Hidup Serumah dengan Sastrawan Utama

Sewaktu masih di Bojong Gede, Rin dan Has mengamati Pram menekan karyanya. (Foto: Rheinhardt Sirait)

Napak Tilas Blora bersama Pramoedya Ananta Toer (Bagian 3)

PARBOABOA - Hari sudah gelap. Pengambilan gambar tak bisa lagi. Pram yang sejak awal menyoal mengapa kami ‘pake nginap di hotel segala’ menawarkan agar kami gabung dengan dia di sana, tak perlu menginap di hotel.

“Tapi di sini serba apa adanya aja,” ucapnya.

Pak Coes sangat mendukung. “Kalian kan perlu merekam kehidupan Mas Pram yang serba alami di rumah orang-tuanya.”

Sebagai catatan, saat wawancara di Bojong Gede, Bogor, memang beberapa kali Pram menawari kami untuk menginap sebab sudah malam atau sedang hujan deras.

Kamar tamu tersedia dan jarang dipakai, kata dia. Tawarannya tak sekali pun kami terima karena kami merasa tanggung atau tak punya waktu sebab pekerjaan lain menunggu.

Tawaran kali ini sungguh menggiurkan. Siapa yang sudi melewatkan kesempatan yang sangat langka seperti itu? Bukan di Bojong Gede melainkan di rumah Blora, kediaman yang sangat ia cintai sehingga menjadi latar dari beberapa karyanya.

Bagi kami, ini pucuk dicita ulam pun tiba. Kami katakan akan menginap di sana mulai besok.

“Mengapa tak mulai malam ini saja?” Pak Coes berkata.

Kami jawab: Check out-nya sudah tanggung. Kami minta diri dengan janji akan bergabung mulai besok. Pram tersenyum.

Pak Coes kami ajak makan malam di Koplakan. Kami tanya Pram mau dibeli makanan apa. “Terserah,” itu jawabnya.

Kami mengobrol banyak hal dengan Pak Coes saat jalan kaki. Selama bersantap pun demikian. Malam sudah larut. Kami memesan makanan untuk Pram sebelum berpisah dengan doktor ekonomi lulusan Moskow, Rusia.

Kami membeli beberapa ikat rambutan di warung sebelah untuk diganyang saat menjelajah kota. Ternyata sontak hujan lebat. Niat keluyuran kami batalkan.

Akhirnya kami kembali ke penginapan dengan naik becak. Di kamar, hasil rekaman kami periksa. Mulus. Selanjutnya rapat kilat kami langsungkan untuk menetapkan langkah esok.

Selasa, 9 Desember 2003

Aku bangun pukul 07.00. Di luar hujan lebat; tampaknya terusan dari yang semalam. Pukul 09.00 kami sarapan di hotel sembari membahas pembagian tugas. Aku dan Has akan belanja barang-barang keperluan selama tinggal di Jl. Sumbawa 40 nanti, sedangkan Rhein dan Amang langsung ke sana. Setelah berkemas kami check-out.

Berdamai dengan diri sendiri agar terus bisa menulis. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Aku dan Has naik becak ke sebuah toko kelontong besar. Gula, kopi, roti, mentega, selai, kue-kue, mi instan, dan telor kami beli. Setelah itu kami bergerak ke Jl. Sumbawa naik becak.

Di rumah inti keluarga Toer kembali kami melihat Pak Walujadi menatap kosong dari jendela. Kemarin Pram mengatakan ke kami adiknya itu tak beres otaknya. Penulis besar itu juga berkeluh-kesah karena ia dan orang lain tak diizinkan sang adik ke rumah inti.

Kami menyapa. Lamunan Pak Walujadi buyar. “Morning… where are you from… are you journalist?” ucapnya. Ia bertanya apa yang sedang kami kerjakan—apakah sedang memfilmkan Pram. Ia memang melihat dari jendela selama kami mengambil gambar Pram dan sekeliling rumah mereka kemarin.

Kami menjawab dalam bahasa Indonesia tapi ia tetap menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya kami berbicara Inggris pula. Ternyata nyambung. Bahasa Inggris dia tertib dan lancar.

Pak Walujadi yang sedari kemarin berkemeja dan berpantalon rapi pagi ini ramah dan hangat. Rhein bercerita bahwa sebelum aku dan Has tiba mereka telah berkenalan. Seketika muncul ide. Mengapa tak mewawancarai dia mumpung mood-nya sedang baik? Seingatku ide ini dari Has.

Ketika gagasan ini kami utarakan ke Pram dan Pak Coes, tawa mereka berderai. Kembali mereka mengingatkan ketakberesan otak Pak Walujadi. Kami katakan tak apa dan lagi pula tadi obrolan kami nyambung. Setidaknya kami akan berkesempatan mengambil gambar ruang dalam rumah inti nanti. Keduanya langsung mengerti.

“Silakan,” kata Pram.

Kami menghampiri Pak Walujadi yang masih di jendela. Has menyapa dalam bahasa Inggris dan mengutarakan niat kami. Dia awalnya enggan dan menyarankan agar Pram saja yang diwawancarai toh dia yang orang penting.

While I’m nobody… only a former translator in Russian Embassy,” [Kan saya bukan siapa-siapa… hanya bekas penerjemah di Kedutaan Russia] katanya.

Acara di Blora pada 2018. (Foto: kiriman Astuti Toer)

Kami jelaskan bahwa kami akan mewawancarai juga adik-adik Pram yang ada di Blora termasuk Bu Oemi dan Pak Coes. Dia akhirnya mau di-interview. Kami usulkan di dalam rumah inti saja agar kami bisa mengambil gambar latar. Keadaan rumah berantakan, ucap dia. Kami jawab: tak apa. la setuju.

Setting wawancara kami siapkan. Sungguh benar ucapan dia: rumah itu laksana sudah lama sekali tak berpenghuni. Listriknya tak menyala. Pencahayaan hanya mengandalkan jendela. Pantas kedua jendela yang di dinding kanan senantiasa terbuka kecuali malam. Sarang laba-laba bergelantungan di mana-mana, dari ruang depan hingga dapur.

Kecuali sepasang kursi tua, tak ada perabotan di ruang tamu. Dua kamar berbatas dengan ruang tamu. Bilik yang di sebelah kanan kosong melompong, sedang yang di kiri dihuni Pak Walujadi. Tempat tidur besi zaman dulu, sebuah lemari kayu, dan sebuah meja kecil jati yang bagian atasnya marmer putih bulat, menjadi pengisi kamar kiri ini.

Hup… di sudut kiri yang berdekatan dengan meja tampak pemandangan yang luar bisa. Sebuah rumah rayap bertinggi hampir satu meter tegak di sana. Seperti tumpeng hitam bentuknya. Bagian bawahnya sudah mencapai kaki meja. Kalau saja bukan jati niscaya sudah lama habis kaki meja itu.

Di dapur yang sudah lama tak berfungsi, sebuah rumah rayap serupa juga tegak. Seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan sarang rayap segigantik yang di rumah ini.

Bersambung...

Reporter: Rin Hindryati dan Hasudungan Sirait

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS