PARBOABOA, Jakarta - Pencabutan sejumlah izin tambang yang diduga dilakukan secara tebang pilih oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), Bahlil Lahadalia kental dengan potensi korupsi politik.
Hal itu diungkap oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam Diskusi Publik bertajuk 'Korupsi Politik dan Gurita Bisnis Bahlil Lahadalia' secara daring, Senin (18/3/2024).
Koordinator JATAM, Melky Nahar mengatakan, dalam Undang-Undang (UU) Minerba yang mengatur pertambangan, celah tindak pidana korupsi masuk lewat beberapa pintu, antara lain melalui tahap perizinan, pengawasan sampai pada urusan penegakan hukum.
Menariknya kata dia, dalam kasus Bahlil, potensi korupsinya dimungkinkan karena ada kewenangan besar yang ia miliki, ditambah dengan adanya gurita bisnis yang bersayap bersama orang-orang terdekatnya.
Membaca secara jeli keluasan kewenangan serta relasi kepentingan Bahlil, "kami kemudian menduga bahwa ini erat kaitannya dengan korupsi politik," kata Melky.
Melky menjelaskan, secara sederhana, korupsi politik terjadi ketika seseorang dengan otoritas kekuasaan politik yang dimilikinya menggunakan kewenangan yang ada untuk memperbesar kekayaan dan mempertahankan kekuasaan.
Efek korupsi politik ini akan jauh lebih dahsyat karena dia dengan mudah mengutak-atik regulasi dan kebijakan sesuai dengan kepentingan.
"Bahkan mereka bisa menyalahgunakan dan mengabaikan regulasi dan UU terkait, dan tentu saja dengan mudah bisa memanipulasi institusi politik dan konstitusi," tegasnya.
Melky menambahkan, dalam kasus Bahlil, modus utama korupsi politiknya ada tiga hal, yaitu terkait dengan jabatan, konteks elektoral dan pembuatan kebijakan.
Bahlil terikat dengan ketiga hal diatas ketika pertama kali ia ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) percepatan investasi pada 2021 lalu.
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2021 Bahlil diberi tugas untuk memastikan realisasi investasi dan menyelesaikan masalah perizinan tambang.
Setahun berselang, Jokowi kembali meneken Keppres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Investasi. Keppres ini kembali mengangkat Bahlil sebagai Ketua Satgas yang salah satu tugasnya mencabut izin tambang, hak guna usaha dan konsesi kawasan hutan.
Lalu di tahun 2023, melalui Keppres Nomor 70, Bahlil diberi kepercayaan mencabut izin tambang, perkebunan, konsesi kawasan hutan serta memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi dan lain-lain.
Melalui sejumlah jabatan di atas, JATAM menilai, Bahlil telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan memangkas izin tambang secara sepihak serta meminta fee bagi mereka yang ingin izin tambangnya diperpanjang.
"Sehingga dari kasus itu saya kira, apa yang terjadi dengan polemik Pak Bahlil dengan urusan tambang tadi memenuhi korupsi politik memenuhi modus utama korupsi politik."
Dalam catatan JATAM sendiri, Satgas yang diketuai Bahlil telah mencabut 1.118 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 15 Izin Pakai Kawasan Hutan (IPKH).
Izin-izin tersebut merupakan bagian dari 192 ISK, 2.078 IUP dan 34.448 hektar HGU perkebunan yang ditelantarkan, yang diumumkan Presiden Jokowi pada Januari 2022 lalu.
Kedekatan Bahlil dengan Jokowi
JATAM juga menilai, besarnya pengaruh Bahlil di sektor pertambangan tidak terlepas dari kedekatannya dengan Presiden Jokowi.
Dalam catatan JATAM, kedekatan keduanya bermula pada pemilu 2019 lalu. Saat itu ia dipercayakan sebagai Direktur Penggalangan Pemilih Muda TKN Jokowi-Ma'ruf.
Merujuk laporan KPU dan LPPDK TKN Jokowi-Maruf, dua perusahaan Bahlil bahkan tercatat sebagai penyumbang dana kampanye pasangan ini pada pemilu 2019.
Dua perusahaan tersebut adalah PT Cendrawasih Artha Teknologi menyumbang dana sebesar 25 miliar dan PT Tribashara Sukses Abadi lebih dari 5 miliar rupiah.
Sebagai seorang yang berlatar belakang pengusaha, Bahlil juga diketahui sebagai pengendali utama PT Bersama Papua Unggul, dengan kepemilikan saham mencapai 90%.
Lini bisnis perusahaan ini salah satunya terkait sektor pertambangan, di mana melalui PT Meta Mineral Pradana (MMP), beroperasi perusahaan tambang nikel dengan dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Saham PT MMP ini dimiliki oleh PT Bersama Papua Unggul sebanyak 90% dan PT Rifa Capital sebanyak 10%.
Dalam dugaan pencabutan izin tambang yang dilakukan secara tebang pilih, Bahlil diduga diskriminatif karena ada beberapa perusahaannya tambangnya yang tidak produktif, namun izinnya tidak dicabut.
Kasus ini mencuat pertama kali dalam liputan investigasi Majalah Tempo berjudul 'Main Upeti Izin Tambang'.
Dalam laporannya, Tempo mengendus, Bahlil mencabut sejumlah izin pertambangan tak produktif milik sejumlah pengusaha, namun pertambangannya sendiri tidak dicabut izinnya meski tak lagi produktif.
Tak hanya itu orang-orang terdekat Bahlil menurut laporan tersebut diduga meminta upeti sebesar Rp5-25 miliar agar izin perusahaannya diaktifkan kembali.
Pihak Bahlil sendiri telah membantah laporan tersebut dan mengklaim apa yang dilakukan Tempo sebagai bentuk penyebaran berita bohong alias hoax.
Staf khusus Bahlil, Tina Talisa mengatakan, produk jurnalistik Tempo sangat tendensius, menyerang personal, tidak mematuhi kode etik jurnalistik serta mengandung informasi yang tidak terverifikasi.
Buntut pemberitaan itulah yang membuat Tempo diadukan ke Dewan Pers oleh Bahlil, Senin (4/3/2024) lalu.
Editor: Gregorius Agung