Mobilitas Sosial Vertikal ala Warung Madura 

Seorang pembeli saat berbelanja di warung Madura milik Imam. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

PARBOABOA – Kesempatan sekali seumur hidup itu datang medio 2023 lalu. Juragan pemilik warung madura menawari Iman (34) untuk membeli seluruh isi toko miliknya. 

Ketika itu, sudah masuk tahun ketiga Iman menjaga warung di sana terhitung sejak 2021. Warung sendiri sudah berdiri di Jalan Tebet Timur Dalam III, Jakarta Selatan, setahun sebelumnya. 

"Saat itu dia menawarkan sekitar Rp250 juta untuk membeli warung ini," Imam mengenang peristiwa setahun lalu itu. 

Tapi ia belum punya uang sebegitu banyak. Di tabungannya hanya ada Rp100 juta, hasil menyisihkan pendapatan dari menjaga warung madura

Sang juragan bersikeras hanya akan menjual warungnya ke Imam. "Ya udah berapa uangmu sini, sisanya boleh dicicil," Imam menirukan omongan si bos waktu itu. 

Akhirnya mereka berdua pun bersepakat. Imam lebih dulu membayar Rp 100 juta. Kekurangan harga sepaket warung sebesar Rp150 juta yang tersisa ia akan cicil kemudian. 

Ia tidak tahu pasti kenapa tiba-tiba bosnya menawarkan warung miliknya. Iman cuma bisa menduga-duga saja. 

Bos yang punya warung madura biasa menyerahkan pengelolaan toko kepada penjaga. Hubungan itu lebih banyak didasari kepercayaan belaka. 

Penjaga akan melaporkan omzet secara rutin. Sementara pemilik biasanya juga jarang-jarang mengontrol toko. 

Selama menjaga warung, Iman tak pernah macam-macam. Berapa pemasukan yang diperoleh toko dalam sehari, sejumlah itu pula yang dia laporkan. 

Kepercayaan itu, yang ia duga, membuat bosnya memberi kesempatan dirinya memiliki warung. Mereka berdua sama-sama dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. 

Ikatan persaudaraan Madura mengalir di darah mereka. "Sebagai sesama orang madura, dia mungkin tidak ingin kami ini selamanya menjadi penjaga warung," ujar Iman. 

Iman tahu betul berapa besar potensi toko kelontong yang ia jaga. Per hari omzet kotornya bisa mencapai Rp8 juta.

Imam, pemilik warung Madura. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

Angkanya terbilang besar dibanding warung madura lain yang pemasukan hariannya berkisar antara Rp3-5 juta. Maklum saja, warung Iman terletak di tempat strategis. 

Lokasinya di jalur hidup yang ramai lalu lalang orang. Banyak pusat aktivitas ekonomi di Tebet. Itu sebabnya, ketika tawaran dari sang bos datang, ia tak pikir panjang untuk menyambarnya. 

Ia merasa, punya warung sendiri membuatnya lebih bebas. Ia tidak perlu lagi bekerja diatur orang lain. 

Selain itu, ia juga mempertimbangkan kepentingan keluarga. Iman sudah memiliki istri dan anak yang ikut diboyong ke Jakarta. Mereka tinggal bersama Iman di warung. 

Bila masih bekerja pada orang, Iman menyimpan kekhawatiran. Bisa saja ia dipindah tugas untuk menjaga warung madura di daerah lain. Sementara anaknya sudah mulai duduk di bangku sekolah. 

"Kalau saya harus pindah-pindah kan kasian anak saya juga, perlu beradaptasi lagi," ia berujar.  

Sampai sekarang, Iman masih mencicil uang kekurangan pembelian warung dari mantan bosnya. Uang itu ia peroleh dengan menyisihkan penghasilan bulanan. 

Misalnya, ia mendapat penghasilan bersih total Rp 10 juta per bulan dari menyisihkan 5 persen pendapatan harian warung. Maka, Iman akan menggunakan 50 persen untuk kebutuhan sehari-hari keluarga. 

Setengah lagi sisanya diberikan ke mantan bos sebagai bagian dari cicilan. "Jadi tergantung omzetnya itu, sampai itu lunas," imbuhnya.   

Aspek pemberdayaan ekonomi di balik warung madura rupanya merupakan hal yang berlaku jamak. Abdul Hamied (45) Ketua Paguyuban Warung Sembako Madura Indonesia, mengatakan warung madura tidak butuh tenaga kerja berpendidikan tinggi.  

Orang yang tidak punya ijazah, bahkan tidak tamat sekolah dasar pun bisa diberdayakan. Yang penting, kata Hamied, bisa berhitung dan jujur. 

Bagi Hamied, mencari penjaga untuk warung madura mulai susah belakangan ini, seiring maraknya warung madura di mana-mana. Lebih sulit lagi mencari yang jujur. 

Hamied baru menutup dua warung maduranya yang berlokasi di Bekasi bulan lalu. Anak buahnya di sana belakangan ketahuan menggelapkan uang setoran. 

Padahal penjaga warung madura bisa mendapat nominal lumayan tiap bulan. Penghasilan bersih bisa mencapai Rp3-5 juta per bulan, baik dari sistem bagi hasil atau gaji bulanan.

Itu pun di luar biaya makan dan rokok. Hitung-hitungan Hamied, dalam satu setengah tahun menjaga warung saja, penjaga sudah bisa membuka toko kelontong milik mereka sendiri. 

Salah satu warung Madura di Jalan Tebet Timur Dalam XI, Jakarta Selatan. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

Asumsinya, lanjut Hamied, rata-rata modal membuka warung  berkisar Rp70 juta. "Kalau enggak punya utang, enggak punya tanggungan yang lain, ya di rumahnya," ucapnya memberi catatan. 

Hamied sendiri sudah 11 tahun merintis usaha warung madura. Kini, ia tinggal punya 10 warung yang tersebar di Depok, Tangerang Selatan, dan Bogor. 

Dia bilang, sudah puluhan mantan anak buahnya yang kini jadi bos warung madura. Salah satu yang berkesan dan ia ingat adalah mantan penjaga warungnya berusia 65 tahun. 

Pria itu terjerat utang ke rentenir di kampung halaman. Akan tetapi, menurut Hamied, ia punya niat dan usaha kuat untuk bangkit. 

Orang itu bekerja di salah satu warung madura milik Hamied selama empat tahun. Di tahun keempat, ia sudah punya warung sendiri. 

Kini hidup mantan anak buahnya sudah membaik. Ia bisa menguliahkan dan menikahkan anaknya. 

Udah punya mobil mereka juga. Dari orang yang minus zero gitu,” kenang Hamied. "Jadi nilai pemberdayaan warung madura sangat tinggi.”

Reporter: Patrick

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS