PARBOABOA – Awal Mei 2024, Hamas menyetujui proposal gencatan senjata di Gaza Palestina setelah tujuh bulan peperangan berlangsung. Proposal gencatan senjata itu diajukan oleh mediator Qatar dan Mesir.
Namun, Israel justru menolak proposal gencatan senjata tersebut dan masih terus melakukan serangan.
Terbaru, kelompok Hamas kini menolak proposal baru terkait kesepakatan gencatan senjata dengan Israel di Jalur Gaza.
Dalam sebuah wawancara, Osama Hamdan salah seorang pejabat Hamas mengatakan syarat yang paling penting dan mendesak saat ini adalah penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza.
Selain itu, Israel juga harus menghentikan semua agresi secepatnya. “Kami tidak perlu negosiasi baru,” tegas Osama Hamdan, dilansir dari Al Jazeera, Senin (27/05/2024).
Menurut Osama Hamdan, tidak ada jaminan Israel akan menerima proposal baru untuk melakukan negosiasi. Jika tidak ada jaminan yang serius, berarti hanya akan memberikan Israel lebih banyak waktu untuk melanjutkan serangannya.
Menanggapi hal ini, kelompok Hamas menegaskan bahwa mereka tidak bersedia menerima gencatan senjata yang bersifat sementara.
Kelompok Hamas mendesak akhir pertempuran di Jalur Gaza harus bersifat permanen.
Para pejabat yang terlibat dalam perundingan mengatakan Israel akan kembali melanjutkan pembicaraan soal kesepakatan pembebasan sandera di Jalur Gaza dalam beberapa hari mendatang.
Kepala Intelijen Israel, David Barnea dikatakan sudah menyetujui kerangka baru soal negosiasi yang sebelumnya sempat terhenti dengan mediator.
Tawaran kesepakatan baru ini dirancang oleh tim perunding Israel. Isi kesepakatan baru ini kemungkinan adalah solusi poin-poin ketidaksepakatan dalam diskusi sebelumnya.
Sementara itu, sampai kini Israel masih terus menyerang secara brutal kamp pengungsi di Rafah. Serangan ini menyebabkan banyak anak-anak terbakar hidup-hidup.
Organisasi bantuan internasional, ActionAid UK melaporkan serangan yang dilakukan oleh Israel ini memakan korban mencapai 50 orang anak-anak.
“Anak perempuan dan laki-laki terbakar hidup-hidup di bawah tenda tempat berlindung mereka,” laporan ActionAid UK, dilansir dari laman PressTV.
Menurut ActionAid UK, tenda tempat penampungan itu seharusnya menjadi lokasi berlindung yang aman bagi warga sipil dan anak-anak yang tidak bersalah.
Namun, sekarang mereka justru menjadi korban serangan brutal dari Israel.
Diketahui, Israel melakukan serangan secara brutal beberapa kamp pengungsian di wilayah barat laut Jalur Gaza. Pasukan IDF (Israel Defence Forces) menembakkan delapan rudal ke wilayah itu.
Sejumlah komunitas internasional mengecam tindakan itu. Mereka mendesak Israel segera menghentikan serangan dan mematuhi aturan hukum internasional.
Salah satu negara yang mulai terusik dengan apa yang baru terjadi di Rafah adalah Mesir. Kementerian Luar Negeri Mesir mengutuk dan menyebut serangan Israel sebagai pelanggaran baru yang nyata terhadap ketentuan hukum humaniter internasional.
Pihak Kementerian Luar Negeri Mesir juga menyesalkan kebijakan sistematis Israel yang dianggap menambah jumlah korban tewas dan kehancuran di Jalur Gaza.
Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan agar Israel menerapkan tindakan yang diminta oleh Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai menghentikan segera operasi militer di Rafah, Palestina.
Selama ini, Mesir khawatir jika pengungsi di Rafah menyeberang dan memasuki negara itu. Mesir berulang kali mengingatkan agar Israel berhenti menyerang dan tidak melewati batas.
Juru bicara Kementerian Kesehatan di Gaza menyatakan korban tewas dan luka akibat serangan Israel mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
Serangan udara Israel terus berlangsung saat agresi militer mereka di Gaza terjadi sejak Oktober 2023.
Sampai saat ini, total korban tewas imbas agresi Israel di Palestina telah mencapai lebih dari 35 ribu jiwa.