PARBOABOA - Timnas Indonesia akan menghadapi laga krusial melawan Filipina di Stadion Manahan, Solo, pada Sabtu (21/12/2024) pukul 20.00 WIB. Kemenangan menjadi harga mati bagi skuad asuhan Shin Tae-yong untuk memastikan tiket ke semifinal ASEAN Cup atau Piala AFF 2024.
Di klasemen sementara, Indonesia berada di posisi kedua dengan empat poin, sementara Filipina di peringkat keempat dengan tiga poin. Hasil imbang, apalagi kekalahan, bisa membuat Marselino dan kawan-kawan tersingkir, mengingat Myanmar yang memiliki poin sama dengan Indonesia berpotensi lolos jika mampu mengalahkan Vietnam di laga lain.
Sejauh ini, penampilan Timnas Indonesia di Piala AFF 2024 belum memuaskan banyak pihak. Dengan skuad yang mayoritas diisi pemain muda berusia rata-rata 20,3 tahun—termuda di kompetisi—performa di lapangan menghadapi tantangan besar.
Dari tiga laga, Indonesia mencatatkan satu kemenangan, satu hasil imbang, dan satu kekalahan. Hasil imbang 3-3 melawan Laos menjadi sorotan tajam, karena itu adalah kali pertama Indonesia kehilangan poin penuh lawan Laos di kandang dalam 55 tahun terakhir.
Keputusan Shin Tae-yong memasukkan pemain muda seperti Arkhan Kaka, Robi Darwis, dan Cahya Supriyadi ke skuad Timnas Indonesia di Piala AFF 2024 awalnya mendapat banyak apresiasi.
Pelatih asal Korea Selatan itu menunjukkan keberanian dengan tidak membawa nama-nama besar yang sebelumnya tampil di Kualifikasi Piala Dunia atau turnamen lainnya.
Tidak hanya pemain yang merumput di luar negeri, pemain andalan seperti Egy Maulana Vikri, Marc Klok, Ernando Ari, dan Rizky Ridho juga absen dalam turnamen ini.
Langkah ini tampaknya tak terlepas dari fakta bahwa liga domestik Indonesia tetap berjalan selama Piala AFF berlangsung, mengingat turnamen ini tidak masuk dalam kalender resmi FIFA.
Akan tetapi, keputusan tersebut memicu spekulasi bahwa Piala AFF tahun ini tidak lagi menjadi prioritas utama Timnas Indonesia, melainkan kesempatan untuk memberikan pengalaman kepada pemain muda.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Shin Tae-yong yang menegaskan bahwa fokus utama Timnas Indonesia saat ini adalah melanjutkan perjuangan di Kualifikasi Piala Dunia 2026, yang akan kembali digelar pada Maret 2025.
“Tujuan Indonesia adalah melaju di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Kami akan memfokuskan seluruh sumber daya untuk tujuan tersebut,” ujar pelatih asal Korea Selatan itu, beberapa waktu yang lalu.
Namun, Ketua Umum PSSI Erick Thohir memiliki pandangan berbeda. Ia menegaskan target Indonesia tetap sama di Piala AFF 2024 ini, yaitu tampil maksimal dan bersaing.
"Tentu targetnya sama. Walaupun kemarin ada yang bertanya, 'Pak, kan waktu itu bilang tidak ada target.' Saya bilang, saya tidak pernah bilang begitu," ujar Erick di Jakarta.
Mantan pemilik Inter Milan itu sebelumnya juga meminta pelatih timnas Indonesia, Shin Tae-yong, untuk fokus pada program yang telah disepakati dan tidak terlalu banyak mengeluhkan jadwal padat di Piala AFF 2024. "
"Jangan banyak bicara, jangan banyak ngeluh, kita fokus sajalah. Kita fokus di program yang kita sudah sepakati," tegasnya.
Lantas, apakah federasi menetapkan target untuk Indonesia bisa menjadi yang terbaik di Piala AFF 2024? Mengingat, hingga saat ini, Indonesia belum pernah meraih gelar juara di kompetisi regional Asia Tenggara tersebut.
Di sisi lain, sebagian besar masyarakat tampaknya tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap gelaran ini. Banyak yang justru berharap tim fokus pada upaya mencetak sejarah dengan lolos ke Piala Dunia 2026 mendatang.
Kiprah Timnas Indonesia di Piala AFF
Kejuaraan AFF 1996 awalnya bernama Piala Tiger 1996 karena alasan sponsor. Timnas Garuda menjadi satu kontestan di antara sepuluh tim lainnya di turnamen yang berlangsung di Singapura pada tanggal 1 hingga 15 September 1996.
Timnas Indonesia yang dimotori oleh Kurniawan Dwi Yulianto, Robi Darwis hingga Husaini berhasil lolos ke Semifinal, meski harus takluk dari Malaysia di babak tersebut. Adapun Thailand berhasil keluar sebagai juara setelah di partai puncak mengenduskan perlawanan Harimau Malaya dengan skor 1-0.
Awan mendung Timnas makin pekat dua tahun setelahnya. Di mana pada perhelatan Piala Tiger 1998, kiprah Indonesia di ajang internasional tercoreng habis oleh tragedi sepak bola gajah.
Kejadian tersebut tercipta saat Indonesia memainkan laga pamungkas melawan Thailand di Grup A. Kedua tim sejatinya dipastikan lolos, namun sama-sama tak ingin jadi juara grup.
Sebab, keduanya ingin menghindari bertemu dengan tuan rumah Vietnam pada babak Semifinal Piala Tiger 1998. Indonesia akhirnya kalah 2-3 dan gol penentu kemenangan Thailand terjadi karena kesengajaan, yakni gol bunuh diri bek Indonesia, Mursyid Effendi.
Pada akhirnya, Indonesia kembali terhenti di babak semifinal, setelah ditumbangkan oleh Singapura dengan skor 2-1. Singapura pun melaju ke final, dan mengakhiri turnamen dengan juara.
Selepas turnamen, Indonesia dan Thailand sama-sama didenda USD40 ribu oleh FIFA. Sementara Mursyid dihukum seumur hidup dilarang bermain di level internasional.
Kemudian, raihan Indonesia perlahan menanjak seiring berhasilnya Timnas menyentuh partai final di Piala Tiger 2000. Di Semifinal, Skuad Garuda yang berisikan pemain macam Bambang Pamungkas, Gendut Doni Christiawan, Aji Santoso dan lain-lain mengalahkan Vietnam dengan skor 3-2 yang saat itu dilatih oleh Alfred Riedl.
Namun di partai puncak, permainan Indonesia seakan menghilang dan dibabat habis oleh Thailand yang saat itu bertindak sebagai tuan rumah. Hasil 4-1 untuk Tim Elepant War itu menghiasi papan skor.
Di Piala Tiger 2002, Indonesia ditunjuk pihak penyelenggara sebagai tuan rumah bersama Singapura. Hasilnya cukup meyakinkan; Skuad Garuda kembali lolos ke partai final.
Tim asuhan Ivan Kolev itu kembali menjamu Thailand. Pertandingan dilangsungkan di hadapan 100 ribu penonton di Gelora Bung Karno pada tanggal 29 Desember 2002. Misi balas dendam pun disematkan.
Thailand berhasil mencuri dua gol tersebut di babak pertama lewat aksi Chukiat dan Senamuang. Tapi Indonesia berhasil perlahan bangkit dengan mencetak gol lewat aksi Yaris (46') dan Gendut Doni (79'). Bahkan momentum ada di tangan Timnas, seiring diusirnya Chukiat di menit ke-57.
Namun tidak ada gol tambahan yang tercipta di kedua tim, sehingga pertandingan dilanjutkan ke babak tos-tosan. Di babak adu penalti, dua dari empat pemain Timnas gagal menjaringkan si kulit bundar ke gawang The Elephant War, sehingga skor akhir 4-2 (2-2) untuk kemenangan Thailand. Indonesia pun harus puas menjadi runner-up kembali, sedang Thailand sukses meraih trofi ketiganya.
Indonesia kembali meraih runner-up setelah kalah melawan Singapura di laga final Piala Tiger 2004. Tiger Beer yang menjadi sponsor resmi, mengakhiri kerjasamanya dengan konfederasi sepak bola ASEAN, AFF. Sehingga kejuaraan tersebut berganti nama menjadi Piala AFF mulai tahun 2007.
Di momen Piala AFF, Indonesia untuk kali pertama tersingkir di fase grup pada Piala AFF 2007. Setahun berselang, kiprah mereka terhenti di babak semifinal.
Dikecewakan Piala AFF 2010
Timnas Indonesia dilanda demam luar biasa terhadap Tim Merah-Putih pada Piala AFF 2010. Stadion Gelora Bung Karno, yang menggelar enam dari tujuh permainan Timnas selalu terisi penuh oleh laki-laki, wanita, tua-muda, dari berbagai profesi, semuanya disatukan oleh lambang Garuda di dada. Bahkan, presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhono berbaur dengan masyarakat untuk mendukung Tim besutan Alfred Riedl itu di partai puncak.
Dihuni oleh skuad handal seperti Firman Utina, Zulkifli Sukur, Ahmad Bustomi, hingga pemain keturunan dan naturalisasi, yakni Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales tampil cukup memukau dengan menyapu bersih lima pertandingan awal (tiga di fase grup dan dua di Semifinal). Tim yang hebat dan menyihir publik saat itu.
Pada akhirnya, perjalanan Timnas yang mencuri perhatian publik itu, harus bermuara dengan keruh. Indonesia sejatinya melawan Malaysia di final, tim yang pernah mereka bantai di fase Grup. Kendati demikian, prediksi akan merengkuh gelar dengan mudah harus sirna. Ekspektasi yang disematkan oleh banyak pihak terpaksa harus gigit jari, berkat realita tunduk secara agregat di partai final.
Di mana, Gonzales Cs diterkam Harimau Malaya di Bukit Jalil lewat skor telak 3-0. Pertandingan tersebut menjadi sorotan tajam, setelah Markus Haris Maulana meminta panitia pelaksana menghentikan sementara di babak kedua karena serangan laser dari suporter Malaysia.
Setelah momen tersebut, permainan Timnas Garuda tampil antiklimaks. Seolah kehabisan bensin dan janggal, gawang mereka begitu mudah dibobol hingga tiga kali oleh Safee Sali dan kawan-kawan. Sementara di GBK, masyarakat yang berharap penuh bisa meraih kemenangan telak seperti yang mereka ciptakan, tapi hanya bisa merengkuh kemenangan tipis 2-1. Impian Indonesia kembali buyar.
Setelah itu, sepak bola Indonesia dihadapkan oleh sejumlah problematika di dalam negeri. Dualisme di tubuh PSSI dari rentang waktu 2011-2016 berpengaruh pada prestasi Indonesia yang lesu. Di Piala AFF 2012, mereka terhenti di fase grup. Kegagalan tersebut dipicu setelah kebijakan PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin, tak memperbolehkan pelatih memboyong pemain dari klub-klub Indonesian Super League (ISL) karena kompetisi tersebut dicap ilegal.
Raihan buruk gagal di babak grup tersebut juga dituruti pada tahun 2014 dan 2018. Sementara di Piala AFF 2016, Indonesia berhasil kembali menyentuh final, tapi lagi dan lagi ditumbangkan oleh Thailand.
Lantas mengapa Indonesia selalu mentok di level-level itu saja? Jika kita beranggapan disebabkan faktor pelatih, sepertinya banyak yang berpendapat bahwa itu keliru. Sebab, Nama-nama juru taktik semacam Ivan Kolev, Peter Withe, Wim Rijsbergen, Luis Milla, Alfred Riedl, hingga Shin Tae-yong bukanlah pelatih sembarangan di level internasional.
Mereka sukses menghadiahkan gelar juara dan meramu skuad dengan baik di tim-tim sebelumnya. Namun mengapa di Timnas Indonesia, sentuhan mereka terasa berbeda dan takdir begitu runyam?
Piala AFF di Era STY
Gagal di Kualifikasi Piala Dunia 2022 bersama Simon McMenemy membuat PSSI bergerak cepat. Mantan pelatih Bhayangkara FC itu didepak, dan Bima Sakti ditunjuk sebagai pelatih sementara.
Namun, kiprah Bima Sakti juga tidak berlangsung mulus. Pada Piala AFF 2018, Indonesia tersingkir di fase grup dan pulang lebih awal. Hingga akhirnya, PSSI menunjuk Shin Tae-yong, mantan pelatih Korea Selatan di Piala Dunia 2018, yang resmi diperkenalkan pada 28 Desember 2019.
Kehadiran Shin Tae-yong membawa harapan besar bagi Timnas Indonesia. Dengan reputasi dan pengalaman yang mumpuni, ia diberi tanggung jawab berat: menangani tiga kelompok usia sekaligus, yaitu Timnas U-20, U-23, dan senior.
Namun, rintangan besar datang ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, pada Maret 2020. Aktivitas sepak bola terhenti, termasuk upaya Shin Tae-yong untuk menanamkan filosofi permainannya. Praktis, sepanjang tahun 2020, Timnas hampir tidak menjalani turnamen apa pun, sehingga progres kerja Shin Tae-yong sulit dinilai.
Baru pada 2021, kiprah Shin Tae-yong mulai menunjukkan hasil positif. Di Piala AFF 2020, Timnas tampil gemilang. Berada di Grup B, Indonesia sukses menjadi juara grup, mengungguli Vietnam lewat selisih gol.
Di semifinal, Witan Sulaeman dan kawan-kawan tampil luar biasa dengan mengalahkan Singapura lewat agregat 5-3. Namun, antiklimaks terjadi di final. Indonesia harus puas menjadi runner-up setelah dikalahkan Thailand dengan agregat 6-2.
Pada Piala AFF 2022, Timnas kembali menunjukkan performa apik di fase grup dan berhasil melaju ke semifinal bersama Thailand. Sayangnya, mimpi buruk kembali terjadi. Vietnam menaklukkan Indonesia dengan skor agregat 2-0, memupus harapan Tim Merah Putih untuk merebut gelar juara.
Hingga kini, Indonesia telah enam kali menjadi runner-up di Piala AFF, tanpa sekalipun meraih gelar juara. Sebaliknya, Thailand terus menunjukkan dominasinya dengan tujuh gelar juara sepanjang sejarah turnamen.