Invasi Pemain Madura di Kancah Persaingan Pasar Ritel 

Suasana warung Madura di Jalan Tole Iskandar, Kota Depok. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA – Kedatangan seorang pelanggan berkaus hitam dengan celana selutut memotong obrolan Parboaboa dengan Muhammad Zainal. Pria itu memarkirkan sepeda motornya tak sampai semeter dari tempat kami berbincang. 

Ia turun dan langsung memesan sebungkus rokok. Muhammad, penjaga toko kelontong di Jalan Tole Iskandar, Kota Depok, Jawa Barat, itu segera sigap melayani. 

Waktu, Senin (10/62024) lalu itu, menunjukkan pukul 23.43 WIB. Suasana di sekitar lokasi sudah sepi. Hanya warung Muhammad saja yang masih menampakkan aktivitas. 

"Makin malam memang begini, makin ramai pembeli," kata pria asal Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, ini. Hingga Parboaboa meninggalkan warung sekitar pukul 03.00 WIB, ada saja pembeli lain yang mampir berbelanja. 

Baru lima bulan terakhir Muhammad bekerja sebagai penjaga warung kelontong milik kakaknya. Ia selalu kebagian sif malam menjaga warung. 

Seperti warung madura kebanyakan, toko milik kakaknya juga buka 24 jam. Jam buka yang tanpa jam tutup itu sudah menjadi identitas yang membedakan warung madura dibanding toko kelontong lain. 

Selain itu, warung madura punya ciri khas lain. Penjual kelontong madura biasa memajang beras dagangan dalam etalase kaca dan juga menjual bensin eceran. 

Keberadaan warung madura kian menjamur di mana-mana beberapa tahun belakangan. Keberadaannya tak sulit untuk dijumpai. Warung madura bahkan tak ragu berdiri bersebelahan dengan waralaba retail modern seperti Indomaret dan Alfamart.

Jalan Tole Iskandar, tempat Muhammad berjualan barang kebutuhan sehari-hari, merupakan salah satu jalan arteri di Kota Depok. Sepanjang 4,2 kilometer ruas tersebut, sekurangnya terdapat 15 warung madura. 

Rata-rata ada satu warung madura setiap jarak 200-300 meter. Di beberapa kawasan yang sudah padat, ada kesepakatan tidak tertulis jarak antara warung madura tidak boleh kurang dari 200 meter. 

Suasana warung Madura di malam hari. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

Konsensus itu dibuat untuk menghindari gesekan yang berpotensi terjadi di sesama penjual kelontong asal madura. “Sejauh ini belum ada sanksi atau aturan yang bersifat mengikat,” kata Mohammed Zainal Alim, Ketua Perhimpunan Warung Madura Indonesia (PWMI).

Ia mengungkapkan, jumlah warung madura melesat beberapa tahun terakhir. Titik tolak ekspansinya yang agresif mulai terlihat sejak 2020, meski Zainal sendiri masih kurang bisa merunut lebih jauh apa faktor pemicunya. 

Sejak itu, jumlah warung madura diperkirakan meningkat 20-30 persen per tahun. Pertumbuhan yang paling masif terjadi di Pulau Jawa, dengan Jakarta sebagai episentrumnya. 

Hitungan kasarnya saja, ada minimal 10 ribu warung madura di kawasan Jakarta. Menurut Zainal, terdapat 2-3 ribu warung madura di masih-masing wilayah administratif Jakarta.

Di luar Pulau Jawa, pertumbuhan warung madura terkonsentrasi di Bali, Sumatra, dan Kalimantan. Sebarannya masih relatif sedikit dibanding di Pulau Jawa, hanya berkisar 20-30 titik di tiap kota besar. Tapi jumlahnya terus berkembang. 

Zainal tidak memungkiri kalau selama ini warung madura lebih banyak mencari peruntungan di kawasan perkotaan. Akan tetapi, belakangan fenomenanya mulai menunjukkan gelagat ke arah yang berbeda. 

Mulai terjadi stagnasi pertumbuhan warung madura di perkotaan. Jumlah warung madura di kawasan urban yang sudah mulai mencapai titik jenuh menjadi salah satu faktornya. 

"Hampir enggak ada space yang kosong dari warung madura," Zainal berujar.  

Itu sebabnya, kini orang madura mulai berekspansi membuka toko kelontong ke kawasan berkarakter pedesaan. PWMI sendiri saat ini menaungi 50 ribuan warung madura. 

Sebagai sebuah komunitas, ia terbilang baru. Kehadirannya menjadi simpul paguyuban-paguyuban warung madura yang lebih dulu eksis tujuh tahun belakangan. 

Himpunan semacam itu lebih berfungsi sebagai wadah menjalin komunikasi, edukasi, advokasi dan mewadahi aktivitas terkait ekosistem warung madura; seperti rekomendasi agen di suatu daerah, atau informasi lowongan menjaga toko. Zainal bilang, PWMI ingin menghimpun paguyuban-paguyuban tersebut agar lebih terorganisasi. 

Ke depan, menurut pemilik dua warung madura di Jombang dan Mojokerto itu, kebutuhan ke arah sana kian mendesak. Apalagi sempat muncul polemik soal batasan jam buka bagi warung madura seperti yang terjadi di Bali akhir Mei lalu. 

Momentum itu mendorong mereka memperkuat konsolidasi. “Kita akhirnya terbentuk untuk mengonter itu,” ungkap Zainal. 

Ditambah lagi, warung madura diprediksi akan kian ekspansif. Gurihnya keuntungan dari berjualan kelontong ala madura punya daya pikat kuat. 

Memang belum ada hitungan valid yang bisa cukup akurat menaksir besaran perputaran uang di jaringan warung madura. Namun, berdasarkan kalkulasi kasar sederhana, skala ekonominya tidak main-main. 

Zainal mengatakan omzet setiap warung madura bisa berbeda satu sama lain. Di jalan yang kecil, pendapatan kotor toko madura berkisar Rp2-5 juta. Sementara yang berada di di jalan utama, bisa meraup pemasukan harian antara Rp5-7 juta. 

Beberapa warung madura yang letaknya lebih strategis bisa mendapat nominal lebih besar lagi. Imam (34) seorang pemilik warung madura di Jalan Tebet Timur Dalam III, Jakarta Selatan, misalnya. Ia membukukan omzetnya Rp8 juta per hari. 

Lokasi warungnya berada di tengah kawasan sibuk yang ramai lalu lalang orang. "Di samping kanan-kiri kan banyak rumah makan dan lain lain," katanya. 

Seorang anak perempuan mengambil minuman kemasan di warung Madura. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Dalam sebulan, kurang lebih ia mencatat uang masuk Rp 240-an juta dalam buku kas. Kalau menurut Zainal, dengan menggunakan kalkulasi paling moderat, penghasilan rata-rata warung madura Rp3-5 juta per hari. 

Katakanlah setiap warung anggota PWMI yang berjumlah 50 ribu itu punya omzet Rp 4 juta per hari. Artinya, pemasukan harian warung madura yang terhimpun dalam PWMI saja mencapai Rp200 miliar per hari. 

Daya tarik itu yang membuat banyak orang madura tergiur. Mereka ikut merintis warung-warung baru di daerah yang dianggap potensial. 

Sayangnya, dengan potensinya yang besar, urusan permodalan masih menjadi kendala bagi pertumbuhan warung madura. Komunitas madura masih kesulitan terhadap akses perbankan. 

Mereka umumnya tak mau repot mengurus persyaratan administratif yang terlalu prosedural. Permodalan warung madura selama ini masih menggunakan tabungan pribadi pemilik. Skema lain yang biasa digunakan dengan meminjam uang kepada kerabat. 

Belakangan model ini mulai ditinggalkan. “Yang ada sekarang adalah ngajak kerja sama, kemudian bagi hasil, pengelolanya 50 persen dan pemilik modal 50 persen,” Zainal menjelaskan. Sebab, banyak orang mulai sadar potensi dan keuntungan di balik warung madura. 

Fenomena warung madura yang menggiurkan seperti sekarang tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Cikal bakalnya disebut-sebut pertama kali berkembang di kawasan Jakarta Utara, pada 1990-an. 

Perintis awal warung madura adalah orang-orang dari Kabupaten Sumenep. Mereka berasal dari daerah berbeda dengan orang madura yang bergelut di bidang besi bekas atau menjual sate madura. Dua yang disebut terakhir umumnya berasal dari Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang.

Abdul Hamied (45), Ketua Paguyuban Warung Sembako Madura Indonesia, pernah bersinggungan langsung dengan "generasi pertama" warung madura. Sekitar tahun 1997 ia pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta. 

Ia ikut membantu menjaga warung milik saudaranya di Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Bisnis warung madura saat itu, menurutnya, belum seperti sekarang.   

Dulu, penjaga warung madura dibayar tak menentu. Para penjaga biasanya hanya diberi uang saku ketika mereka pulang kampung. 

Warung madura pada masa awal juga tak berbeda dengan toko kelontong kebanyakan. Baru belakangan muncul karakteristik khas warung madura yang dikenal sekarang. 

Kemampuan adaptasi menjadi salah satu kunci warung madura bertahan di tengah sengitnya persaingan ritel. Warung madura terus berinovasi mencari formulasi yang tepat untuk bersaing di pasar.  

Perubahan mulai terjadi ketika memasuki periode 2010-an. Bisnis warung madura lebih tertata. Upah penjaga mulai layak dengan menggunakan sistem bagi hasil atau gaji bulanan. 

"Orang yang jaga itu makin semangat," kata pria yang biasa disapa Cak Hamied itu. 

Semakin ke sini, warung madura juga mulai membentuk identitasnya sendiri dengan buka 24 jam, menjual beras di etalase kaca, dan berjualan bensin. 

Jajanan minuman dan bensin eceran Pertalite di warung Madura. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

Menurut Cak Hamied, model toko semacam itu tidak dirancang dari awal. Tapi kini ciri khas itu menjadi semacam kesepakatan tak tertulis yang menjadi diferensiasi mereka. 

Tak cuma kemampuan adaptasi, warung madura juga punya daya tahan yang kuat. Hamied mencontohkan ketika pandemi COVID19 melanda Indonesia, banyak usaha yang berjatuhan. 

Warung madura juga terdampak. Apalagi pemerintah menerapkan pembatasan sosial. Banyak aktivitas jual-beli masyarakat yang bergeser ke cara daring. 

Cak Hamied menyebut, omzet warung madura turun 20-30 persen kala itu. “Tapi kami tetap hidup, ketimbang jenis usaha lain yang sampai tutup-tutup gitu,” ucapnya.

Ia sendiri mulai merintis usaha warung maduranya sejak 2013. Kini ia punya 10 toko yang tersebar di Depok, Tangerang Selatan dan Bogor. 

Paguyuban Warung Sembako Madura Indonesia yang ia gawangi terdiri dari para pemilik warung madura. Setiap anggota bisa memiliki lebih dari satu toko kelontong. Hamied menaksir ada 5 ribuan warung madura yang tergabung dalam paguyubannya. 

Andang Subaharianto, Antropolog dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, menilai ada karakter kultural dari masyarakat madura yang memicu pesatnya ekspansi bisnis kelontong madura. 

Masyarakat Madura punya ikatan kekerabatan yang kuat. Modal sosial itu yang kemudian digunakan untuk mengembangkan jaringan warung madura. 

Orang yang lebih dulu sukses merintis usaha kelontong akan mengajak kerabatnya yang lain. Di sisi lain, ketika ada saudaranya yang sukses, orang madura pun berbondong-bondong mengikuti jejak yang sama.

"Istilah Madura itu teretan, teretan itu persaudaraan. Tingkat kekerabatan mereka itu memang sangat kuat," ujar pria yang sudah 15 tahun mendalami kultur masyarakat madura.

Kaum imigran madura, lanjut dia, didominasi kelas menengah ke bawah. Mereka bekerja di sektor informal yang tidak membutuhkan latar pendidikan formal tinggi dan keahlian khusus. 

Warung madura muncul dengan semangat untuk bertahan hidup. Motivasi itu kemudian dibalut dengan karakter orang madura yang ulet dan pantang menyerah. 

Pandangan tersebut diamini Bambang Budiarto, dosen ekonomi pembangunan Universitas Surabaya. Ia berpendapat warung madura punya prinsip: Yang penting bertahan hidup dulu. Selanjutnya mereka mulai berinovasi mengembangkan model-model usaha yang bisa diterima pasar. 

Dari kacamata ekonomi, pertumbuhan warung madura juga tak lepas dari tingginya tingkat pengangguran. Banyak orang yang tidak terserap di sektor formal. 

Kondisi demikian banyak dialami oleh sebagian orang madura. Alhasil, orang madura menemukan alternatif pencaharian dari praktik wirausaha. 

"Pada gilirannya, ketika dia semakin besar, semakin gede, ternyata banyak kenikmatan yang dinikmati di situ," kata Bambang.

Melihat trennya saat ini, ia optimistis fenomena warung madura akan terus bertahan. Bisnis ini punya potensi ekonomi yang besar dan masih punya ruang untuk berkembang. 

Tanpa itu, menurut Bambang, sudah sejak lama warung madura berguguran satu per satu dan tidak berkembang menjadi fenomena sebesar sekarang.

Reporter: Azam, Patrick 

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS