PARBOABOA, Jakarta - Perang dingin antara PDIP dengan Jokowi seakan tak berakhir. Bahkan, drama perseteruan ini semakin terbuka di publik.
Bagaimana tidak, belum lama ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, secara terang-terangan menjelaskan jika Jokowi sempat menugasi seorang menteri untuk membujuk Megawati turun dari singgasananya sebagai Ketua Umum DPP PDIP.
Menurut Hasto, bujukan itu bermaksud agar Jokowi bisa memimpin PDIP ke depannya.
Hal tersebut dilontarkan Hasto dalam forum Bedah Buku "NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971" karya Ken Ward (1972) yang berlangsung di Bakoel Kopi, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024).
Ia memulai serangannya terhadap Jokowi dengan bercerita bahwa kejadian tersebut terjadi jauh beberapa bulan sebelum Pemilu.
Jokowi pernah memberi mandat kepada seorang menteri yang powerful untuk bertemu Pakar Otonomi Daerah Ryaas Rasyid.
Ryaas kemudian mendapat misi dari menteri tersebut untuk merayu Megawati supaya memberikan singgasananya kepada Jokowi.
Hasto membeberkan hal tersebut saat menyinggung Jokowi sedang mencari kendaraan politik usai tak lagi menjabat.
"Jadi, dalam rangka kendaraan politik. Untuk 21 tahun ke depan," tuturnya.
Hasto kemudian mengakui bahwa sudah banyak saksi lainnya juga menyampaikan hal serupa. Bahkan, Hasto menuduh Jokowi juga akan menjadikan Golkar sebagai kendaraan politik saat ini.
Ia menjelaskan, sekarang ada gagasan tentang soal koalisi besar permanen seperti ada barisan nasional. "Rencana pengambilalihan partai Golkar dan PDIP," katanya.
Untuk itu, rencana-rencana seperti itu harus diperhatikan dan diwaspadai lantaran terjadi akibat saripati kecurangan dalam sejumlah pemilu.
Merespon pernyataan Hasto tersebut, Jokowi meminta kolega satu partainya tersebut untuk tidak melakukan penuduhan tanpa dasar.
Jokowi juga sangat menyayangkan pernyataan dengan serangan Hasto tersebut. "Jangan seperti itu!" kata Jokowi, Rabu (3/4/2024).
Lantas, dia balik bertanya pada Hasto soal tuduhan tersebut. Mengapa sekarang yang dituduhkan itu soal perebutan kursi ketua umum PDIP, bukankah sebelumnya yang dituding itu hendak merebut Golkar.
"Katanya Golkar, kok sekarang PDIP," kata dia. Jokowi pun mengakui, jika tudingan seperti itu bukanlah yang pertama kali dialami. Beragam tuduhan serupa sudah pernah ditujukan kepadanya.
"Katanya mau merebut Golkar, katanya mau merebut, masa semua mau direbut, semuanya? Jangan seperti itu!" tandasnya.
Beragam Tanggapan
Rupanya, akrobat politik Hasto ini tidak memikat hati Puan Maharani. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP itu bersikap dingin saat dimintai komentarnya terkait cerita di balik panggung politik yang disingkap Hasto itu.
Hal tersebut, Puan perlihatkan saat konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Puan hanya diam dan menggelengkan kepala. Tak satu kata pun yang keluar dari bibir Puan.
Walau demikian, geleng-geleng kepala Puan tidak bisa diartikan sebagai jawaban pasti darinya.
Berbeda dengan itu, pengamat politik dari Universitas Nasional, Selamat Ginting, menjelaskan apa yang diutarakan Hasto sejatinya bukanlah wacana yang baru menguap.
Rumor tersebut, kata Ginting, sudah pernah tersingkap dari jauh hari. Sekitar satu tahun yang lalu, ketika ada rencana jika Ganjar jadi presiden dengan sokongan utamanya PDIP dan Jokowi.
Rencananya pada kongres PDIP 2025, Jokowi akan diplot sebagai Ketum PDIP menggantikan Megawati yang sudah menjadi Ketum PDIP sejak masih era PDI atau sejak 32 tahun.
"Namun seiring berjalannya waktu, antara rumor dan kenyataan politik yang terjadi justru berbeda," kata Ginting kepada PARBOABOA, Jumat (5/4/2024).
Lebih lanjut, Ginting menjelaskan bahwa Ganjar Pranowo memang dicapreskan oleh PDIP. Tetapi pada kenyataannya, pencalonan itu tak mendapatkan dukungan dari Jokowi yang kemudian berada di kubu Prabowo Subianto.
"Kondisi inilah yang menutup peluang Jokowi untuk menjadi Ketum PDIP. Apalagi keakraban Jokowi dan Megawati sudah di ujung kehancuran," kata Ginting.
Dalam perspektif komunikasi politik, tambah Ginting, relasi Jokowi dan Megawati sudah mulai ambruk sejak pengumuman Ganjar sebagai capres PDIP, (21/4/2023).
Publikasi pencapresan Ganjar saat itu, terkesan buru-buru. Jokowi yang saat itu sudah berada di Solo, Jawa Tengah, harus bergegas kembali ke Bogor, tempat deklarasi Ganjar di Istana Batutulis.
"Ini tanpa melalui komunikasi politik dengan Jokowi, di sinilah kemudian pecah kongsinya mulai terjadi," papar Ginting.
Apalagi, ungkap Ginting, Jokowi lebih menginginkan adanya duet pasangan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Ganjar sebagai calon wakil presidennya.
Jokowi beralasan, Prabowo sudah lebih dikenal daripada Ganjar Pranowo, karena dua kali berkontestasi dalam pilpres bertarung dengan Jokowi. "Ditambah sebagai calon wakil Presiden dari Megawati pada tahun 2009," kata Ginting.
Karena itu, Ginting pun merasa apa yang terlontar dari mulut Hasto tersebut bisa diterima akal sehat.
Berbeda dengan itu, Ketua Formmapi, Lucius Karus, justru meyakini, walau masih ber-KTA PDIP, tetapi Jokowi nampak sudah memilih jalan yang berbeda dari PDIP.
Beda jalan ini berawal dari keputusan Jokowi yang tidak mendukung calon presiden dan wakil presiden yang diusung PDIP di Pemilu 2024.
Menurut Lucius, bagi Jokowi menjadi sulit untuk dibayangkan mempunyai peluang memimpin PDIP karena hampir semua elit PDIP tersakiti oleh pilihan politik Jokowi yang tak tegak lurus dengan Megawati.
"Walau dalam praktik politik kita (Indonesia) yang cenderung pragmatis, jelas," Lucius, "selalu saja berpeluang ada kader PDIP yang mau-mau saja menjadi 'kaki tangan' Jokowi jika ada peluang memimpin PDIP itu," ungkap Lucius kepada PARBOABOA, Jumat (5/04/2024).
Lebih lanjut, Lucius menjelaskan, jika hal itu pun mungkin terjadi, tentu tidak bisa terealisasi dalam waktu yang dekat. Butuh waktu untuk membangun konsolidasi jika peluang Jokowi terbuka untuk memimpin PDIP.
Kondisi tersebut tentu bukan kabar baik bagi Jokowi, apalagi tidak lama lagi, tongkat kekuasaan akan berpindah tangan.
“Karena itu, bagi kader PDIP, Jokowi menjadi tak menarik lagi, bahkan mereka yang mungkin sangat pragmatis di PDIP itu," tandasnya.
Editor: Norben Syukur