Kebijakan Efisiensi Anggaran Dinilai Kontraproduktif dan Korbankan Kepentingan Daerah

Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat terbatas bersama sejumlah jajaran Menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Senin (17/02/2025) (Foto: IG/@prabowo).

PARBOABOA, Jakarta Kebijakan efisiensi anggaran yang diusung Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 menuai kritik dari berbagai pihak. 

Direktur Eksekutif KPPOD, Armand Suparman menilai  bahwa kebijakan ini justru bertentangan dengan upaya penguatan reformasi birokrasi dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi daerah.

“Dari catatan kami, efisiensi anggaran justru kontraproduktif terhadap reformasi birokrasi. Pembentukan kabinet dalam format yang sangat gemuk serta beberapa program yang tidak sejalan dengan pasar menjadi faktor yang memperburuk situasi,” ujar Armand dalam diskusi daring, "Retreat Kepala Daerah dan Efisiensi Anggaran: Birokrasi Setengah Hati," Selasa (18/02/2025).

Dalam diskusi yang dihadiri sejumlah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Birokrasi tersebut, KPPOD menyoroti bahwa penerbitan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 dinilai tidak efektif dan bahkan cenderung mengabaikan prinsip otonomi daerah. 

Menurut Armand, pemerintah seharusnya merumuskan kebijakan yang lebih berpihak kepada penguatan daerah, bukan justru mengekang kewenangan yang sudah diberikan kepada daerah.

“Perubahan kebijakan yang mengarah pada pemangkasan anggaran dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal, yang tentu akan berdampak pula pada ekonomi nasional,” tegasnya.

Selain menyoroti dampak efisiensi anggaran terhadap penguatan otonomi daerah, Armand juga mengkritisi ketidakterlibatan daerah dalam proses pengambilan keputusan terkait efisiensi anggaran. 

Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, seharusnya ada keterlibatan daerah dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan keuangan publik.

“Kami mencatat bahwa pemangkasan anggaran diarahkan untuk mendukung program prioritas pemerintah pusat. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin kita mengalihkan alokasi anggaran yang seharusnya menjadi prioritas daerah ke program-program yang ditentukan oleh pemerintah pusat?,” imbuhnya.

Armand bilang, kebijakan semacam ini seharusnya dibahas lebih lanjut bersama DPR untuk memastikan transparansi dan akuntabilitasnya.

Serupa, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Ghaliya Putri Sjafrina, menilai efisiensi anggaran membawa dampak signifikan terhadap alokasi dana di sektor pelayanan publik, khususnya pendidikan dan kesehatan. 

Menurutnya, keputusan pemangkasan anggaran seharusnya dilakukan dengan lebih bijak, mengingat kedua sektor tersebut memiliki peran krusial dalam pembangunan bangsa.

"Keputusan ini tidak sepenuhnya bertujuan meningkatkan kualitas layanan publik, melainkan dialokasikan ke program-program lain yang belum tentu memiliki dampak langsung terhadap masyarakat," kata Almas dalam diskusi yang sama.

Ia bilang bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjadi fokus pemerintah Prabowo. Hal ini selaras dengan janji konstitusional tentang pendidikan gratis.

"Kebijakan efisiensi justru mengurangi porsi anggaran pendidikan, seakan-akan dana yang tersisa hanya dialokasikan untuk program makan bergizi gratis bagi siswa dan ibu hamil."

Lebih lanjut, Almas mengibaratkan pemotongan anggaran pendidikan sebagai aksi "pembegalan" yang terjadi berulang kali. Ia merinci tiga aspek yang menjadi sumber kekhawatiran.

Pertama, soal Penggunaan Anggaran 20% yang Tidak Fokus. Almas bilang, pemerintah memang mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan, tetapi sebagian dana justru digunakan untuk program yang tidak memiliki korelasi langsung dengan layanan pendidikan.

Kedua, Kenaikan Anggaran yang Menyesatkan. Meskipun anggaran pendidikan tampak meningkat dari Rp 665 triliun menjadi Rp 722,6 triliun, namun Almas menyoroti adanya alokasi dana sebesar Rp 71 triliun untuk program MBG. 

"Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kenaikan anggaran benar-benar dialokasikan untuk pendidikan atau hanya sekadar permainan angka," ujarnya.

Ketiga, Efisiensi Anggaran yang Terburu-buru. Kebijakan efisiensi yang dicanangkan Prabowo dinilai terburu-buru dan ambisius. 

Almas menyebut, semangat penghematan anggaran seharusnya berorientasi pada peningkatan pelayanan publik, bukan justru mengalihkan dana untuk program lain yang manfaatnya belum jelas.

"Saya sangat menyayangkan bahwa kebijakan efisiensi ini tidak berangkat dari keinginan untuk memperkuat sektor pendidikan dan kesehatan agar lebih terjangkau. Justru yang terlihat adalah adanya program ambisius yang cenderung dipaksakan," pungkas Almas.

Soal Inpres No. 1 Tahun 2025

Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah tegas dalam efisiensi anggaran negara dengan memangkas belanja kementerian dan lembaga (K/L). 

Kebijakan ini selaras dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025, yang menetapkan pemangkasan anggaran hingga Rp 360 triliun.

Dalam Inpres yang ditandatangani pada Rabu (22/01/2025), disebutkan bahwa dari total penghematan tersebut, Rp 256,1 triliun berasal dari pemotongan belanja kementerian dan lembaga, sementara Rp 50,59 triliun dikurangi dari transfer ke daerah.

Menindaklanjuti kebijakan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Surat Nomor S-37/MK.02/2025 yang menginstruksikan daftar kementerian dan lembaga yang terkena pemangkasan anggaran. 

Surat tersebut dikirim kepada para menteri, Kapolri, Jaksa Agung, pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian, serta pimpinan kesekretariatan lembaga negara.

Langkah efisiensi tersebut tidak berhenti di angka Rp 360 triliun. Prabowo menargetkan bahwa total penghematan bisa mencapai Rp 750 triliun.

"Penghematan yang kita lakukan putaran pertama oleh Kementerian Keuangan disisir dihemat Rp 300 triliun, penghematan putaran kedua Rp 308 triliun, dividen dari BUMN Rp 300 triliun, 100 (triliun) dikembalikan, jadi totalnya kita punya Rp 750 triliun," ungkap Prabowo dalam perayaan HUT Gerindra di Sentul, Sabtu (15/02/2025).

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS