Holocaust: Sejarah yang Selalu Dikaitkan dengan Konflik Israel-Palestina

Dr. Fritz Klein, mantan dokter kamp yang melakukan eksperimen medis terhadap para tahanan, berdiri di tengah tumpukan mayat dalam kuburan massal. (Foto: Holocaust Encyclopedia)

PARBOABOA – Setiap kali ada pembahasan mengenai konflik Israel-Palestina, selalu ada kaitan dengan Holocaust.

Holocaust merupakan salah satu catatan sejarah terkejam di dunia yang dialami oleh warga Yahudi di Jerman.

Dilansir dari laman Holocaust Encyclopedia, Rabu (19/06/2024) holocaust merupakan penganiayaan dan pembantaian sistematis yang disokong negara terhadap enam juta orang Yahudi Eropa oleh rezim Nazi Jerman, sekutu serta kaki tangannya.

United States Holocaust Memorial Museum menetapkan periode tahun 1933 sampai 1945 sebagai tahun kejadian Holocaust.

Holocaust dimulai sejak tahun 1933 ketika Adolf Hitler dan Partai Nazi memimpin kekuasaan di Jerman. Holocaust sendiri berakhir pada tahun 1945 ketika sekutu mengalahkan Nazi Jerman dalam perang Dunia ke II.

Diketahui, Partai Nazi adalah gerakan politik antisemitisme. Ketika berkuasa di Jerman, Partai Nazi menggunakan pemerintah untuk menyasar dan menyingkirkan orang Yahudi dari masyarakat Jerman.

Di antara tindakan anti semitisme lainnya, Partai Nazi Jerman memberlakukan Undang-Undang diskriminatif dan kekerasan terorganisasi yang menargetkan kaum Yahudi Jerman.

Rezim Partai Nazi ini menggunakan berbagai cara dan tindakan lainnya untuk menekan orang Yahudi Jerman agar bermigrasi.

Dalam catatan sejarah, pada akhir tahun 1930, Partai Nazi menyebarkan kebijakan antisemitismenya ke luar wilayah Jerman melalui kebijakan luar negeri dan perluasan wilayah dengan cara yang agresif.

Selama Perang Dunia II atau sekitar tahun 1939-1945, Partai Nazi Jerman semakin memperluas kekuasaannya atas Eropa dengan cara menaklukkan negara-negara lain, membentuk aliansi dengan pemerintah negara lain hingga menciptakan beberapa negara boneka.

Tahun 1942, Partai Nazi Jerman telah menguasai sebagian besar wilayah benua Eropa dan sebagian wilayah Afrika Utara.

Selama Perang Dunia II, perilaku Partai Nazi terhadap orang Yahudi Eropa semakin kejam. Awalnya penganiayaan berubah menjadi pembantaian massal.

Ketika Jerman menginvasi Polandia pada September 1939, Partai Nazi memperlakukan penduduk sipil dengan sangat brutal, khususnya terhadap populasi Yahudi yang besar.

Otoritas Jerman mendirikan ghetto untuk mengisolasi dan memiskinkan warga Yahudi di Polandia. Ghetto merupakan bagian kota yang padat dan tidak sehat. Di mana orang Yahudi dipaksa tinggal.

Kehidupan di ghetto diwarnai dengan kelaparan, penyakit dan kekerasan yang sewenang-wenang. Ghetto serupa juga didirikan di wilayah pendudukan lainnya di Eropa Timur dan Hungaria. Ratusan ribu orang Yahudi tewas di ghetto antara tahun 1939 sampai 1945.

Pada tahun 1941, para pemimpin Nazi memutuskan untuk melakukan pembantaian massal terhadap orang Yahudi Eropa. Peristiwa ini dinamakan “Solusi Akhir untuk Persoalan Yahudi.”

Keputusan ini diambil dalam konteks serangan Jerman ke Uni Soviet pada Juni 1941. Di wilayah pendudukan di Eropa Timur, unit-unit pasukan Jerman melakukan penembakan massal terhadap orang Yahudi setempat, membantai seluruh komunitas Yahudi.

Selain penembakan, mereka juga menggunakan mobil van gas yang dirancang khusus untuk membunuh orang Yahudi. Sebanyak dua juta laki-laki, perempuan dan anak-anak Yahudi tewas dalam pembantaian ini.

Beberapa kamp pembantaian didirikan di wilayah pendudukan Polandia di tahun 1942. Beberapa kamp ini seperti Chelmno, Belzec, Sobibor, Treblinka, Auschwitz-Birkenau dan Majdanek yang dirancang untuk melakukan genosida.

Mayoritas korban kamp pembantaian adalah orang Yahudi dengan perkiraan yang tewas sebanyak 3,5 juta orang, sebagai bagian dari kebijakan “Solusi Akhir.” Diketahui, selain Yahudi, korban lainnya termasuk orang Roma (gipsi) dan tawanan perang Soviet.

Sekitar tahun 1941 dan 1942, Partai Nazi Jerman membangun lima pusat pembantaian di Polandia. Dengan bantuan sekutu dan kaki tangan Nazi, otoritas Jerman mengangkat orang Yahudi dari seluruh Eropa ke beberapa pusat pembantaian ini.

Sebagian kecil dari mereka dipilih untuk kerja paksa, sedangkan sebagian besar dibunuh seketika di kamar gas atau van.

Hampir 2,7 juta laki-laki, perempuan dan anak-anak Yahudi tewas di lima pusat pembantaian ini.

Banyak orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Holocaust dan “Solusi Akhir” ini. Adolf Hitler adalah orang yang mengilhami, memerintahkan, menyetujui dan mendukung genosida terhadap orang Yahudi Eropa.

Namun, Hitler tidak bertindak sendiri. Para pemimpin Nazi lainnya, secara langsung mengkoordinasikan, merencanakan dan melaksanakan Holocaust dengan bantuan banyak institusi, organisasi dan individu Jerman.

Mereka juga mengandalkan bantuan sekutu mereka di beberapa negara Poros dan kaki tangan di wilayah pendudukan. Tanpa keterlibatan jutaan orang Eropa, Holocaust tidak akan mungkin terjadi.

Holocaust secara khusus mengacu pada penganiayaan dan pembantaian sistematis yang disokong oleh negara terhadap enam juta orang Yahudi.

Namun, ada jutaan korban penganiayaan dan pembantaian Nazi lainnya dalam periode yang sama.

Selain orang Yahudi, Nazi menganiaya kelompok lain yang dipandang sebagai ancaman, termasuk lawan politik, Saksi-Saksi Yehuwa, laki-laki yang dituduh homoseksual, orang antisosial, orang yang dituduh sebagai penjahat profesional atau residivis, Afro-Jerman, penyandang disabilitas dan orang Roma (gipsi).

Selama Perang Dunia II, rezim Nazi melakukan pembantaian massal terhadap masyarakat yang ada dalam beberapa kelompok ini.

Perang Dunia II dan Holocaust berakhir di Eripa pada Mei 1945, ketika Pasukan Sekutu mengalahkan Nazi Jerman.

Meskipun rezim Nazi berusaha membantai semua orang Yahudi Eropa, sejumlah orang Yahudi selamat dari Holocaust.

Saat Pasukan Sekutu bergerak melintasi Eropa, mereka membebaskan orang-orang Yahudi dari kendali Nazi.

Kelangsungan hidup mereka hanya mungkin terjadi karena keadaan luar biasa, pilihan individu, bantuan dari orang lain dan keberuntungan.

Setelah perang, banyak penyintas Holocaust masih menghadapi ancaman anti semitisme dan kekerasan saat mereka mencoba membangun kehidupan baru.

Mereka yang tidak dapat atau tidak mau kembali ke rumah pra-perang terpaksa tinggal di beberapa kamp pengungsi.

Di sana, banyak yang harus menunggu bertahun-tahun sebelum mereka dapat bermigrasi dan mulai membangun kehidupan mereka kembali.

Editor: Fika
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS