PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah Indonesia masih menganggap penyandang disabilitas mental sebagai beban. Kondisi tersebut yang membuat penyandang disabilitas ini kesulitan mendapatkan pekerjaan dan hidup mandiri secara ekonomi. Bahkan, beberapa dari penyandang disabilitas mental ini pernah dipecat karena penyakit yang diidapnya.
Menurut Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), rekrutmen untuk disabilitas mental juga masih terbatas. Hal itu dibenarkan Ketua PJS, Ratna Sari Dewi.
"Susah sekali pekerja formal. Dalam formasi PPPK (ASN), ada tulisan tidak pernah didiagnosa bipolar, anxiety," katanya saat menjadi narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan LBH Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Penyintas bipolar disorder ini mengaku pernah dipecat pada 2012 karena penyakitnya itu.
"Sebagian besar dari penyintas akhirnya menjadi wirausaha untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari," ungkap Dewi.
Ia hanya berharap penyintas disabilitas mental bisa hidup mandiri dan mendapat pekerjaan yang layak. Dewi menambahkan, penyintas juga berharap ada ruang inklusif lintas sektor dari pemerintah.
"PJS mendorong agar ada balai pelatihan dan pengembangan kemampuan untuk penyandang disabilitas mental. Apalagi di Jakarta sudah punya Perda Disabilitas," katanya.
Selain Dewi, kondisi serupa juga dialami Salwa Paramitha, penyintas bipolar disorder yang mengaku kesulitan melamar pekerjaan karena penyakitnya itu.
Kesulitan lain yang dialami Salwa yaitu sulitnya penyandang kesehatan mental mengakses obat dan layanan pendukung.
“Pertama, treatment dari psikiater. kedua, akses obat murah dan mudah serta pilihan efek samping yang diterima. Kemudian dukungan lainnya adalah psikolog,” ucapnya.
Salwa lantas menceritakan pengalamannya soal sulitnya mengakses obat ketika tinggal di Pulau Obi, Maluku Utara.
Saat itu, obat yang biasa ia minum tidak tersedia di fasilitas kesehatan tingkat satu dan dua.
Obat untuk penyintas kesehatan mental, kata Salwa, hanya tersedia di Ternate yang memerlukan waktu sekitar 10 jam dari Pulau Obi.
Tidak hanya itu, Salwa juga menceritakan pengalamannya saat menjadi pasien di bangsal jiwa, sebuah rumah sakit jiwa di Jakarta. Di sana, ia dikurung di jeruji besi dan ruang isolasi, layaknya orang gila.
"Bahkan, saya pernah disuntik obat penenang tanpa persetujuan saya," kesalnya.
Penuhi HAM bagi Penyandang Disabilitas Mental
Masalah penyandang kesehatan mental juga erat kaitannya dengan akses terhadap kehidupan layak dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Dede menilai, pemasungan sampai perampasan kehidupan adalah pelanggaran HAM.
“Yang masih terjadi, pertama soal pengurungan, pelanggaran privasi kemudian pelanggaran untuk menentukan hak hidup. Tidak ada persetujuan untuk tinggal dimana. Mereka tidak bisa menyampaikan, untuk keluar sekarang. Kemudian, ada juga kekerasan seksual. Jadi menemukan penyiksaan dan harkat martabat manusia. Termasuk isolasi,” katanya kepada PARBOABOA.
Kondisi tersebut yang membuat kesehatan mental dari penyandang disabilitas itu semakin memburuk.
"Bahkan, ada yang tidak layak dihuni manusia," ungkapnya.
Dede juga mengkritisi maraknya praktik non-saintifik yang biasa terjadi di panti kesehatan mental ini, karena sebagian besar menganggap kesehatan mental adalah kutukan.
"Bukan bagaimana mengakses puskesmas untuk dapat obat tapi diruqyah. Enggak ada, kebanyakan pake spiritual kepercayaan. Ada yang memang merasa dia titisan dan cara yang efektif, dengan cara dikerangkeng," jelasnya.
Dede juga tidak menampik pemerintah telah berupaya memenuhi hak masyarakat penyandang kesehatan mental ini. Salah satunya melalui kelompok kerja penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM (POKJA-P5 HAM) bagi Penyandang Disabilitas Mental.
Menanggapi keluhan penyintas disabilitas mental ini, pengacara publik dari Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pratiwi Febry mengingatkan negara untuk turut memastikan hak kesehatan warga negara. Terutama terkait akses penyandang disabilitas mental di luar kota-kota besar di Indonesia.
“YLBHI mendukung. Itu hak konstitusional mereka dari negara, hak asasi mereka. Seperti obat, seringkali obat dan itu tidak dipastikan bagaimana seluruh warga negara mengalami gangguan kejiwaan mendapat akses obat,” imbuhnya.
PARBOABOA berupaya menghubungi Ketua pelaksana harian POKJA P5 HAM, Farida Wahid. Namun sampai berita ini diterbitkan, Farida belum merespons permohonan wawancara yang disampaikan PARBOABOA.