PARBOABOA, Jakarta - Ancaman cyberwar mempengaruhi kedaulatan negara, terutama Indonesia yang berada di tengah pengaruh global Amerika Serikat (AS) dan China.
Hal itu dibahas dalam diskusi bertajuk 'Apa Visi ke Depan? Pertahanan Negara, Kedaulatan Bangsa', yang diselenggarakan Universitas Paramadina, pada Selasa (30/1/2024).
Prof Dr Imron Cotan, seorang Diplomat sekaligus Pengamat Pertahanan, menekankan bahwa cyberwar kini menjadi 'matra baru' dalam pertahanan, sejajar dengan matra konvensional seperti darat, laut, dan udara.
Fakta bahwa beberapa negara maju telah membentuk 'Angkatan' cyber, termasuk China, menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki agenda khusus di negara-negara berkembang sebagai bagian dari upaya demokratisasi global dan pembangunan check and balances, termasuk di Indonesia.
Hal itu kata dia demi menghindari ancaman serius yang mungkin muncul jika negara-negara seperti Kuba, Korea Utara, atau China dikendalikan oleh satu kekuatan dominan.
Sementara itu, China dengan agenda otokratismenya, menyoroti isu-isu perdagangan dan regionalisme, terutama di kawasan bermasalah seperti Laut China Selatan, yang juga melibatkan Indonesia.
Prof. Cotan menambahkan, baik AS maupun China memiliki kepentingan bersama dengan Indonesia dalam menciptakan masyarakat yang sekuler dan liberal, didorong oleh kekhawatiran atas kemungkinan Indonesia menjadi negara fundamentalis Islam.
AS, menurutnya, berupaya membangun pranata yang mendukung liberalisasi dan sekulerisasi, strategi yang telah berhasil di Jepang dan Korea Selatan.
China, di sisi lain, dianggap berhasil memperluas pengaruhnya melalui isu otokratisme dan perdagangan di Asia Pasifik dan Asia Selatan, serta dengan gagasan Belt and Road Initiative (BRI) di Asia Tenggara.
Namun, menurut Imron, bahaya terbesar bagi Indonesia terletak pada mesin propaganda yang dimiliki oleh kedua negara tersebut, dengan AS menggunakan Google dan China menggunakan Baidu, serta kemampuan 'angkatan' cyber mereka.
Serangan cyber yang kerap terjadi, berasal dari kedua negara ini, menunjukkan bahaya nyata.
Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa populasi Indonesia, yang mayoritas berpendidikan dasar, memiliki daya tahan yang lemah terhadap serangan-serangan cyber, mengingat keterbatasan dalam daya saring dan kritis mereka.
Menurutnya hal ini menjadi perhatian serius mengingat potensi pengaruh luas dari propaganda dan serangan cyber terhadap masa depan Indonesia.