PARBOABOA, Jakarta - Perlindungan hak asasi manusia (HAM) di lingkungan bisnis menjadi salah satu isu utama yang disorot sejumlah negara maju di kancah global.
Di level ASEAN pun, dorongan mengintegrasikan HAM dan bisnis mulai gencar dipromosikan.
Eri Trinuraini Adhi, Pengurus Yayasan Bina Swadaya, menangkap fenomena ini sebagai bentuk kesadaran kolektif publik akan pentingnya perlindungan HAM para pekerja di lingkaran dominasi oligarki.
Indonesia, kata dia, perlu belajar dari Jepang. Raksasa Ekonomi Asia itu tampil sebagai negara yang sukses memadukan narasi perlindungan HAM dan bisnis.
“Kita berharap Indonesia dapat mengikuti jejak yang sama,” jelas Eri dalam diskusi bertajuk ‘Lindungi Hak Pekerja dalam Bisnis’, yang digelar FMB-9 secara daring pada Senin (29/4/2023).
Namun, keberhasilan Jepang tak lepas dari kerja-kerja kolaboratif lintas sektor. Sosialisasi masif, yang setidaknya menjangkau seluruh pemangku kepentingan, gencar dilakukan.
Indonesia sendiri sebetulnya selangkah lebih maju, setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM).
Peraturan tersebut mengakomodir sejumlah panduan riil bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam mengarusutamakan Bisnis dan HAM.
Hanya saja, soal implementasi, Eri belum melihat progres yang cukup signifikan. Karena itu, pemerintah perlu lebih serius menggelar sosialisasi terkait Perpres tersebut.
“Semua orang wajib mengetahui Perpres No. 60 Tahun 2023 dan implementasinya,” papar Eri.
Sosialisasi ini, demikian Eri, tak hanya menjadi beban dan tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Perlu pelibatan seluruh kementerian, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), demi memastikan jangkauan penyebaran informasi yang lebih luas.
Di sisi lain, sosialisasi juga tak hanya menyasar pengusaha dan kelas pekerja, tetapi juga konsumen. Banyak kasus pelanggaran HAM, yang menurut Eri berhasil diselesaikan karena masukan dari konsumen.
Kata dia, konsumen mempunyai peran penting dalam memberikan respons terhadap praktek bisnis yang tidak etis dan dalam menyuarakan kebutuhan akan perlindungan HAM.
Ia berharap, Indonesia bisa mencapai standar yang tinggi dalam implementasi Perpres Stranas BHAM ini, melalui pendekatan yang lebih holistik.
Sehingga, "Indonesia bisa menciptakan lingkungan bisnis yang adil, berkelanjutan, dan menghormati HAM."
Royanto Purba, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Kerah Biru - SPSI), mengakui, implementasi Perpres Nomor 60 Tahun 2023 masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.
Menurutnya, “peraturan ini bagus" tetapi yang paling penting tegas dia adalah implementasi dan pengawasannya.
Royanto menyoroti sejumlah poin penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi Perpres yang diteken Jokowi pada September 2023 lalu itu.
Dalam uraiannya, harmonisasi peraturan terkait bisnis dan HAM di Indonesia perlu dihidupkan, dalam rangka memastikan keseragaman dan efektivitas implementasi.
Selain itu, pengawasan yang ketat, juga perlu diterapkan untuk memastikan perusahaan benar-benar mematuhi Perpres tersebut.
Yang tak kalah penting, kata dia, kolaborasi sejumlah stakeholder, mulai dari pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk merumuskan kebijakan dan implementasi Stranas BHAM yang efektif.
Sebelum Perpres diterbitkan, perlindungan hak pekerja dalam bisnis memang masih bersifat sukarela. Perusahaan bebas menentukan apakah praktik-praktik penghormatan HAM perlu dioperasionalkan di lingkungan bisnis atau tidak.
Kehadiran Perpres No 60 Tahun 2023, demikian Royanto, diharapkan bisa menjadi mandatori yang mewajibkan semua perusahaan menerapkan prinsip-prinsip Stranas BHAM dalam menjalankan bisnisnya.
“Kita harapkan ini harus jadi mandatory bukan hanya per sektor tapi seluruh perusahaan wajib,” jelas Royanto di forum yang sama.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sendiri mengklaim akan mendukung pelaku usaha yang taat terhadap regulasi bisnis dan perlindungan HAM para pekerja.
Dalam waktu dekat kata Direktur Kerja Sama HAM, Kementerian Hukum & HAM, Harniati pihaknya akan memberikan sertifikasi, sebagai pelabelan terhadap reputasi perusahaan.
Harniati berharap, dengan adanya pelabelan ini "akan memiliki pengaruh signifikan terhadap reputasi perusahaan di tingkat internasional."
Editor: Gregorius Agung