PARBOABOA, Jakarta - Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan bahwa perizinan ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang merupakan greenwashing ala pemerintah.
Greenwashing ini dapat diartikan sebagai aktivitas pemasaran yang dilakukan suatu usaha dengan mengatasnamakan produk ramah lingkungan.
Layaknya suatu usaha itu, Afdillah menilai bahwa pemerintah kembali bermain dengan narasi seakan-akan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan.
“Tetapi nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki,” kata Afdillah dalam keterangannya dikutip Selasa, (30/5/2023).
Ia menuturkan jika kebijakan baru ini mengizinkan kembali penghisapan, pengerukan serta ekspor pasir laut yang dipastikan bakal merusak ekosistem laut Indonesia.
Tak hanya itu, lanjut dia, imbas dari kebijakan tersebut juga akan memicu percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil yang berada di sekitar wilayah penambangan pasir hingga mengakibatkan kontur dasar laut berubah.
“Ditambah lagi kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir sebagai kelompok yang akan terdampak langsung dari perubahan ekologis akibat tambang pasir laut,” ucapnya.
Kebijakan Baru
Pada Senin, 15 Mei 2023 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan sebuah kebijakan baru yang dianggap Afdillah justru berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut secara masif.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 (PP 26/2023) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Ada dua pasal dalam PP 26/2023 tersebut, yaitu Pasal 9 dan Pasal 15.
Dilansir dari greenpeace.org, kedua pasal ini menyebutkan jika pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat digunakan untuk ekspor.
Dengan catatan, sepanjang kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan.
Larangan Ekspor
Pada era kepresidenan Megawati Soekarnoputri tahun 2003, pasir laut dilarang untuk diekspor ke laur Indonesia.
Larangan tersebut terbit melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri; Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim; dan Menteri Industri dan Perdagangan, Rini Soewandi.
Menurut Afdillah, SKB itu dibuat dengan tujuan untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya sejumlah pulau kecil yang berada dekat dengan area penambangan pasir laut di wilayah Kepulauan Riau.
Afdillah berkisah, SKB saja nyatanya tak membuat aktivitas penambangan pasir laut berhenti, salah satunya di wilayah Sulawesi Selatan.
“Demi proyek strategis nasional, berbagai kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi terjadi di Pulau Kodingareng, Makassar,” tuturnya.
Ia menegaskan jika PP 26/2023 itu menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan di sektor kelautan.
Kebijakan Lain
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa tahun ini, pemerintah juga menerbitkan kebijakan lain yang serupa dengan PP 26/2023.
Di mana, ujarnya, pemerintah mengklaim kebijakan ini sebagai langkah untuk mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan.
Adapun kebijakan itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 (PP 11/2023) tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT).
Greenpeace Indonesia serta organisasi masyarakat sipil lainnya menilai bahwa kebijakan tersebut hanyalah akal-akalan pemerintah untuk semakin memperkaya oligarki dan juga meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan.
Editor: Maesa