Potret Buram Sepak Bola Usia Dini di Indonesia

Pemain anak usia dini yang ada di SSB Nusantara DKI Jakarta fokus rutin mengikuti latihan sepakbola. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

PARBOABOA - Langit Jakarta Utara tampak mendung. Sore itu, Kamis (13/6/2024), sesi latihan bersama Sekolah Sepak Bola (SSB) Nusantara 2004 di GOR Sunter baru saja berakhir.

David Putra (16) perlahan menepi. Keringat segar mengucur di wajahnya. Sesekali ia menyeka, lalu bergegas mengambil beberapa botol air mineral yang berserak di bibir lapangan. 

"Saya awalnya pernah juga latihan mandiri di sini, bang," celetuk pria asal Warakas, Tanjung Priok itu.

Mimpi menjadi pesepakbola profesional rupanya sudah muncul sejak beberapa tahun silam. Usia David kala itu masih terbilang muda, 8 tahun. Sang ayah pun ikut andil merawat harapannya.

Ayah David memang gemar menyaksikan pertandingan Timnas Indonesia. Ia bahkan tak pernah melewatkan setiap kali Skuad Garuda berlaga. Hanya ada satu kerinduan: putranya bisa tampil di layar kaca.

Performa para pemain Timnas Indonesia yang cukup memukau saat itu, semakin memacu ekspektasi sang ayah, bahwa kelak David bisa mengharumkan nama bangsa di kancah sepak bola.

"Ingin banget, bahkan ingin melebihi ekspektasi ayah saya," kenangnya.

Impian David menjadi pesepakbola karatan sempat terbentur keinginan ibunda. Berbeda dengan ayahnya yang selalu memberi dukungan, ibu David malah menghendakinya menjadi polisi.

David harus punya masa depan yang cerah. Ia tak ingin anaknya larut dalam petualangan masa muda yang serba tak pasti. 

Kondisi sejumlah mantan pemain profesional di tanah air yang memprihatinkan selepas ‘gantung sepatu’, jadi salah satu alasan di balik kegusaran sang ibunda.

Baginya, berkarier sebagai abdi negara, setidaknya menjadi pilihan paling aman dan tentunya lebih menjanjikan di hari tua.

David mengenang, ibunya mulai melunak setelah sang ayah tutup usia, tepat di tahun pertama ia bergabung bersama SSB Nusantara 2004 U-13.

Sejak saat itu, ibu David mulai menyukai sepak bola. Pola makan dan asupan gizi dikontrol. David tidak lagi diizinkan mengkonsumsi makanan cepat saji yang berimbas pada kesehatannya.

David Ramadhan Erla Putra, Kapten Tim U-16 SSB Nusantara DKI Jakarta. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

David sempat berniat mengubur mimpinya menjadi pemain bola. Beberapa kekalahan dalam setiap turnamen membuat mentalnya tumbang. 

Ia bahkan berencana untuk berhenti mengikuti latihan. Semangatnya kembali tumbuh setelah dilecut sang ibunda, yang tak ingin anaknya larut dalam kekalahan.

“Tetapi orang tua saya yang bilang fokus, terus jangan terlalu ambisius, terus lebih optimis,” kenang David.

Tahun pertama di SSB Nusantara, David menjadi penjaga gawang. Setahun berselang, pria yang mengidolakan Bambang Pamungkas itu memutuskan menjadi striker, sebelum akhirnya bermain di posisi gelandang.

SSB Nusantara tempat David berlatih merupakan sekolah bola yang berdiri sejak 2004. Kini resmi menjadi anggota klub internal Persija Jakarta. 

David mengaku, pola pembinaan di SSB Nusantara memang jauh melebihi ekspektasinya. Dalam sepekan, ada tiga hari khusus latihan untuk mengasah skill bertanding. 

Para pemain juga dipisahkan berdasarkan kategori usia, selain beberapa pemain yang sengaja lompat kelas ke kelompok usia lanjutan karena kemampuannya di atas rata-rata.

David juga sudah beberapa kali mengikuti turnamen bergengsi, seperti Liga Top Youth, Liga TopSkor dan Indonesia Junior Soccer League, yang digelar pihak swasta. 

Sejumlah turnamen ini cukup membantu dalam membangun mental dan karakter para pemain. Hanya saja, turnamen-turnamen bergengsi di bawah asuhan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), jarang digelar. 

PSSI seakan menutup mata. Padahal, kualitas pembinaan internal SSB menurutnya perlu diuji lewat berbagai turnamen resmi yang berkelanjutan. 

Pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong (dari kiri), bersama Thom Haye (di tengah) saat jumpa pers pasca pertandingan Indonesia Vs Filipina, Selasa (11/6/2024) malam WIB. (Foto: PARBOABOA/Rahma Dhoni)

David juga harus merogoh kocek dalam-dalam setiap kali mengikuti turnamen. Sementara, kantong keuangan keluarga mulai menipis selepas ditinggal sang ayah.

Beruntung, ibunya tak pernah mengeluh dan selalu menyanggupi kebutuhan finansial David saban kali hendak bertanding. 

Bagi David, menjaring pemain potensial dari tingkat lokal perlu dilakukan jika ingin mencetak para pemain yang berkualitas.

Turnamen berjenjang yang digelar mulai dari pelosok-pelosok desa, bisa menjadi salah satu wadah yang mesti dihidupkan kembali.

“Banyak talenta-talenta besar di desa namun kurang ada biaya untuk menjadi profesional, untuk dapat bersaing,” tegasnya.

Pemain SSB Nusantara DKI Jakarta berlatih menendang bola. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Fery Alex Saputra, Pelatih SSB Nusantara, merekam sejumlah soal yang hingga kini belum tuntas diurai. Selain infrastruktur yang belum memadai, proses pembinaan di SSB Nusantara sendiri sebetulnya terganjal kerumitan finansial. 

Sejauh ini, Fery mengaku belum pernah mendapat kucuran dana dari PSSI, meski SSB Nusantara bernaung di bawah Asosiasi Kota (Askot) Jakarta Pusat dan Asosiasi Provinsi (Asprov).

Sebelumnya, PSSI menggelontorkan dana sebesar Rp300 juta per tahun untuk setiap Asprov demi mendukung program pengembangan sepak bola di daerah. Tahun ini rencananya akan dinaikkan menjadi Rp500 juta.

Dana tersebut tak pernah menetes ke kantong SSB Nusantara. Di setiap turnamen saja, baik yang digelar Askot Jakarta, klub internal Persija, hingga turnamen tingkat nasional – pihaknya harus merogoh kantong pribadi. 

Mereka kerap dibebankan dengan sejumlah biaya registrasi, akomodasi dan transportasi. Ongkosnya pun tak main-main, berkisar di angka dua juta hingga lima juta rupiah. 

Bahkan, orang tua murid juga dilibatkan untuk menalangi sebagian pendanaan setiap hendak mengikuti turnamen.

“Itu biayanya mandiri, tidak dari sponsor ataupun PSSI. Kita urunan dengan orang tua murid. Harga kompetisinya berapa, dibagi rata supaya lebih ringan," ungkap Fery kepada PARBOABOA, Kamis (13/6/2024).

Kompetisi usia dini di Indonesia yang didominasi sistem turnamen, bikin masalah tambah pelik. Idealnya, kata Fery, kompetisi dengan sistem liga yang terintegrasi mestinya harus diorganisir sejak dini.

"Tidak ada kompetisi yang terintegrasi langsung dari PSSI mulai dari usia grassroot, sampai level menuju profesional tidak ada liganya," tegasnya.

Sementara, keseragaman format pada seluruh level kompetisi usia muda Indonesia dari usia 6 hingga 18 tahun, sudah diatur dalam Kurikulum Pembinaan Sepakbola Indonesia.

Artinya, perlu ada kesinambungan antara metode latihan di Klub/SSB dengan format kompetisi usia muda yang dimainkan. Sayangnya, penerapan kurikulum ini masih jauh panggang dari api.

Di Eropa dan Amerika Selatan, industri sepak bola dirancang sejak 1970-an. Sistem liga yang baik juga sudah diterapkan sejak lama, mulai dari U-8, U-10, U-12 hingga jenjang profesional.

Untuk konteks Asia saja, Jepang yang berambisi menjadi juara Piala Dunia tahun 2050, telah membangun fondasi dan sistem sejak tahun 1990-an silam.

Sementara di Indonesia, ada dua kompetisi besar untuk level usia dini:

Pertama, Elite Pro Academy (EPA) yang merupakan turnamen untuk kelompok umur 16 dan 18 tahun. Namun, hanya melibatkan peserta dari tim Liga 1 sehingga tidak menyentuh level akar rumput secara langsung.

Pemain Asiana Football Academy sedang melakukan latihan. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Kedua, Piala Soeratin untuk kelompok umur U-13, U-15, dan U-17 yang dikelola oleh Asprov PSSI di setiap provinsi, dengan tim juara zona maju ke babak nasional. Kompetisi ini pun rupanya belum maksimal menghasilkan pemain-pemain muda unggulan.

"Maksud saya, kalau liga itu kan jelas ada database pemainnya. Siapa yang hari ini main bagus, minggu depan bisa dipantau dan dievaluasi," kata Fery.

Anjas Wibowo, Pelatih SSB AFQOZ Kabupaten Tegal, juga punya kerisauan serupa. Berada jauh dari kota-kota besar, Anjas merasakan betul betapa terbatasnya kompetisi usia dini di wilayahnya.

Sebagai pelatih, selain mengikuti kompetisi resmi di Jawa Tengah seperti Piala Soeratin, Anjas terpaksa menyiasatinya dengan mengikuti turnamen berkala di luar kota. Beberapa kota besar dikunjungi, mulai dari Semarang, Kebumen hingga Pekalongan.

"Kompetisi yang terbilang resmi itu masih minim ya. Alhasil kita mengikuti turnamen-turnamen yang swasta,” terang Anjas saat ditemui PARBOABOA di komplek GBK, Selasa (11/06/2024).

Bayu Adi (kiri ) dan Anjas Wibowo ( kanan ), Manajer dan Pelatih Sekolah Sepakbola AFQOZ Kabupaten Tegal. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Saat ini, ada 130 pemain dari berbagai kelompok umur yang tergabung di AFQOZ. Pembinaan internal tanpa disertai kompetisi justru akan berdampak lesu pada perkembangan para pemain.

Sebab menurutnya, jam main dan pengalaman bertanding di usia dini menjadi aspek krusial jika ingin menghasilkan para pemain berkualitas di masa depan.

Anjas punya mimpi besar anak-anak asuhannya kelak bisa menjadi pemain profesional. Karena itu, kompetisi usia dini perlu dirancang secara berkelanjutan.

“Jadi harapannya kalau ke depannya kompetisi untuk usia dini itu yang serinya nasional itu bisa diperbanyak lagi,” harapnya.

Di balik harapan mengintegrasikan pola pembinaan dan memperlebar kompetisi berkelanjutan, Ari Mulyaman (46) justru mengendus sejumlah praktik kecurangan.

Dua anaknya, Fadlan (13) dan Fatih (17), bergabung bersama SSB Nusantara. Menurut Ari, pembinaan usia dini di Jakarta atau di Indonesia, umumnya masih belum memiliki arah yang jelas. 

Ketika anak-anak bermain di turnamen, seperti SSB atau klub lainnya, mereka cenderung fokus untuk menang daripada mengembangkan kemampuan mereka. 

Akibatnya, banyak yang memasukkan pemain di luar anggota asli tim SSB, bahkan tidak sesuai dengan kategori usia yang disyaratkan.

“Ada yang bahkan jauhlah skill-nya, pemain titipan, yang tidak seharusnya bermain,” jelas Ari kepada PARBOABOA, Kamis (12/06/2023). 

Ia mendorong kompetisi para pemain yang dibina di SSB mesti sesuai dengan batas usia yang ditetapkan. Cara-cara curang tersebut hanya akan mematikan potensi mereka.

Turnamen saat ini, sependek pengetahuannya, juga seringkali kurang memiliki legitimasi dan kredibilitas yang cukup. 

Problem semacam ini pada akhirnya bakal beririsan dengan geliat naturalisasi yang gencar dipromosikan PSSI.

Bagi Ary, naturalisasi sejumlah pemain keturunan merupakan program jangka pendek sekaligus “menjadi triggered dan mendorong pembinaan, pemain lokal untuk berkembang.” 

Proses naturalisasi perlu diletakkan pada sudut pandang yang lebih holistik, berdasarkan kebutuhan teknis dan strategis tim. 

Kehadiran para pemain keturunan ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing Timnas Indonesia dalam berbagai turnamen internasional. 

Asalkan tetap berada pada koridor yang tepat sehingga tidak menjadi sebuah ketergantungan, melainkan memastikan bahwa pembinaan dan kompetisi dikelola dengan baik.

“Konsistenlah dalam membina anak-anak,” ungkap Ari.

Bersambung…..

Reporter: Putra Purba, Calvin Siboro, dan Rahma Dhoni

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS