, saya berani bertindak,” kenangnya saat menceritakan kembali hasil musyawarah dengan masyarakat adat Dayak Pitap pada medio 2000-an.
Bergegas ia menghubungi Walhi Kalimantan Selatan seturut keluarnya hasil musyawarah. Mereka kemudian sepakat membuat pernyataan menolak perusahaan sawit. Para tokoh lain pun ikut menandatangani surat yang ditujukan kepada Dirjen terkait di Kementerian Pertanian. Surat yang sudah bertanda tangan itu lalu dibawa ke Jakarta.
Sebulan setelah itu, tepatnya pada 2001, saat perusahaan hendak membuat perayaan karena baru selesai membangun kantor dan bibit sawit sudah siap tanam terbetik kabar baik dari Jakarta. Surat pernyataan penolakan dikeluarkan pemerintah. Maka sejak itu pula operasi pembukaan lahan dan penanaman sawit terhenti. Lantas, ribuan bibit sawit siap tanam berbalut polybag itu pun diangkut dan dibawa pergi entah ke mana.
Bak peribahasa, mati satu tumbuh seribu. Pergi satu datang pula perusahaan lain yang hendak mengusik tanah ulayat masyarakat adat Dayak Pitap. Baru saja PT Malindo Jaya Diraja angkat kaki, ancaman lain sudah membayang. Belum genap setengah tahun, ada perusahaan tambang bijih besi PT Saribumi Sinar Karya yang berencana menambang di sana.
“Semuanya ingin merusak lingkungan,” kata Rahmadi.
Masyarakat mengusir orang-orang PT Saribumi Sinar Karya. Pihak perusahaan akhirnya putar haluan sebab kemarahan masyarakat adat seperti tak terbendung.
“Bila kada bulik jar buhannya [tidak pulang kata masyarakat], kada [tidak] dijamin keselamatannya,” kenang Rahmadi sambil tersenyum lega saat mengenang perjuangan masyarakat Dayak Pitap menjaga kawasan Meratus dari upaya masuknya perusahaan tambang dan sawit.
Sekadar informasi, Masyarakat Dayak Pitap mendiami lima desa di Pegunungan Meratus, yaitu Desa Ajung, Desa Kambiyain, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap, dan sebagian Desa Mayanau. Dengan luas wilayah adat 22.806 hektare, diketahui sebagiannya terpaut izin perusahaan sejak tahun 1999. Mulai dari pertambangan hingga persawitan.
Benteng Terakhir
Setelah menempuh sekitar 15 kilometer dengan melalui jalan yang tak selalu mulus tibalah kami di Desa Kambiyain, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan. Hutan lebat membentang sejauh mata melihat. Tebing karst dan pohon-pohon menjulang di sebagian sisi jalan. Sementara lahan-lahan pertanian dan perkebunan seperti karet, pisang, hingga tomat, dan cabai terhampar di sisi lahan lain.
Sepeda motor kami berhenti tepat di depan Kantor Desa Kambiyain. Di ruang berukuran sekitar 2,5 meter x 3 meter, dengan jendela mengarah ke lereng gunung, Anang Suriani, Kepala Desa Kambiyain, duduk di balik meja kerjanya.
“Barabai [ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST)] itu benteng terakhir kami. Jika Barabai jebol, maka wilayah-wilayah setelahnya, kemungkinan juga akan ikut terseret,” ia menceritakan soal izin pertambangan dan persawitan yang sudah menjarah banyak titik di Pegunungan Meratus, kecuali HST, yang sampai saat ini masih konsisten tidak menerima perusahaan ekstraktif.
Wilayah lain yang juga masih aman, adalah wilayah adat Dayak Pitap.
“Saya hanya bisa bicara dalam konteks wilayah adat yang masuk Desa Kambiyain. Selebihnya, saya tidak berani,” ia menekankan.
Anang, berkali-kali mengatakan tambang maupun sawit membawa kesengsaraan bagi masyarakat adat jika itu dikerjakan untuk jangka waktu yang panjang. Selama ini, tanpa ada aktivitas tambang atau perkebunan, kehidupan masyarakat baik-baik saja. Mereka bisa bertahan dan mampu hidup dengan sejahtera.
Para tetua adat Dayak Pitap telah membuktikan hal itu. Mereka sangat menjaga hutan, alam, dan lingkungan yang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Oleh masyarakat, kepercayaan tersebut dimaknai sebagai pegangan hidup yang menjadi sumber kekuatan untuk terus membentengi diri dari ancaman sawit dan tambang.
Masyarakat Dayak Pitap juga memiliki keyakinan yang kuat tentang adanya hubungan spiritual antara mereka dengan para leluhur, Sang Khalik, dan alam. Ada sebuah ritual atau persembahan bagi para leluhur dan Sang Pencipta yang memaknai hubungan spiritual tersebut. Ritual ini dipercaya sebagai sebuah keharusan, namanya upacara Aruh dan telah dijalankan serta diyakini selama berabad-abad.
Tradisi Aruh merupakan simbol penghargaan masyarakat terhadap kehidupan dan alam. Mereka meyakini manusia dan alam adalah bagian yang saling membutuhkan dan tak terpisahkan satu sama lain. Aruh merupakan ritual sesaji sebagai wujud syukur pada Sang Khalik. Saat itu masyarakat akan menyuguhkan hasil bumi seperti padi sebagai sumber kehidupan.
Manakala alam hancur maka lingkungan akan rusak dan hutan tak lagi membentang. Anang Suriani mempertanyakan, jika itu terjadi, lantas bagaimana mereka bisa bercocok tanam dengan baik. Lalu, bagaimana masyarakat Dayak Pitap dapat menghasilkan padi?
“Karena dari padi itulah kami bisa mempersembahkan kurban kami kepada leluhur maupun Sang Pencipta sebagai ucapan terima kasih.”
Reporter: Anna Desliani
Editor: Rin Hindrayati