Napak Tilas Blora bersama Pramoedya Ananta Toer
PARBOABOA - Lokasi berikutnya adalah makam keluarga di Sasana Lalis, Kunden. Dua becak langsung bergerak ke sana. Yang satu, mengangkut Pak Coes dan Rhein, ke pasar cari kembang dulu. Ternyata yang tahu lokasi Pak Coes saja; Pram tidak. Nyasar kami berkali-kali.
Tatkala sedang celingukan, kami berpapasan dengan sekelompok kepala desa yang akan nyekar ke Taman Makam Pahlawan. Semuanya berseragam pegawai negeri. Ternyata beberapa dari mereka langsung mengenali sosok sang novelis besar.
Seketika mereka semua menghampiri Pram yang masih di atas becak. Satu per satu menyalami dengan antusias. Aku yang sebecak dengan Pram kebagian jabat tangan juga. Seru sekaligus lucu.
Setelah mereka berlalu Pram mengatakan dirinya tak habis pikir bagaimana orang-orang itu sampai kenal dirinya. “Heran…kok orang-orang Blora kenal saya juga ya…” ucapnya. Tampak ia sangat menikmati persuaan yang mendadak tersebut.
Setelah berputar-putar dan menanya beberapa orang sampai juga kami ke makam keluarga. Pram menunjukkan ke kami siapa saja yang ada di tempat bernisan itu. Selain Mas Toer dan istrinya, Oemi Saidah, di sana juga berkubur Mbah Satimah alias Gadis Pantai.
Pak Coes dan Rhein datang membawa bunga tabur. Sedikit saja kembang itu. Sulit menemukan penjualnya dan yang sedikit itu pun mahal, kata mereka.
Dari makam kami bersiap kembali ke rumah di Jln. Sumbawa 40. Beberapa menit setelah becak bergerak Pram menunjukkan ke aku bekas rumah Gadis Pantai. Di sanalah perempuan yang menderita itu menghabiskan masa hidupnya dalam kemiskinan, ucap dia.
Sudah siang waktu kami tiba di rumah keluarga Toer. Badan ini rasanya letih betul. Wajar, jalan ke beberapa lokasi sekaligus secara maraton. Sesuai anjuran Pak Coes, tukang becak kami bayar Rp15.000 per orang. Mereka ternyata senang. Terima kasih mereka ucapkan beberapa kali.
Setelah rehat sebentar kami berempat rapat kilat. Hasilnya; aku dan Has akan membujuk Pram agar mau datang ke SMPN 5 sementara Rhein dan Amang akan ke sekolah itu.
Di sana mereka akan mencari guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Tujuannya minta izin pengambilan gambar serta menjajaki kemungkinan Pram berdialog dengan para siswa di kelas besok.
Kami berencana makan siang di warung rawon Bu Soeripan. Rhein dan Amang akan menyusul sebab mereka akan langsung ke SMPN 5. Naik dua becak, kami bertiga (dengan Pak Coes) bergerak ke warung rawon. Sedang bersantap kami waktu kedua anggota tim bergabung.
Rhein laporan. Mereka sudah bertemu dengan guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Dia menyambut hangat rencana kami. Ia bilang secara pribadi dirinya sangat setuju karena itu kesempatan maha langka buat sekolah mereka.
Tapi ia tak berani mengambil keputusan. Ia sarankan agar berbicara langsung ke kepala sekolah. Ia sendiri ragu permintaan kami akan diluluskan.
“Tapi cobalah,” ucapnya.
Kepala sekoIah ternyata sudah tak ada di sana. Ke mana ia pergi tak ada yang tahu pasti. Rhein bilang mereka akan datang lagi besok pagi untuk menemui kepala sekolah.
Makan siang yang enak itu biayanya hanya Rp50.000. Nasi rawon kami pesan untuk Pram. Biar perut sudah kenyang perlu juga diisi dengan buah. Kami menapak mencari tukang buah. Penjual rambutan kami lihat.
Buah ini kami beli dua kilo dengan harga Rp10.000. Kami pulang jalan kaki sambil ngobrol. Di rumah rehat sebentar. Aku mulai merasa tak enak badan.
Pukul 14.00 sesi wawancara mulai lagi. Narasumbernya Pak Coes lagi. Tempatnya di rumah inti. Dalam interview hingga lepas maghrib ini banyak informasi menarik yang kami dapat. Kami putuskan untuk mengakhiri kerja hari ini.
Di luar hujan deras mengguyur. Kembali kami ke rumah samping. Di sana kami ngobrol santai dengan Pram sambil ngopi.
Kami bertanya ke Pak Coes di mana sebaiknya mengisi perut malam ini. Ia usul di sebuah warung sate tersohor di bilangan Jetis saja. “Di sana banyak juga tanaman termasuk anggrek,” kata dia.
Kami setuju. Ternyata warung laris ini sudah hampir kehabisan makanan. Sate masih ada kami pesan nasi dan sate saja.
Setelah kenyang kami pulang. Di rumah kami berempat rapat kilat. Intinya, kami akan berusaha sebisanya agar Pram bisa berdialog dengan para siswa di kelas besok. Kali ini kami tidur lebih awal karena pekerjaan berat menanti esok.
Kamis, 11 Desember 2003
Kami bangun lebih cepat karena Rhein dan Amang akan selekasnya ke sekolah. Mandi dan sarapan serba kilat. Pukul 07.45 keduanya berangkat. Aku dan Has bertugas melobi Pak Coes dan Pram.
Tak sulit bagi kami menjelaskan rencana ke Pak Coes karena orangnya memang kooperatif. Yang berat adalah menghadapi Pram. Sengaja kami tak memberitahu rencana ke dia kemarin.
Rhein dan Amang muncul. Wajah keduanya berseri. Mereka bercerita. Hari ini ternyata kepala sekolah tak masuk sebab rapat di balai kota soal ulang tahun Blora. Anggota tim kami ini lantas mencari guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Persuasi tujuannya. Ternyata berhasil.
Guru itu mengajak Rhein dan Amang bertemu wakil kepala sekolah. Saat bermuka-muka bertiga mereka meyakinkan orang nomor dua itu. Ternyata permintaan diluluskan. Tergopoh-gopoh Rhein dan Amang pulang untuk memberitahu kami.
Sekarang tugasku dan Has meyakinkan Pram. Saat itu sang sastrawan tengah bermandi peluh di ladang belakang. Aku menyampaikan maksud. Awalnya ia menolak dengan alasan sudah malas ke sekolah itu. Kayu jati yang hilang kembali ia soal.
“Juga kemarin kan kita sudah ke sana,” katanya.
Kembali kami membujuk. Has bilang Pram nanti akan berdialog dengan murid-murid saja di kelas.
“Murid-murid itu sangat ingin bertemu dengan Bung. Betul! Angkatan muda itu sudah menunggu,” Has meyakinkan.
Pram bertanya apa benar demikian. Spontan aku menjawab, “Benar!”
Wajahnya berubah menjadi riang. Setengah berteriak ia kemudian minta Pak Coes membeli minyak kemiri untuk disapukan ke rambut. Ah, dia memang hirau kaum muda.
Pram selesai berkemas. Rapi, penampilannya persis seperti waktu napak tilas kemarin. Bedanya kali ini ia memakai minyak urang-aring sebab minyak kemiri tak ada. Kami ke sekolah naik becak. Formasi di tiga becak ya seperti kemarin.
Di luar dugaan kami SMP Negeri 5 lebih serius mempersiapkan acara. Murid dari dua kelas digabung di sebuah ruangan besar. Tampaknya ruangan itu aula.
Kamera dan alat perekam kami siapkan dengan memperhatikan situasi ruangan. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia memberi sambutan pembukaan. Jelas ia menjadi host (tuan rumah). Sejumlah guru juga hadir.
Pram dan Pak Coes duduk di meja guru. Dialog berlangsung penuh gairah. Awalnya murid-murid saja yang bertanya. Sebagian dari mereka tampak membaca pertanyaan. Tak jelas bagi kami apakah mereka sendiri yang menyusun pertanyaan itu atau guru.
Pram memperlakukan anak-anak SMP itu layaknya orang dewasa sehingga dia tak mendikte atau menggurui. Emosinya bisa naik kalau pertanyaan itu menggugat sengit. Lucu juga jika mengingat para remaja sebenarnya yang sedang ia hadapi.
Pak Coes rajin menjelaskan ini dan itu. Kami tersenyum-senyum saja melihat adegan penuh gairah ini. Belakangan para guru pun turut bertanya termasuk guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Dialog yang hidup ini berlangsung sekitar dua jam.
Selesai acara Pram masih tampak bersemangat. Aku belikan dia dua bungkus rokok favoritnya. Ke kami berkali-kali ia menyatakan keheranannya sebab anak-anak sekolah Blora ternyata mengikuti perjalanan hidup serta karya-karyanya. Terang, senang betul dia.
Aku menimpali dengan ucapan, “Tak salah kan kita ke sini. Coba kalau tidak.” Jawaban dia? “Mmm…” Artinya, dia mengamini.
Bersambung...
Reporter: Rin Hindryati dan Hasudungan Sirait
Editor: Rin Hindrayati